Categories
Past talks

Los Grundrisse de Karl Marx

Categories
Journalism

Kritik Marx Terhadap Sosial Demokrasi (Bagian II)

Kritik Terhadap Sosialisme Borjuis Kecil
DALAM pemilihan umum bulan Januari 1877, Partai Buruh Sosialis Jerman (the Socialist Workers’ Party of Germany) memenangkan hampir setengah juta suara, meningkat di atas 9 persen.

Namun terlepas dari keberhasilan ini, keadaan partai terus mengganggu Marx. Menulis kepada seorang dokter Jerman Ferdinand Fleckles, ia menertawakan “pamflet pendek” berjudul The Quintessence of Socialism (1879) dari sosiolog Albert Schäffle sebagai “fantastis, benar-benar Swabian … gambaran dari sosialis milenium  masa depan sebagai … kerajaan datang dari borjuis kecil Anda yang nyaman”. Dalam konteks ini, ketika diminta oleh jurnalis Franz Wiede untuk mengambil peran penting dalam menulis ulasan baru, Marx berkomentar kepada Engels: “Tentu akan sangat menyenangkan jika sebuah majalah berkala sosialis yang benar-benar ilmiah muncul. Ini akan memberikan peluang bagi kritisisme dan kontra-kritisisme di mana poin-poin teoretis dapat kita diskusikan dan ketidaktahuan total para profesor dan dosen-dosen universitas menjadi terpapar luas, sehingga dengan demikian secara bersamaan mencerahkan pikiran masyarakat umum.” Namun, pada akhirnya, ia harus menerima bahwa kelemahan dari para kontributor ini akan menghalangi “persyaratan utama dalam semua kritsisme”: yaitu, “tanpa ampun/ruthlessness”. Marx juga memberi komentar tajam terhadap Zukunft (Masa Depan), mencemooh “upayanya untuk menggantikan frase-frase ideologis seperti ‘keadilan’, dll., dengan pengetahuan materialis (dan …) untuk menjajakan fantasi dari struktur masa depan masyarakat”.

Pada bulan Oktober, Marx mengeluh kepada Friedrich Adolph Sorge tentang “roh korup” yang menyebar di partai, “tidak begitu banyak di kalangan massa seperti di kalangan para pemimpin”. Perjanjian dengan kaum  Lassallean telah “menyebabkan kompromi lebih lanjut dengan para penentu lainnya”. Secara khusus, Marx tidak memiliki waktu untuk “segerombolan sarjana muda yang belum matang dan lulusan yang terlalu bijak yang ingin (ed) memberi sosialisme orientasi ‘lebih tinggi, idealis’”. Mereka pikir mereka bisa menggantikan “basis materialis” (yang “menyerukan dilakukannya studi serius dan objektif jika seseorang ingin beroperasi di atasnya”) dengan sebuah  “mitologi modern tentang dewi Keadilan, Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan”.

Apa yang ada di balik kritik-kritik ini bukanlah perasaan cemburu atau persaingan. Marx menulis kepada jurnalis dan anggota parlemen Wilhelm Blos bahwa dia tidak “peduli akan popularitas”, mengingatkan dia “akan kebenciannya pada kultus pribadi, yang pada saat Internasional, ketika diganggu oleh banyak gerakan… untuk memberikan (kepadanya) kehormatan publik, (dia) tidak pernah mengizinkan siapapun dari mereka untuk memasuki domain publisitas”, atau “tidak pernah membalas (kepada) mereka, kecuali sesekali gertakan”. Sikap ini telah menopangnya sejak ia berkomitmen pada politik di masa mudanya, sehingga ketika Liga Komunis lahir pada 1847, ia dan Engels bersedia bergabung “hanya dengan syarat bahwa segala sesuatu yang kondusif bagi muncul dan berkembangnya kepercayaan takhayul terhadap otoritas dihilangkan dari Aturan-aturan”. Satu-satunya kekhawatirannya adalah, dan terus terjadi, bahwa organisasi buruh yang baru lahir ini seharusnya tidak mengaburkan sifat anti-kapitalisme mereka dan – dengan perilaku gerakan buruh Inggris – mengadopsi garis moderat, pro-borjuis.

II. Masalah Kekerasan
Pada akhir 1870-an, terjadi sebuah peristiwa besar yakni percobaan pembunuhan terhadap Kaisar Wilhelm I oleh seorang anarkis bernama Karl Nobiling pada Juni 1878. Reaksi Marx kemudian dicatat oleh Maksim Kovalevsky: “Saya kebetulan berada di perpustakaan Marx ketika ia mendapat berita percobaan pembunuhan yang gagal itu …. Reaksi (nya) adalah mengutuk aksi teroris tersebut, menjelaskan bahwa hanya ada satu hal yang dapat diharapkan dari upaya (pembunuhan) itu yakni mempercepat persekusi baru terhadap kaum sosialis.” Itulah yang terjadi kemudian, ketika Otto von Bismarck menjadikan aksi percobaan pembunuhan itu sebagai dalih  untuk memperkenalkan Undang-undang Anti-Sosialis (the Anti-Socialist Laws) dan memaksa Reichstag (Parlemen Jerman) untuk mengadopsinya pada bulan Oktober. Marx berkomentar kepada Engels: “Pelarangan, sejak dahulu kala, menjadi sarana yang sempurna untuk membuat gerakan anti-pemerintah ‘ilegal’ dan melindungi pemerintah dari hukum – ‘memiliki kewenangan hukum untuk membunuh kita’.”

Debat di parlemen terjadi di pertengahan September, dan Wilhelm  Bracke mengirim Marx catatan stenografi dari sesi Reichstag dan salinan rancangan undang-undang. Marx berencana untuk menulis artikel kritis untuk pers Inggris dan mulai mengumpulkan petikan-petikan dan catatan-catatam untuk tujuan itu. Dalam beberapa halaman, ia menjabarkan perbedaan antara massa Partai Pekerja Sosialis Jerman dan kaum anarkis: yang pertama merupakan “gerakan historis sejati dari kelas pekerja; yang lain … sebuah hantu pemuda buntu yang berniat membuat sejarah, (yang) hanya menunjukkan bagaimana ide-ide sosialisme Prancis dikarikaturasikan kepada orang-orang kelas atas yang turun kelas.” Dalam membantah argumen menteri dalam negeri Prusia, Agustus Eulenburg, bahwa tujuan para pekerja adalah membuat kekerasan, Marx dia menyatakan posisinya dengan sangat jelas:

Tujuannya adalah untuk pembebasan kelas pekerja dan revolusi (transformasi) masyarakat adalah implisit di dalamnya. Perkembangan historis dapat tetap “damai” hanya selama kemajuannya tidak dihalangi secara paksa oleh mereka yang menggunakan kekuatan sosial pada saat itu. Jika di Inggris, misalnya, atau Amerika Serikat, kelas pekerja akan mendapatkan posisi mayoritas di Parlemen atau Kongres, mereka dapat, dengan cara yang sah, melepaskan dirinya dari jeratan hukum dan lembaga yang menghambat perkembangan mereka. (…) Namun, gerakan “damai” mungkin ditransformasikan menjadi gerakan “paksa” karena adanya perlawanan dari pihak yang berkepentingan untuk memulihkan keadaan sebelumnya; jika (seperti dalam kasus Perang Sipil Amerika dan Revolusi Perancis) mereka dijatuhkan dengan paksa, sebab itu adalah pemberontakan melawan kekuatan “yang sah secara hukum”.
Bagi Marx, kemudian, pemerintah “akan berusaha menekan dengan paksa suatu perkembangan yang tidak disukainya tetapi tidak dapat menyerang secara sah”. Itu, tentu saja, adalah “awal dari revolusi kekerasan” – “sebuah cerita lama yang masih tetap benar selamanya”, tambahnya, mengutip Heinrich Heine (1797-1856).

Dalam sepucuk surat kepada Sorge dari September 1879, Marx menggambarkan kecenderungan-kecenderungan baru yang muncul dalam partai Jerman. Dia menekankan bahwa orang-orang seperti penerbit Karl Höchberg, “seseorang yang bukan apa-apa dalam soal teori dan tidak tahu-menahu soal praktik”, senantiasa “berusaha untuk mencabut gigi sosialisme (yang telah mereka lakukan berulang-kali sesuai dengan formula akademik) dan Partai khususnya”. Tujuan mereka adalah “untuk mencerahkan para pekerja, … untuk memberi mereka, dari pengetahuan mereka yang membingungkan dan dangkal, dengan unsur-unsur edukatif” dan, di atas semua itu, “untuk membuat partai menjadi ‘terhormat’ di mata orang-orang kebanyakan (philistines)”. Mereka ini, Marx menyimpulkan, “hanyalah pembual (windbags) kontra revolusioner yang buruk”. Dengan humor yang halus, ia mengatakan bahwa Bismarck telah “melakukan banyak hal baik yang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kita”, dengan memaksakan keheningan selektif di Jerman dan memungkinkan  para pembual semacam itu “kesempatan untuk membuat diri mereka didengar dengan jelas”.

III. Perjuangan Kelas vs  Sosialisme Asal Bunyi
Dalam sebuah laporan polisi Prancis dari London, seorang agen mengklaim bahwa, “setelah kematian Lassalle, Marx (telah menjadi) pemimpin revolusioner Jerman yang diakui. Jika para wakil sosialis di Jerman adalah pemimpin-pemimpin resmi, komandan divisi, Marx adalah kepala staf umum. Dia menyusun rencana pertempuran dan mengawasi apa dilakukan anak buahnya.” Kenyataannya, kritisisme Marx terhadap partai sering tidak dihiraukan, dan dari studinya di London ia mengamati “kedalaman ” dalam mana “para wakil di parlemen” telah “telah terbawa arus parlementarisme ”.

Fokus polemik lainnya adalah pertanyaan tentang siapa yang harus mengedit jurnal baru Partai Buruh Sosialis Jerman, Der Sozialdemokrat (Sosial Demokrat), terbitan yang dimulai di Zurich pada September 1879. Marx dan Engels, tidak setuju dengan sikap yang diusulkan di atas kertas, merasa berkewajiban untuk mengirim surat lain (dirancang oleh Engels) ke August Bebel, Karl Liebknecht dan Bracke. Dalam “Surat Edaran/Circular Letter” (1879), sebagaimana diketahui, mereka mengecam konsensus yang berkembang di partai yang mendukung posisi Karl Höchberg, yang merupakan penyandang dana utama dari jurnal tersebut. Höchberg belum lama berselang menerbitkan sebuah artikel di Jahrbuch für Sozialwissenschaft und Sozialpolitik (Catatan untuk Ilmu Sosial dan Kebijakan Sosial), sebuah jurnal reformis di bawah arahannya, di mana ia menyerukan agar kembali ke semangat Lassallean. Dalam pandangannya, kaum Lassallean telah melahirkan sebuah gerakan politik terbuka “tidak hanya (untuk) para pekerja tetapi semua demokrat yang jujur, di dalam gerbong yang (seharusnya) membawa perwakilan independen dari ilmu pengetahuan dan semua orang yang terinspirasi oleh cinta sejati terhadap umat manusia”.

Bagi Marx, semua ini adalah pandangan yang ia tolak dengan tegas sejak tahun-tahun awalnya dan yang termaktub dalam Manifesto Partai Komunis (1848). “Surat Edaran” menggarisbawahi bahaya salah satu pernyataan Höchberg: “Singkatnya, kelas pekerja tidak mampu membebaskan dirinya dengan usahanya sendiri. Untuk melakukannya, ia harus menempatkan dirinya di bawah arahan borjuis ‘terdidik dan bermilik’ yang secara sendirian memiliki ‘waktu dan kesempatan’ untuk menjadi paling mengerti tentang apa yang terbaik bagi para pekerja.” Dalam pandangan “perwakilan dari borjuis kecil” ini, kaum borjuis “tidak untuk diperangi –  sangat tidak – tetapi dimenangkan melalui propaganda sehebat-hebatnya”.

Bahkan keputusan untuk membela Komune Paris diduga untuk “menghalangi orang-orang yang cenderung ke arah” gerakan buruh. Sebagai kesimpulan, Engels dan Marx mencatat dengan khawatir bahwa tujuan Höchberg adalah untuk membuat “penggulingan tatanan kapitalis … menjadi mustahil” dan “sama sekali tidak relevan bagi praktik politik saat ini”. Oleh karena itu, seseorang dapat “berdamai, berkompromi, bersedekah dengan sepenuh hatinya. Hal yang sama juga berlaku pada perjuangan kelas antara proletariat dan borjuis.” Ketidaksetujuan itu tak bisa dikompromikan.

Oposisi Marx yang gigih terhadap apa yang disebutnya “kaum sosialis asal bunyi yang urakan” mirip dengan pandangannya tentang mereka yang membatasi diri pada retorika kosong, namun bersembunyi di balik kosakata yang radikal. Menyusul peluncuran jurnal Freiheit (Freedom), ia menjelaskan kepada Sorge bahwa ia telah mencela editornya bukan karena “terlalu revolusioner” tetapi karena “tidak memiliki konten revolusioner” dan “hanya menikmati jargon revolusioner”. Dalam pandangan Marx, kedua posisi ini, meskipun berasal dari kecenderungan politik yang sangat berbeda, tidak membahayakan sistem yang ada (kapitalisme) dan pada akhirnya membuat kelangsungan hidup sistem tersebut menjadi mungkin.

Categories
Interviews

Marx continua a ser imprescindível para pensar uma alternativa ao capitalismo

Em entrevista ao Esquerda.net, Marcello Musto fala de um Marx diferente do esquematismo dogmático. Um Marx literal, descoberto nos últimos escritos que mostram um pensador que está para além da caricatura economicista e eurocêntrica. Esta quinta-feira, às 21 horas, apresenta em Lisboa o seu livro “O velho Marx”.

Marcello Musto nasceu em 1976 na Itália. É doutorado em Filosofia pela Universidade de Nápoles e pela Universidade de Nice e professor no Departamento de Sociologia da Universidade de York. Especialista no pensamento de Karl Marx, organizou e escreveu vários livros sobre este autor e também sobre a Iª Internacional.

Em português tem publicados O velho Marx – uma biografia de seus últimos anos (1881-1883) e Trabalhadores, uni-vos! – Antologia política da 1ª Internacional, ambos publicados pela editora brasileira Boitempo.

É precisamento este primeiro livro que vai apresentar esta quinta-feira, às 21 horas na sede do Bloco na Rua da Palma, em Lisboa.

 

Porque é que nos devemos interessar hoje pelo pensamento de Marx?

Depois de 1989, tivemos duas décadas de silêncio sobre Marx. Mas, em 2008, voltou o interesse internacional sobre Marx. Este interesse foi sobretudo pela crítica da economia política e foi global. Com exceção de algumas partes do mundo como, por exemplo, o leste da Europa nos países que tinham pertencido ao chamado “bloco socialista”.

Marx regressou às grandes universidades como as dos Estados Unidos. Mais ou menos todos os países da Europa, da América Latina, da América do Norte têm um Fórum Marx, um congresso internacional que se faz a cada ano ou dois. Em 2017, 2018, foram ainda mais importantes pelo 150º aniversário do Capital e pelo bicentenário de Marx.

O que julgo que é interessante agora é diferente: é regressar ao Marx político. Porque nesse regresso a Marx que aconteceu depois de 2008 parece-me que tinha voltado a ideia de Joseph Schumpeter de que o pensamento político de Marx é débil, é dogmático, mas a crítica da economia política é interessante.

“As pessoas diziam que Marx era um autor branco, europeu, eurocêntrico, que não serve para hoje.”

Penso que o que se pode passar nos próximos anos é voltar à teoria política de Marx e analisar novamente, com novos textos e com uma cultura política diferente, temas que têm uma forte atualidade ou que podem ser muito interessantes para nós hoje. Por exemplo, quando houve este fenómeno de voltar a Marx em muitos países, sobretudo nos Estados Unidos, a crítica contra Marx era que este era um autor que escreveu e pensou quase apenas o conflito entre capital e trabalho e por isso as pessoas diziam que Marx era um autor branco, europeu, eurocêntrico, que não serve para hoje.

No último trabalho que publiquei em português, tentei demonstrar como, na realidade, o Marx dos últimos anos é um Marx que é muito mais amplo do que as pessoas geralmente identificam com Marx. Agora passámos a ter uma ideia de Marx bastante diferente. Marx escreveu muitíssimo sobre as questões que têm forte atualidade. A questão ecológica, por exemplo, é um tema que nos ajuda a pensar o socialismo não como um desenvolvimento das forças produtivas como foi na União Soviética do século XX. Mas também nos riscos muito fortes não apenas para os trabalhadores, exploração, alienação etc. mas também para o planeta, para as questões ambientais.

Marx também foi um autor que pensou muitíssimo o tema da desigualdade entre o norte e o sul do mundo. Nesta década entre o fim da Internacional, 1872, e o ano em que Marx morreu, em 1883, temos muitos estudos em que Marx se preocupa com a realidade da Argélia e critica os colonialistas franceses, em que analisa novamente com mais instrumentos políticos e teóricos a Índia e toma uma posição muito forte, muito clara, contra o colonialismo inglês, em que se preocupa com a invasão espanhola do México, em que estuda a Indonésia, o Egito. É um Marx muito mais global.

“Marx pensava que a emancipação das mulheres tem de ser um elemento fundamental da sociedade socialista.”

E isto é claro também pelo que está no Capital. Agora que temos todos os manuscritos do Capital pode-se ler que Marx o queria completar, estava convencido de que poderia pelo menos fazer o segundo volume do Capital, mas também queria ampliar o ponto de vista. Não ter apenas a Inglaterra e a Europa como centro de análise, porque faltavam os documentos sobre outras partes do mundo, mas também analisar o capitalismo nos Estados Unidos depois da guerra civil de 61-65 e as alterações dramáticas que estavam a acontecer na sociedade russa a seguir ao fim da servidão em 1861, por exemplo.

Também é um Marx que se ocupa da questão de género, que fala da emancipação das mulheres e que diz que isto tem de ser um elemento fundamental da sociedade socialista. E que na nova sociedade o nível de emancipação se pode medir através do nível de emancipação da mulher, o que é um velho tema de Fourier e dos socialistas utópicos franceses.

Há ainda várias outras questões. Mas a questão mais importante para mim politicamente para repensar o socialismo é a ideia da liberdade do indivíduo. Há muitos documentos de Marx que estudam esta questão. Claro, não são livros, não são artigos publicados, são documentos fragmentários que um velho que estava muito cansado deixou.

Estes documentos não têm de ser considerados como uma Bíblia como foram anteriormente. Eu não penso que a esquerda hoje em Portugal, em 2019, tem de organizar uma política ecológica pensando no que Marx escreveu nestes manuscritos. Mas é muito interessante voltar a este Marx hoje, que penso que é a tarefa de uma nova geração, de investigadores e militantes.

O que tenho visto muito nos últimos dois anos, em todas estas conferências internacionais, é que pela primeira vez nas últimas décadas há um grande interesse das novas gerações por Marx. Depois de três décadas de pós-modernismo e de crítica de fragmentos da sociedade, há uma necessidade de voltar a fazer um discurso crítico sobre o capitalismo, também porque a crise económica que voltou em 2008 tornou-se rapidamente numa crise social e também numa crise de sistema político. Como sabemos muito bem na Europa. Em alguns países, há novos partidos que foram criados, organizados em poucas semanas ou meses, e que conseguiram tornar-se muito importantes. Ou noutras partes há uma rejeição da política muito forte.

Hoje há um novo debate sobre o pós-capitalismo. Penso que é interessante utilizar Marx neste debate e ver o que o tesouro que é a tradição socialista, que foi deixada de lado depois de 1989, nos pode oferecer para além de Marx. Há que analisar os problemas que existiam, as derrotas, as razões críticas e que reconsiderar positivamente muitas questões não apenas teóricas mas também de organização política que diferentes socialismos, marxistas ou não marxistas, nos podem oferecer. Para dar apenas um exemplo. Hoje fala-se muito de mutualismo que é uma velha questão que se falava no tempo de Marx mas sem se saber na verdade o que era este mutualismo.

 

Estão a surgir textos de Marx que desconhecíamos, acha que Marx ainda nos consegue surpreender?

A edição crítica retomou-se em 1998. Com a edição crítica podemos entrar na cabeça de Marx. E o que me interessa agora em Marx é que muitos dos novos textos, publicaram-se mais de 25 novos volumes, quase trinta, e a maioria dos textos que eram inéditos, mostram-nos um Marx que faz perguntas. Perguntas para si próprio: para onde ir, como seguir… É um Marx muito auto-crítico. Marx é nesse aspeto um bom mestre para os mais jovens. Mas é um autor que foi caraterizado pelo marxismo-leninismo do século XX como dogmático, esquemático, economicista, etc.

Aquilo de gosto muito é mostrar as perguntas de Marx porque também podemos aprender a partir das suas perguntas.

“Marx nunca foi dogmático, foi modificando partes importantes do primeiro livro do Capital depois de o ter publicado.”

A segunda questão é se nos consegue surpreender. Eu penso que sim. E vou a dar este exemplo do último Marx. Sempre se escreveu que Marx, depois da Internacional, morreu praticamente. Nos últimos dez anos não fez muitas coisas. Agora que temos as notas de Marx, os manuscritos, os cadernos, que mostram a direção que ele estava a seguir e queria continuar a seguir, apesar de não ter tido mais tempo, mais energia, mais saúde, vemos que não apenas Marx continuou as suas investigações, quando antes se dizia que ele as tinha parado, mas também que as ampliou a novas questões temáticas, novos países e também novas disciplinas.

Ou seja, sempre tínhamos considerado que Marx tinha chegado ao final da sua vida sem energia devido à vida terrível que tinha tido. Mas na verdade Marx não apenas continuou a investigação mas também a aumentou de forma quantitativa e qualitativa muito interessante. O problema é que esta investigação não terminou. Marx estava a lutar de forma fortíssima para completar o segundo livro do Capital ou para mudar algumas coisas interessantes do primeiro livro do Capital.

Dizemos sempre que não devemos ler Marx de forma dogmática mas Marx também nunca o foi. Marx foi modificando partes importantes do primeiro livro do Capital depois poucos anos de o ter publicado, quando estava a fazer a tradução francesa.

Um exemplo que eu apresento sempre é o que Marx diz: a minha crítica do capitalismo e a minha representação do capitalismo diz respeito à Inglaterra e eu penso na Europa Ocidental mas isso não pode ser um passe-partout, um esquema histórico, da Filosofia da História, que tem de acontecer em todas as partes do mundo, em todos os períodos e épocas históricas. E Gramsci entendeu-o e por isso estava a lutar tão fortemente contra o manual de materialismo histórico de Bukharin. São duas opções que agora sabemos que o próprio Marx conhecia e a sua crítica contra os primeiros marxistas dogmáticos valia não só na sua altura mas também para o futuro.

 

O que nos diria mais para nos apresentar a este velho Marx desconhecido de que fala no seu livro?

É um autor muito preocupado em analisar as formas, as formações pré-capitalistas. Penso que Marx analisa com muito mais rigor e com muitas mais fontes e materiais que agora tem como é possível para um modo de produção converter-se noutra coisa. Marx está muito atento ao estudo da etnografia, antropologia. Olha para as formas comunitárias, pré-capitalistas e para o debate sobre se estas se podem converter em algo comunista sem passar pelo sofrimento terrível do capitalismo.

Muitos marxistas dizem que isto não é possível. Não sabem que Marx escreveu claramente que isto é possível e que não se tem de passar pelo esquema: modo de produção asiático, feudal, capitalista e socialista como ele escreveu no famoso prefácio de 1859.

É um Marx que analisa muito a história de forma crítica. E essa é a razão pela qual prefere estudar e analisar mais e não publicar os materiais que já tem prontos.

É um Marx que também analisa as diferenças no capitalismo, as suas variantes. Porque há um capitalismo diferente que se vai desenvolver nos Estados Unidos e isto também dá uma imagem muito diferente do Marx dogmático que geralmente se representa.

Marx quase morre a terminar uma cronologia histórica dos eventos mais importantes, não apenas dos eventos económicos mas também dos políticos. E não apenas dos da Europa mas também de outras partes como por exemplo o Médio Oriente. Isso significa que Marx se preocupa em analisar eventos políticos, ideológicos, como por exemplo a função do Estado, que têm um peso e uma força no momento económico e que vão modificá-lo e que vão fazer com que o capitalismo que se encontra hoje é um capitalismo diferente do que se pode passar daqui a vinte anos.

Alguma desta reflexão, por exemplo sobre a comuna rural russa, a obshchina, que Marx estudou com tanto interesse, está a analisar-se com muito interesse na América Latina. Álvaro García Linera, o ex-vice-Presidente da Bolívia, publicou outra vez estes documentos agora com novos manuscritos para mostrar como a forma comunitária pode ser útil. Ou, pelo menos, para utilizar o antidogmatismo de Marx contra o dogmatismo dos partidos comunistas da Terceira Internacional.

Esta é a caracterização do último Marx: abrir-se a novas questões, ter uma perspetiva cada vez mais internacional e internacionalista, agora que lhe era possível estudar e ter vínculos mais fortes com o movimento operário internacional que estava a nascer lentamente também na Argentina, na Índia, na Rússia.

Marx morre antes da formação da maior parte dos partido políticos. Apenas existia o partido na Alemanha. Foi Engels que chegou a participar na IIª Internacional que foi a Internacional dos partidos políticos. Mas Marx sabia que havia outros companheiros, outros intelectuais críticos e militantes que seguiriam o trabalho que ele tinha deixou aberto.

 

Dá a conhecer um Marx que é um intelectual militante. Mas, por vezes fala-se num Marx dos académicos e num Marx dos militantes. Há mesmo esta separação? Que diálogos é que são possíveis entre estes dois universos?

Penso que é necessário fazer esse diálogo. Para o fazer teriam de acontecer duas coisas. A primeira é que os académicos têm de voltar é à função do intelectual crítico e militante. O intelectual hoje é pouco crítico. E isso encontra-se muito, por exemplo, nas análises sobre o que se passou na América Latina nos últimos anos: ou era uma defesa completa, total, dos governos da esquerda moderada, o PT de Lula, Kirchner na Argentina, o Chile, ou outras experiências, ou era uma defesa absoluta, dogmática, do “socialismo do século XXI” que também é uma definição da qual não gosto porque não significa nada. Ou seja, significa que não tivemos a força de voltar a analisar criticamente o socialismo passado e de dizer que socialismos queremos.

Intelectual militante significa que depois de 30 anos de desertificação não se pode ir a uma reunião política e ficar frustrado porque a maioria dos camaradas, sobretudo os mais jovens, têm de ser alfabetizados como se fazia no tempo de Marx. E, na verdade, nos últimos anos, houve pouquíssimas experiências desse tipo.

Sou de 76. E penso que sou sortudo em comparação aos que hoje têm vinte porque, pelo menos, vi o último episódio da história deste movimento operário do século XX.

“Os partidos não podem apenas seguir a atualidade. Têm de investir na formação política.”

Ou seja, também há que trabalhar nos partidos políticos. Não apenas na intelectualidade. E os partidos não podem pensar exclusivamente em seguir a atualidade política e fazê-lo de forma polémica, superficial. Têm de investir muito num processo de formação. E isto também nos movimentos sociais.

Quando falo em formação política não falo apenas em história do socialismo. Mas falo também de uma perspetiva internacional que é o que falta mais hoje na comparação com o passado. Ou seja, hoje em dia é muito difícil ter coletivos políticos ou redes sociais, ou grupos locais de partidos, nas quais nas reuniões políticas não se fale apenas no que se está a passar na autarquia ou no que os autarcas estão a fazer mas se fale também, como se fazia antes, das questões internacionais que têm um caráter de enorme formação política e são muito úteis para os jovens.

O mesmo vale para os sindicatos. Neste momento estou a fazer um curso de formação para todos os secretários gerais sindicais das regiões de Itália. Porque eles não têm nada. E desde há vinte anos que não têm nada. Não obstante, Itália era um país com uma formação incrível. A escola de Frattocchie do Partido Comunista e a escola da CGIL eram muito famosas. Podias gostar ou não, podias considerar moderadas demais ou não, mas era uma maneira de pensar a política e de fazer formação para os quadros. Não só para os quadros mais jovens mas também para os trabalhadores que se alfabetizaram e conseguiram níveis de formação importantíssimos.

Por último, nos movimentos sociais. Estes não podem pensar ocupar-se exclusivamente de uma questão, por exemplo o mercado bio ou a reciclagem, que são importantes e um trabalho que tem de ser organizado contra a ideia dogmática do partido comunista do passado.

Estes três mundos, que deveriam ser o mesmo mundo, devem encontrar-se e abrir-se mais, esforçar-se mais para o encontro, penso também que vão precisar de fazer um esforço para a pluralidade que é muito importante. Opiniões diferentes e competências diferentes têm de encontrar-se e têm de trabalhar juntas porque, em muitos países, estamos em condição de “ano zero”. O caso de Itália, lamentavelmente, é um caso emblemático neste sentido.

 

Há quem diga que a investigação sobre Marx está condenada a decair, há quem fale numa nova idade de ouro com novos investigadores e novas investigações, qual é a sua avaliação sobre o estado da investigação sobre Marx e sobre o marxismo?

Faço uma avaliação positiva se fizer uma comparação com os últimos vinte anos. Se virmos o número de publicações sobre Marx em diferentes países e em diferentes idiomas e também reedições dos livros de Marx em países como França, Espanha, Itália, já para falar só na Europa, é um número ridículo. Na segunda parte dos anos 80 e em todos os anos 90 há uma derrocada total.

Agora há um ciclo de expansão, um ciclo positivo, e muitas editoras prestigiadas pedem mais contribuições. O que está a faltar é renovar o Marx que se lê em comparação com o que atualmente sabemos dele.

O Marx que se lê hoje na maioria dos países, nos manuais, nos textos que circulam mais é o Marx do Manifesto do Partido Comunista, da Ideologia Alemã, dos Manuscritos Económico-Filosóficos de 1844, que é o texto que mais circulou em muitos países. Este Marx é interessante, fascinante, mas não tem nada a ver com a elaboração de Marx que foi feita com o Capital, como teórico, e depois do Capital na Internacional, com a Comuna de Paris ou com a análise e a interação com muitas partes do mundo, que é feito pelo Marx das últimas décadas.

A tarefa que tem uma nova geração de intelectuais críticos e militantes é de tentar renovar este Marx e permitir que uma outra nova geração o leia de forma diferente, que não é a forma do manual ortodoxo do marxismo-leninismo.

Também é preciso mostrar como Marx ainda tem muito para dizer sobre as temáticas que são interessantíssimas para nós. E também a crítica da política de Marx, agora estou a pensar na crítica dos outros socialismos, socialismo de Estado de Lassale, socialismo de mercado de Proudhon e muitos mais, é útil para revisitar criticamente o socialismo do século XX. O que não significa que vamos aplicar Marx mas que podemos entender uma ideia clara de anticapitalismo que ainda pode ser útil para nós, repensando as alternativas que é o que temos de fazer hoje na nossa sociedade.

 

Escreveu sobre a Iª Internacional: a história que nos é contada sobre esta é, muitas vezes, a história de como o sectarismo destruiu tudo. Há alguma razão de esperança na história da Iª Internacional ou é só a história de um fracasso?

Essa é a história de um chefe, Karl Marx, que organizou tudo. E certamente que Marx teve o papel mais importante da Internacional. E também é interessante relacionar a sua obra com a Internacional porque a maior parte dos estudos sobre Marx, biográficos, políticos, de teoria crítica, não consideram o Marx da Internacional que é o Marx da elaboração política mais importante com a exceção desses últimos textos, que são difíceis, apenas conhecemos a Crítica do Programa de Gotha que é de 1875 como texto em forma organizada mas que não foi publicado para não fazer um rombo no partido alemão.

Mas na Iª Internacional, há um protagonismo muito forte dos trabalhadores. E esta é extraordinária porque por ela passam pela primeira vez questões que serão emblemáticas na história do movimento operário. É a primeira que se fala na necessidade da fundação do partido político. É a primeira vez que se toma a decisão de ter a greve como instrumento fundamental de luta. A maioria das componentes da Iª Internacional eram contra a greve como por exemplo os anarquistas proudhonianos que eram muito maioritários em França e fala-se da coletivação das terras que é um tema que depois vai ser também importante no sul, no México, no Brasil… isto será analisado e escrito por Marx nestes congressos e foi aprovado em 1868/69.

Este protagonismo operário foi importante para Marx. Porque Marx não aprendeu apenas através dos livros. Também aprendeu a partir das condições concretas, como por exemplo da Comuna de Paris de 1871, de onde tirou a ideia de que não há que esperar que todas as condições políticas estejam perfeitas para começar a revolução. E foram os populistas russos que convenceram Marx que há que organizar o que se pode enquanto este desconfiava dos marxistas russos que esperam a revolução na Suíça, apenas a escrever artigos nos jornais.

Mas também é útil para nós olhar para a Iª Internacional como uma organização feita por humanos e não por divinos. Escrevia-se que a Iª Internacional era uma organização de milhões de trabalhadores e sentimo-nos muito fracos hoje quando sabemos o quão difícil é organizar um partido ou até um grupo. Contudo, a Iª Internacional era uma organização que tinha muitos problemas em organizar os trabalhadores nas fábricas, por exemplo nas grandes fábricas do norte da Inglaterra, e que tinha uma maioria de militantes que eram artesões porque estes eram os mais educados, eram aqueles que já se tinham resgatado e emancipado um pouco mais e tinham tido um pouco de tempo para aprender política.

A Iª Internacional tinha muitos problemas com os trabalhadores desqualificados. E esse é um problema enorme que temos hoje. Pensamos que no passado tudo era perfeito, tudo era lindo porque estava Marx a organizar tudo. Mas era muito difícil organizar a solidariedade internacional.

“A Iª Internacional cresce construindo política, militância e aceitando que há diferentes culturas que têm de trabalhar juntas porque assim têm mais força.”

Marx quase forçou a maioria dos dirigentes ingleses a colocar um operário irlandês como presidente da Internacional durante um certo período. Isso, para eles, era algo terrível. Mas Marx explicou claramente já nos anos 1860 (aqui não temos de esperar pelo último Marx) que o segredo da burguesia inglesa era dividir os operários, os pobres, o povo, entre irlandeses e ingleses, ou entre franceses e alemães. E há uma mensagem de internacionalismo que é muito forte como teoria e como organização prática.

E também penso que esta Iª Internacional é muito útil para nós hoje porque, lamentavelmente, temos um nível de desorganização política que não podemos fazer comparações com a IIIª Internacional que é muito estadual nem com a IIª que é uma Internacional de partidos políticos muito fortes.

A Iª Internacional é uma Internacional que vive e cresce construindo política, construindo militância. E também aceitando que há diferentes culturas que têm de trabalhar juntas porque assim têm mais força. Depois, claro, que há momentos e ruturas políticas como isto da participação no momento político que dividiu a internacional com a cisão dos anarquistas.

Penso que o momento atual de possível divisão é sobre este tema dos trabalhadores migrantes e também se utiliza Marx de uma forma muito abusiva quando se fala do “exército de reserva industrial” como se Marx estivesse a dizer que esses trabalhadores são maus porque vão baixar o nosso salário.

Pelo contrário, Marx preocupou-se com a imigração muito claramente. É outro tema que emerge neste último período. Claro que não escreveu nenhum artigo sobre isto. Até porque não era jornalista nesta altura. Estava nessa altura a lutar para completar o Capital. Mas quando o último Marx contribui para escrever o programa do Partido Socialista Operário Francês e pela primeira supera a importância de Proudhon em França, neste programa está escrito que os trabalhadores emigrantes tinham de ter o mesmo salário dos trabalhadores autóctones.

Estas ideias para nós são interessantes. Não apenas do ponto de vista historiográfico mas também pela prática política.

 

Desde o momento em que a Internacional começou essa formação de partidos até hoje muito mudou: a forma-partido ainda faz sentido?

A forma-partido é um tema imprescindível da experiência da Iª Internacional. Penso que a forma da organização política é imprescindível hoje também. Mas uma organização política tem de aprender que não pode utilizar as categorias do vanguardismo leninista do século XX ou as leituras dogmáticas dos partidos comunistas na América Latina que consideram o camponês como um pequeno-burguês quando o camponês para Marx é um sujeito eminentemente revolucionário porque pode trabalhar de uma forma distinta.

“Temos de tentar abrir os partidos a uma participação política o mais ampla possível.”

Também temos de fazer uma análise das formas políticas mas sem organização política a esquerda fica extremamente débil. Continuo a pensar que precisamos de formas de organização política que têm de ser muito democráticas. Temos de tentar abri-las de uma forma a uma participação política o mais ampla possível, sobretudo das novas gerações.

 

Então hoje qual o papel de um partido anticapitalista? E o que pode ser um partido marxista ou para que é o marxismo pode servir a um partido?

Há um tema muito interessante que é o dos primeiros partidos que se organizaram e que precisavam de fazer um programa político, que é o que falta hoje igualmente na maioria dos partidos da esquerda, um programa político claro mas também um programa político com compromissos. Porque estes são úteis e sobretudo ajudam o partido, a nova organização, a falar às massas populares.

Marx entendia isso. E nunca é sectário. Mas sabe que também tem de desempenhar o papel do intelectual crítico. E ele está muito interessado em falar da sociedade anticapitalista e demonstrar que é possível mudar, e é necessário se queres fazer uma sociedade de emancipação social e não só política, mudar radicalmente a sociedade capitalista.

“Onde haja exploração, Marx vai mostrá-lo claramente.”

E Marx não é suficiente. Precisamos de outras coisas. Também de outros socialismos do século XIX. Não apenas revisitar criticamente as experiências do século XX. O tema do mercado, ou o tema da planificação, o tema do modelo de desenvolvimento, ou da ecologia, são questões que necessitam muitas considerações, muitos autores e muitas experiências práticas.

Mas temos consciência que Marx oferece-nos sempre um olhar distinto sobre o modo de produção capitalista. Onde haja exploração, Marx vai mostrá-lo claramente. Onde haja possibilidades de construir uma sociedade plenamente emancipada, Marx vai mostrá-lo claramente.

E muito mais que outros socialistas, que outros socialistas como Bakunine, Proudhon, Lassalle, ou outras grandes figuras do século XIX.

Marx tentou escrever uma crítica do modo de produção capitalista não apenas no seu contexto histórico mas também como tendência, como crise de um modo de produção. E esta é a razão pela qual sempre o voltamos a utilizar, com dificuldades, com alterações, com necessidade de atualizações. Mas Marx continua a ser um autor imprescindível para pensar a alternativa ao capitalismo hoje.

 

Se as redes internacionais são fracas, se os partidos de esquerda estão em crise, o que fazer? Como construir esse programa?

As condições para mim são muito desfavoráveis. Não apenas na Europa mas também na América Latina. E a situação é ainda mais complicada na Ásia.

Portugal tem uma situação diferente. Temos ainda de ver como o Bloco vai aprender com as experiências dos partidos da assim chamada esquerda radical nos anos 90 e no começo do século XXI que estiveram em coligações políticas com os partidos socialistas, sociais-democratas ou democráticos e que foram identificados com estes partidos e foram completamente obliterados quando estes partidos não fizeram uma política de reformismo básico.

Para voltar à tua questão, penso que é necessário revisitar a história e a derrota histórica do socialismo que foi deixada de lado e não foi analisada. E hoje temos, quando temos forças políticas que estão numa tendência positiva ou não se preocupam em elaborar uma plataforma política ou têm uma plataforma política que é uma plataforma de social-democracia clássica dos anos 60 e 70.

Para mim foi muito interessante o que foi feito pela France Insoumise (e apenas neste sentido particular) porque pelo menos organizou um esforço de participação coletiva e foi identificada a necessidade de ter um programa político e de abrir esse programa a temáticas como a da ecologia, que tem de ser um tema central da esquerda anticapitalista hoje.

Se não se faz isto ou se continua nas instituições e apenas por lá ou a esquerda não vai a repensar questões que têm de ser repensadas também pelas alterações do capitalismo e da política.

Ainda há outra questão a repensar também. Eu não falo apenas da teoria mas também das formas da participação política. O Syriza era um partido que tinha 35% dos votos, ganhou as eleições com este nível de sucesso eleitoral mas era um partido que tinha 17 mil militantes quando Tsipras foi eleito. Se fizermos a comparação com o que acontecia nos anos 60 e 70 há uma distância enorme.

Como vamos reorganizar a forma política hoje, a participação política é um tema que tem de ser completamente repensado. Mas repensado utilizando a história do socialismo, revisitando criticamente os princípios do século XIX e as experiências políticas do século XX. Se abandonarmos isto vamos organizar definições muito simples mas que serão muito vazias.

Entrevista de Carlos Carujo

 

Categories
Journal Articles

La nueva geografía política de la izquierda radical europea

La crisis económica y política que atraviesa Europa ha provocado, aparte del avance de fuerzas populistas, xenófobas y de extrema derecha, grandes luchas de resistencia y manifestaciones de protesta contra las medidas de austeridad impuestas por la Comisión Europea y llevadas a cabo por los gobiernos nacionales.

Esto ha favorecido, sobre todo en la parte meridional del continente, el renacer de fuerzas radicales de izquierda, así como su considerable éxito electoral. Grecia, España, Portugal, Irlanda y, en menor medida, otros países han sido el teatro de imponentes movilizaciones masivas contra las políticas neoliberales. En Grecia, entre 2010 y 2015 se declararon más de 40 huelgas generales.

En España, el 15 de mayo de 2011 tuvo inicio una gran rebelión, en la cual participaron millones de ciudadanos y de la que surgió el movimiento después definido con el nombre de Indignados. Los manifestantes alcanzaron a ocupar durante unas buenas cuatro semanas la Puerta del Sol, la plaza principal de Madrid. Pocos días después, una contraparte análoga se despegó en Atenas, en la plaza Syntagma. En ambos países, estas luchas sociales, de hecho, crearon las premisas para la sucesiva consolidación de las fuerzas de izquierda.

Por otra parte, sin embargo, las organizaciones sindicales, aun cuando estaban favorecidas por un bagaje común –en los países europeos las medidas adoptadas tras la crisis causaron los mismos desastres sociales–, no tuvieron la voluntad política para construir una plataforma reivindicativa única ni para articular una serie de movilizaciones a escala continental. La única excepción parcial está representada por la huelga general, proclamada el 14 de noviembre de 2012, en España, Italia, Portugal, Chipre y Malta, también apoyada por iniciativas de solidaridad en Francia, Grecia y Bélgica.

Durante este periodo, en la orilla política, la izquierda anticapitalista persistió en su proceso de reconstrucción y recomposición de las fuerzas de campo. Nacieron de hecho formaciones inspiradas por el pluralismo y capaces de juntar el más amplio abanico de sujetos políticos, garantizando al mismo tiempo mayor democracia interna a través del principio de “una cabeza un voto”.

Ya en 1999 surgieron el Bloque de Izquierda en Portugal, donde habían confluido las fuerzas más significativas que se encontraban a la izquierda del Partido Comunista Portugués, y La Izquierda (DL) en Luxemburgo. En 2004, Synaspismos y un rango de otras fuerzas anticapitalistas en Grecia se unieron para formar Syriza, la coalición de la izquierda radical (aunque su fusión en un verdadero partido político no ocurrió hasta 2012).

En mayo de 2004 fue fundado el Partido de la Izquierda Europea, en el cual, inicialmente, se asociaron 15 partidos entre comunistas, socialistas y ecologistas, con el intento de construir un sujeto político alrededor de un programa común de las principales fuerzas de la izquierda antagonista en el continente. Actualmente hacen parte de éste organizaciones políticas de 20 países.1 Dicha agrupación fue precedida, pocos meses antes, por la creación de la Alianza de la Izquierda Verde Nórdica, en la cual confluían siete partidos de Europa septentrional.

Junto a la mayor coalición del Partido de la Izquierda Europea, estaba además la Izquierda Anticapitalista Europea, una formación menor, nacida en 2000, en la cual habían confluido más de 30 partidos trotskistas, a menudo de reducidas dimensiones. Sus principales promotores fueron el Bloque de Izquierda en Portugal, la Izquierda Unitaria-Los Rojo-Verdes en Dinamarca y el Nuevo Partido Anticapitalista en Francia. En el Parlamento europeo, los representantes de estas fuerzas se adhirieron al grupo de la Izquierda Unitaria Europea/Izquierda Verde Nórdica.2

Algunos años después, la salida, casi contemporánea, de los componentes más radicales del Partido Socialdemócrata Alemán y del Partido Socialista (PS) francés3 –que asumieron rápidamente posiciones más hacia la izquierda que los grupos dirigentes del Partido del Socialismo Democrático, en Alemania, y del Partido Comunista Francés– favoreció el nacimiento, en 2007, de DL en Alemania y, en 2008, del Frente de Izquierda en Francia. En este último país, la transformación, en 2009, de la Liga Comunista Revolucionaria en Nuevo Partido Anticapitalista puede ser explicada según la misma exigencia, advertida también por las fuerzas más típicamente clasistas del comunismo europeo, de poner en el centro de la propia iniciativa política las nuevas contradicciones, cada vez más relevantes, generadas por la exclusión social y la necesidad de abrirse a una generación más joven de militantes.

Al mismo tiempo nacieron en Italia Izquierda, Ecología y Libertad, donde el componente moderado del Partido de la Refundación Comunista se fusionó con un grupo de disidentes de los Demócratas de Izquierda y la Federación de la Izquierda, una alianza entre el Partido de la Refundación Comunista y otros movimientos políticos menores. En Suiza, un proceso similar se dio en 2010, con la fundación de La Izquierda.

El mismo camino fue tomado en Inglaterra, pero con resultado adverso, primero con el Partido del Respeto, en 2004, y después con la Izquierda Unida, en 2013. También al otro lado del Bósforo se emprendió el mismo proceso. En 2012, el movimiento kurdo se asoció con varias organizaciones de la izquierda turca para fundar el Partido Democrático del Pueblo, que se convertiría rápidamente en la cuarta fuerza de Turquía, con 10.7 por ciento en las elecciones de noviembre de 2015.4

En 2014 surgieron Izquierda Unida, en Eslovenia, y Podemos, en España, caso del todo particular porque nació con ambiciones de trascender la tradicional definición de partido de izquierda. Esta última formación, no obstante, tras presentarse por primera vez a las elecciones europeas, también adhirió al grupo de la Izquierda Unitaria Europea/Izquierda Verde Nórdica. En octubre de 2015, finalmente, en Irlanda fue fundada la coalición electoral Alianza Anti-austeridad-Pueblo antes que Beneficio, que puso fin al largo conflicto entre el PS y la Alianza Pueblo antes que Beneficio.5

El modelo plural –tan diferente del partido monolítico, inspirado por el principio del centralismo democrático, utilizado por el movimiento comunista del siglo XX– se extendió con velocidad por la mayoría de las fuerzas de izquierda radical europea. Los experimentos más exitosos no fueron tanto los procesos federativos que se limitaron a una mera reunificación de pequeños grupos y organizaciones ya existentes, sino las recomposiciones guiadas, en cambio, por la necesidad de incluir la vasta y dispersa red de subjetividades sociales, capaces de articular diferentes prácticas de conflicto. Esta elección se mostró como la vencedora en cuanto logró atraer nuevas fuerzas, incluidos jóvenes, y reconquistando militantes desilusionados, y favoreció, finalmente, la consolidación electoral de los nuevos partidos generados.

En las elecciones alemanas de 2009, Die Linke ganó 11.9 por ciento de los votos, 3 veces más que el 4 por ciento alcanzado por el Partido del Socialismo Democrático 7 años antes. En las elecciones presidenciales francesas de 2012, el candidato del Frente de Izquierda, Melenchon, obtuvo el mayor voto logrado por cualquier partido a la izquierda del Partido Socialista desde 1981. Y en el mismo año, Syriza comenzó el rápido ascenso que lo llevó a 16.8 por ciento en las elecciones de mayo, a 26.9 en junio y, por último, a 36.3 en enero de 2015, cuando, exclusivamente para un partido anticapitalista europeo desde la Segunda Guerra Mundial, formó un gobierno como el socio mayoritario.6

También se lograron excelentes resultados en la península ibérica, donde la Izquierda Plural Española (un nuevo bloque electoral encabezado por Izquierda Unida) cruzó el umbral de 10 por ciento en las elecciones europeas de 2014, y Podemos se situó dentro de 8 por ciento. El total de votos ganados por todas las fuerzas de izquierda (24.5) fue aún mayor en las elecciones generales de diciembre de 2015. En esa ocasión, Podemos alcanzó 12.6, la Unidad Popular, la última denominación adquirida por Izquierda Unida, 3.6 y varias listas electorales locales –entre ellas, En Común Podemos (Cataluña, 3.7), Commitment-We Can-It is Time (Valencia, 2.6), En Tide (Galicia, 1,6) y País Vasco Unido (08) que en conjunto han recaudado casi 9 por ciento de los votos–. Por otro lado, la coalición creada en el momento de las elecciones de junio de 2016, Unidos Podemos, sufrió una caída de tres puntos porcentuales: recibió 21.2 de los votos.

En cuanto a Portugal, la Coalición Democrática Unitaria totalizó 8.3 por ciento en las elecciones generales de octubre de 2015, mientras que el Bloque Izquierdo, con 10.2, obtuvo su mejor resultado, convirtiéndose en la tercera fuerza política en el país. Este resultado se confirmó en las elecciones presidenciales de enero de 2016, cuando el Bloque Izquierdo una vez más superó 10 por ciento.

Experimentos de izquierda plural –siempre, al fin y al cabo, caracterizada por una clara plataforma política antiliberal– rindieron frutos incluso en algunas elecciones administrativas. Lo demostraron los resultados regionales franceses de 2010 en Limousin, cuando la coalición Frente de la Izquierda y Nuevo Partido Anticapitalista alcanzó 19.1 en la segunda vuelta, y las recientes municipales en España, donde las listas Ahora Madrid y Barcelona en Comú, donde confluyeron Izquierda Unida y Podemos, conquistaron los dos municipios más importantes del país. En ambos casos, amplias alianzas, nacidas por el impulso protagónico de las bases, permitieron superar las diferencias existentes entre los grupos dirigentes a escala nacional.

Entre los resultados electorales más considerables, obtenidos en la última década por la izquierda radical, también se encuentran los obtenidos por partidos que decidieron no disolverse para fundirse con otras fuerzas políticas. Notables fueron la consolidación del PS en Holanda –16.6 en 2006–, sobre la estela de la oposición al referendo contra el Tratado sobre la Constitución Europea, y el éxito del Partido Progresista de los Trabajadores en Chipre, cuyo secretario general, Demetris Christofias, resultó vencedor en los comicios presidenciales de 2009 (33.2 en la primera vuelta y 53.3 en la segunda). Su mandato se destacó, sin embargo, por una clamorosa derrota: la incapacidad de poner fin al conflicto que divide la isla desde 1974 y la expresa sujeción, en materia económica, respecto a las imposiciones de la Troika.

Otro cambio que ha sacudido la geografía de la izquierda europea habría sido al menos tan impredecible hace unos años como lo fue la victoria gubernamental de Syriza en Grecia. En las elecciones de estilo primario celebradas en septiembre de 2015, 59.5 por ciento de los miembros del Partido Laborista británico y sus partidarios registrados votaron a favor de Jeremy Corbyn como su nuevo líder. En el país donde Tony Blair gobernó el gallinero hace 20 años, un anticapitalista autoproclamado ahora ocupa el primer puesto en el Partido Laborista, el más izquierdista de su historia. Este extraordinario giro de los acontecimientos representa otro ejemplo significativo del renacimiento de la izquierda. Después de su elección, Corbyn fue severamente atacado por el ala derecha del partido, y en junio de 2016, tras la renuncia de dos tercios de los miembros del gobierno en la sombra, más de 80 por ciento del Partido Laborista Parlamentario no votó a favor de él. En septiembre, en un nuevo concurso de líderes, fue reelegido como jefe del Partido Laborista, con 61.8 de los votos.

Finalmente, en febrero de 2016, Melenchon fundó La France Insoumise (Francia Insumisa). En pocos meses, este nuevo movimiento político, basado en los avales individuales de la plataforma política L’Avenir en commun (Para un futuro común) y no en la pertenencia a un partido o asociación, transformó la escena política francesa. En la primera ronda (abril de 2017) de las elecciones presidenciales, Melenchon obtuvo más de 7 millones de votos (19.6 por ciento), sólo 600 mil menos que Le Pen y sin calificar para la segunda ronda. Éste fue un resultado histórico para la izquierda radical francesa.

En el ámbito de la Unión Europea, el avance general de la izquierda radical se confirmó en las últimas elecciones europeas de 2014. Sus votos alcanzaron 12 millones 981 mil 378, u 8 por ciento, con un aumento de 1 millón 885 mil 574 en comparación con 2009.7 Incluso con el único criterio de número de diputados elegidos (6.9 por ciento, o 52 legisladores), la Izquierda Unida Europea/Izquierda Verde Nórdica es ahora la quinta fuerza política en el Parlamento Europeo, en comparación con la séptima en 2009.8 Por tanto, está detrás del Partido Popular Europeo (29.4), la Alianza Progresista de Socialistas y Demócratas (25.4), los Conservadores y Reformistas Europeos (9.3) y la Alianza de Demócratas y Liberales por Europa (8.9); pero por delante de los Verdes/Alianza Libre Europea (6.6), Europa de la Libertad y Democracia Directa (6.4) y Europa de las Naciones y la Libertad (5.2).

Sin embargo, esos resultados positivos están empañados por algunos elementos negativos. En muchos países de Europa oriental, la izquierda radical tiene una posición todavía marginal, si no totalmente minoritaria.9 También está alejada de luchas sociales, está privada de arraigo en los territorios y en las organizaciones sindicales, es desconocida para las generaciones jóvenes y está puntualmente atravesada por sectarismos autolesivos de desgarradoras divisiones internas. En otras palabras, no tiene por el momento perspectiva de desarrollo.

Dicha situación se ha repetido en las elecciones. En seis naciones –Polonia, Rumania, Hungría, Bulgaria, Bosnia-Herzegovina, Estonia–, la izquierda radical recogió menos de 1 por ciento de los votos, mientras que en otras, como Croacia, Eslovaquia, Lituania y Letonia, ha alcanzado resultados poco superiores. Ésta sigue siendo muy débil también en Austria, Bélgica y Suiza, mientras que en Serbia se la identifica todavía con el Partido Socialista local, guiado largo tiempo por Slobodan Milošević.

Estamos en presencia, pues, de una realidad heterogénea. En los países de la península ibérica y del Mediterráneo –con la excepción de Italia–, en los últimos años la izquierda radical se expandió significativamente. En Grecia, España, Portugal o Chipre, sus fuerzas se consolidaron de forma estable y son reconocidas en el grupo de los principales actores políticos en los respectivos contextos nacionales. También en Francia, por otro lado, ésta conquistó un discreto papel social y político. Mientras, en Irlanda, el nacionalismo republicano y progresista, aunque moderado, de Nosotros Mismos (Sinn Fein), que alcanzó 22.8 por ciento de los votos en las europeas de 2014, plantó cara al avance de las fuerzas conservadoras.

En Europa central, la izquierda radical logró conservar una buena fuerza electoral en Holanda y Alemania –así a los buenos resultados en las urnas no correspondan significativos conflictos sociales–, pero su peso es limitado en otras partes. En los países nórdicos defendió la fuerza sobre la cual se apoyó después de 1989 (electoralmente alrededor de 10 por ciento), pero se mostró incapaz de atraer el difuso descontento popular, capturado casi en su totalidad por los partidos de derecha.

El problema principal de la izquierda antagonista sigue estando por ahora en el Este, donde, con la excepción del Partido Comunista de Bohemia y Moravia en República Checa y de Izquierda Unida en Eslovenia, ésta es casi inexistente e incapaz de trascender el espectro del “socialismo real”. Dadas las circunstancias, la expansión de la Unión Europea hacia el Levante ha movido definitivamente hacia la derecha el baricentro político del continente, como dan cuenta las rígidas posiciones extremistas asumidas por los gobiernos de Europa oriental durante la reciente crisis en Grecia y frente a la llegada de los pueblos fugados de los teatros bélicos.

¿Más allá del recinto de la eurozona?

La transformación de los partidos de la izquierda radical en organizaciones más amplias y pluralistas ha demostrado ser una receta útil para reducir su preexistente fragmentación, pero no es que haya resuelto los problemas de naturaleza política.

En Grecia, tras el nacimiento del gobierno de Alexis Tsipras, Syriza tenía la intención de llevar a cabo una ruptura con las políticas de austeridad adoptadas por todos los Ejecutivos de centro-izquierda, “técnicos” o de centro-derecha que se alternaron en el poder desde 2010. No obstante, a causa de la enorme deuda pública del Estado helénico, la concreta actuación de esta movida fue inmediatamente subordinada a una negociación con los acreedores internacionales.

Después de cinco meses de agotadoras conversaciones, durante las cuales el Banco Central Europeo dejó de proporcionar crédito al Banco Central en Atenas, causando que las sucursales de los bancos griegos se agotaran, los líderes de la eurozona impusieron un nuevo plan de rescate que contiene todas las disposiciones económicas a que Syriza se había opuesto firmemente. Desde 2010, el arco parlamentario de fuerzas políticas que ha aceptado el memorándum de Bruselas ha sido amplio. De izquierda a derecha, se han inclinado ante la inexorable lógica de la austeridad: la Nueva Democracia, Griegos Independientes, el Río, la Izquierda Democrática, el Movimiento Socialista Panhelénico y, finalmente, incluso Syriza.10 Ni siquiera la respuesta vigorosa en el referéndum consultivo del 5 de julio de 2015 (cuando 61.3 por ciento de los griegos dijo que la firma no respondía a las propuestas de la Troika) servía para lograr un resultado diferente.

Para evitar la salida de la eurozona, el gobierno de Tsipras permitió ulteriores sacrificios sociales, considerables privatizaciones del patrimonio público –que sería puesto en venta como mercancía en liquidación– y, más generalmente, un conjunto de medidas de austeridad funcionales sólo para los planes de los acreedores internacionales y no, en cambio, para el desarrollo de la economía del país.11

Por otro lado, una salida griega de la zona euro, un escenario que algunos preveían, pero sólo si las negociaciones con el eurogrupo fracasaban, habría catapultado al país a un estado de caos económico y profunda recesión. Habría sido necesario prepararse con mucha anticipación para tomar una decisión tan trascendental, sopesar con cuidado cada eventualidad y planear rigurosamente todas las contramedidas apropiadas. Sobre todo, habría sido necesario conquistar gran variedad de fuerzas sociales y políticas y contar con su apoyo.

El resultado de las negociaciones entre el gobierno de Tsipras y el eurogrupo hizo evidente el hecho de que, cuando un partido de izquierda gana las elecciones y quiere llevar a cabo políticas económicas distintas de las dominantes, las instituciones de Bruselas están listas para impedir que tal cosa ocurra. Si, a partir del decenio de 1990, la aceleración incontestada del credo neoliberal, por parte de las fuerzas de la socialdemocracia europea, tuvo como consecuencia la homologación de los programas de estos últimos y de los de los partidos de centro-derecha, hoy, en cambio, cuando un partido de la izquierda radical alcanza el poder, la Troika misma interviene para evitar la alternancia de los Ejecutivos contrarios a sus directrices económicas. Triunfar en los comicios ya no es suficiente. La Unión Europea se ha convertido en el baluarte del capitalismo neoliberal.

Tras el episodio griego ha habido una reflexión colectiva más profunda sobre la conveniencia de mantener a cualquier costo la moneda única. Se hacen esfuerzos para comprender cuáles son las mejores maneras de poner fin a las políticas económicas actuales, sin abandonar al mismo tiempo el proyecto de una nueva y diferente unión política europea. El referéndum británico de junio de 2016 sobre si retirarse de la Unión Europea infligió un duro golpe a Europa. La mayoría de los ciudadanos de Reino Unido votó a favor de abandonar la UE, dando así una razón ulterior a quienes argumentarían que fue un error afirmar que una elección similar constituiría un salto peligroso hacia el vacío.

Actualmente, la posición mayoritaria entre los partidos de la izquierda radical sigue siendo la de quienes sostienen, en continuidad con las posiciones asumidas durante los últimos años, que todavía es posible modificar las políticas europeas en el contexto existente; es decir, sin romper la unión monetaria alcanzada en 2002 con la entrada en vigor del euro.

A la cabeza de esta iniciativa está Syriza que, si bien tuvo la ocasión, después de haber alcanzado el gobierno, de elaborar y llevar a cabo soluciones alternativas –a pesar de haber estado bajo presión de las instituciones europeas, las cuales propendían por bloquear cualquier cambio– nunca consideró la opción de la “Grexit”. En septiembre de 2015, alcanzando 35.5 por ciento de los votos, Tsipras venció en las elecciones anticipadas, promovidas por él después del conflicto surgido con la parte de su partido contraria a la puesta en marcha de las medidas consideradas en el memorando, y regresó al gobierno con un grupo parlamentario cohesionado y ya no más expuesto al riesgo de disidencias internas.

Syriza, entonces, no obstante el aumento del abstencionismo (7 por ciento mayor respecto a las elecciones de 8 meses antes), y la reducción del número de votantes (unos 600 mil menos) comparado con el referendo de julio, logró conservar el consenso de una parte significativa del pueblo griego. Sin embargo, la confianza que éste volvió a darle será pronto puesta a prueba por los efectos de los recortes impuestos por el eurogrupo. No sería descabellado prever la emergencia de escenarios aún más inciertos que el actual.

En el verano de 2015, Syriza anunció su estrategia para evitar la pérdida de apoyo que sufrieron todas las demás partes que implantaron programas anteriores de rescate de la Troika. El gobierno griego habría tenido que negociar una reducción sustancial de la deuda pública para evitar el inicio de un nuevo ciclo deflacionario. Además, habría tenido que llevar a cabo una agenda paralela a la impuesta por Bruselas, tomando algunas medidas redistributivas que podrían limitar los efectos del memorando más reciente. Ambos proyectos, sin embargo, resultaron ser irrealizables. Después de la experiencia del gobierno de Tsipras, y dado que las instituciones de la UE rechazarán cualquier reestructuración de la deuda, ha quedado claro que la izquierda también debe estar preparada para una posible salida de la zona euro. Sin embargo, sería erróneo pensar en esto como el remedio para todos los males.

Aparte de Syriza, la opción de reformar la Unión Europea en el actual escenario es compartida por la mayoría de las principales fuerzas del Partido de Izquierda Europea, entre las cuales están La Izquierda en Alemania, el Partido Comunista Francés y la Izquierda Unida española. En este bloque se sitúa también Podemos, cuyo grupo dirigente se declaró convencido de que si al gobierno griego se unieran otros dispuestos a romper con las políticas de austeridad impuestas por la Troika podría abrirse un espacio para acabar con algo que parece hoy tan inalterable. El resultado de las recientes elecciones en Portugal –que asignó la mayoría a una alianza del todo impensable hasta hace poco, constituida por el Partido Socialista, el Bloque de Izquierda y la Coalición Democrática Unida–12 parece haber reforzado dicha esperanza.

Sin embargo, para otros, la “crisis griega” –en realidad, una de la democracia y del capitalismo neoliberal– parece comprobar, en cambio, el carácter irreformable de este modelo de Unión Europea. No tanto por las actuales relaciones de poder presentes en su interior, cada vez más desfavorables a las fuerzas anticapitalistas, que le siguen a la expansión hacia el Este sino, por el contrario, por su arquitectura general. Los inflexibles parámetros económicos impuestos de manera creciente a partir del Tratado de Maastricht han reducido inevitablemente, o en algunos casos casi anulado, las bastante más complejas y compuestas exigencias de la política.

En los últimos 25 años, las políticas neoliberales, cubiertas por un engañoso manto tecnocrático y no ideológico, han triunfado por doquier en Europa, asestando duros golpes a su modelo de welfare State. Los Estados nacionales se han encontrado con la privación gradual de algunos instrumentos de dirección político-económica, que habrían sido indispensables para llevar a cabo programas de inversión pública con miras a cambiar el curso de la crisis. Finalmente, se consolidó la práctica antidemocrática –afianzada hasta el punto de parecer natural– de asumir decisiones de gran relevancia sin contar con la aprobación popular.

Por tanto, en los últimos meses la fila de quienes consideran ilusoria la posibilidad de democratizar la eurozona, aun cuando expresan una posición que sigue siendo minoritaria, ha aumentado de manera notable. Junto a las fuerzas de la izquierda radical tradicionalmente euroescépticas, como el Partido Comunista Portugués, el Partido Comunista de Grecia o, en Escandinavia, la Lista unitaria-Los Rojo-Verdes en Dinamarca, se encuentra Unidad Popular. Nacida en Atenas en agosto de 2015, en su interior confluyeron muchos ex dirigentes y ex militantes de Syriza, contrarios a las decisiones de Tsipras de aceptar las imposiciones del eurogrupo. Esta formación, favorable al regreso del dracma, quedó fuera del parlamento helénico, después de haber conseguido sólo 2.8 por ciento de los votos en las últimas elecciones.

Por otra parte, diversos intelectuales y dirigentes políticos han manifestado explícitamente su posición contraria al euro.13 Lafontaine, por ejemplo, propuso un retorno, en forma flexible, al sistema monetario europeo; es decir, al acuerdo, en vigor antes que existiera el euro, que preveía una fluctuación controlada de los valores de varias monedas nacionales. El esfuerzo de encontrar soluciones inmediatas para poner fin al periodo de austeridad, donde se manifiesten nuevas e inaceptables coerciones, como las ejercidas sobre Grecia, debe, sin embargo, considerar todas sus implicaciones posibles. En el plano simbólico, el regreso al viejo sistema monetario podría ser percibido como un primer paso hacia la desaceleración del proyecto de unidad europea, mientras que en el plano político podría constituir un peligroso detonador de la ventaja de las fuerzas de la derecha populista.

Junto a las dos formaciones más claramente a favor y en contra de la “democratización del euro”, hay un área, más bien amplia, que vacilaría al proporcionar una respuesta clara a la pregunta: “¿Qué hacer si mañana sucediera en otro país lo que sucedió en Grecia?” Si bien se ha convertido en una preocupación común que, en el futuro, otros partidos o coaliciones de gobierno puedan estar sujetos al chantaje sufrido por Syriza, por otro lado, sin embargo, también está bastante difundido el temor de que, eclipsando la salida de la eurozona, la izquierda anticapitalista no tendría en cuenta el consenso de amplios sectores de la población, alarmados por la inestabilidad económica y la pérdida de poder adquisitivo de salarios y pensiones que conllevaría la inflación. Un típico ejemplo de esta incertidumbre está representado por los cambios de parecer de los últimos años del Bloque de Izquierda en Portugal y del Partido Socialista en Holanda.

El llamamiento a “un plan B en Europa”, promovido en 2015 por Melenchon, ha dado un nuevo estímulo a la discusión. Calificando la interferencia de la UE en Grecia como un verdadero “golpe de Estado”, propuso una comisión internacional permanente para diseñar las formas en que una alternativa al sistema monetario basado en el euro podría estar disponible si fuera necesario.14 La propuesta del plan B también fue utilizada por La France Insoumise en la reciente campaña electoral. Si en los próximos meses otras fuerzas sociales, partidos políticos e intelectuales aceptan esta posibilidad, la demanda de abandonar el euro podría en el futuro convertirse en la bandera de algo más que la derecha nacionalista.

Por tanto, el conflicto desencadenado en Syriza podría reproducirse en otras partes. Demuestran lo anterior en este momento las fibrilaciones internas del Frente de Izquierda en Francia y en La Izquierda en Alemania. Para la izquierda radical europea, pues, podría concretarse el riesgo de una nueva etapa de divisiones. Tal condición revela los límites de la forma plural que las fuerzas antagonistas se han procurado en los últimos años, que consisten en una falta de definición programática. De hecho, la diversidad de posiciones y de culturas políticas existente en las varias organizaciones que han dado vida a estas nuevas coaliciones requeriría un difícil, pero no imposible, acuerdo puntual sobre las estrategias por implantar.

Ulteriores tensiones recorren la izquierda radical europea también respecto a la relación que debe tenerse con las fuerzas socialdemócratas. El problema, presente a escala municipal y regional, involucra la constante incertidumbre sobre la conveniencia de la participación de experiencias de gobierno en alianza con éstas. El riesgo concreto es desempeñar un papel subalterno, aceptando, como en el pasado, compromisos “desde abajo” que dilapidarían el consenso hasta ahora conquistado y que dejarían a las derechas populistas el monopolio de la oposición social.

La opción del gobierno debe por tanto ser tenida en cuenta sólo si hay condiciones para llevar a cabo un programa económico en clara discontinuidad con las políticas de austeridad impuestas durante la última década. Tomar decisiones diferentes significaría no haber atesorado las lecciones de los años pasados, cuando la participación de los partidos de la izquierda radical en los Ejecutivos moderados, de impronta socialista, comprometió su credibilidad en la clase trabajadora, los movimientos sociales y los estratos sociales más débiles.

De frente a una tasa de desempleo que, en muchos países, se muestra con niveles nunca alcanzados durante la segunda posguerra, se vuelve prioridad el lanzamiento de un gran plan para el trabajo, sustentado por inversiones públicas, que tenga como principio guía el desarrollo sostenible. Éste deberá estar acompañado por un claro cambio de tendencia respecto a la precarización de contratos, que ha distinguido a todas las últimas reformas del mercado laboral, y por la introducción de una ley que indique un mínimo salarial bajo el cual no se pueda descender. Estas medidas podrían restituir a las generaciones jóvenes la posibilidad de organizar su futuro.

Debería ser puesta en marcha, además, la reducción del horario de trabajo y de la edad de pensión. Mediante estas acciones se restablecerían algunos elementos de justicia social, necesarios para derrocar la impronta neoliberal que constantemente ha aumentado el reparto desigual de la riqueza producida.

Para hacer frente a la dramática emergencia ocupacional, los partidos de la izquierda radical deberán hacer aprobar, en todos los países donde aún no existan, medidas aptas para instaurar un rédito de ciudadanía y algunas primordiales formas de asistencia a los estratos menos favorecidos –desde el derecho a la vivienda hasta los subsidios de transporte o el derecho a la educación gratuita– para contrastar así la pobreza y la cada vez más difundida exclusión social.

Paralelamente, se vuelve imprescindible dar un vuelco a los procesos de privatización que han caracterizado la contrarrevolución de las últimas décadas, restituyendo a la propiedad pública y al control universal todos los bienes comunes que pasaron de ser servicios para la colectividad a medios de generación de ganancias para pocos. La propuesta de Corbyn respecto al retorno a la nacionalización del sistema ferroviario inglés y la necesidad de invertir, por doquier en Europa, significativos recursos en la escuela y en la universidad pública muestran la dirección justa.

Respecto a los recursos necesarios para financiar tales reformas, éstos podrían ser obtenidos de los ingresos que deriven de la introducción de una tasa sobre los capitales y de un impuesto sobre las actividades no productivas de las grandes empresas, así como sobre las transacciones y los réditos financieros. Es evidente que, para realizar este plan, se considera como primer acto necesario la promoción de un referendo derogatorio del fiscal compact para acabar así con los vínculos impuestos por la Troika.

A escala continental, una verdadera alternativa es concebible sólo si una amplia coalición de fuerzas políticas y sociales es capaz de imponer un diálogo europeo para la reestructuración de la deuda pública.

Este escenario podrá ser realidad únicamente si la izquierda radical desarrolla, con más determinación y continuidad, campañas políticas y movilizaciones transnacionales, comenzando por el repudio a la guerra y la xenofobia, cuestión todavía más decisiva tras los atentados del 13 de noviembre de 2015 en París, y sosteniendo la extensión de todos los derechos sociales y civiles a los migrantes que llegan a territorio europeo.

Una política alternativa no da pie a atajos. No basta en realidad encomendarse a líderes carismáticos, pero tampoco la debilidad de los partidos de hoy justifica su destrucción por las instituciones del Estado.15 Es menester dar forma a nuevas organizaciones –pues la izquierda necesita de éstas tanto como las necesitó en la década de 1990–, que gocen de una presencia capilar en los puestos de trabajo, que propendan a la reunificación de las luchas, nunca tan fragmentadas como lo están hoy, y a unas clases trabajadoras y subalternas que, mediante sus estructuras territoriales, sean capaces de dar respuestas inmediatas, incluso antes de las mejoras generales introducidas por ley, a los dramáticos problemas causados por la pobreza y la exclusión social. Esto puede darse incluso reutilizando algunas formas de resistencia y solidaridad social aplicadas por el movimiento obrero en otros momentos históricos.

Se tendrán que redefinir además nuevas prioridades, en particular la puesta en práctica de una auténtica paridad de género y la minuciosa y concienzuda formación política de los militantes más jóvenes, teniendo como punto de referencia, en una época en la que la democracia es rehén de organismos tecnocráticos, la promoción de la participación desde abajo y la evolución del conflicto social.

Las iniciativas de la izquierda radical que en verdad pueden aspirar a cambiar el curso de los eventos tienen por delante una única vía: la de la reconstrucción de un nuevo bloque social capaz de dar vida a una oposición de masas a las políticas introducidas por el Tratado de Maastricht y, por consiguiente, de cambiar radicalmente las directrices económicas que hoy dominan en Europa.

Traducción: Felipe Uribe y Perla Valero

Notas
1. Para una lista de las fuerzas que componen el Partido de la Izquierda Europea véase http://www.european-left.org/about-el/member-parties
2. Por el contrario, no forman parte las formaciones de la Iniciativa de los Partidos Comunistas y de los Trabajadores, fundada en 2013, que comprende, a excepción del Partido Comunista de Grecia, su fuerza principal, 29 minúsculas formaciones ortodoxas y estalinistas.
3. El manifiesto Trabajo y Justicia Social-La Alternativa Electoral, de Oskar Lafontaine, fue constituido en 2005; y la fundación del Partido de Izquierda, guiado por Jean-Luc Mélenchon, anunciada en noviembre de 2008 (el congreso fundacional se celebró en febrero de 2009).
4. En las elecciones de junio de 2015, antes del inicio de la escalada de violencia y de atentados desencadenada por el presidente Recep Erdoğan, el resultado (13.1 por ciento) fue incluso más notorio.
5. Un mapa de las fuerzas de la izquierda radical europea obra en la publicación a cura de Birgit Daiber, Cornelia Hildebrandt, Anna Strienthorst, From revolution to coalition: radical left parties in Europe, Berlin: Rosa Luxemburg Foundation, 2012; y, más recientemente, en el número especial, a cura de Babak Amini, de la revista Socialism and Democracy, volumen 29, número 3, 2015, titulado The radical left in Europe.
6. El único otro ejemplo es el pequeño estado de Chipre, donde el Partido Progresista del Pueblo Trabajador formó un gobierno de coalición en 2009.
7. La mayoría de los datos en circulación sobre los resultados de las elecciones, incluidos los emitidos por la Unión Europea, se refieren a porcentajes del número de diputados elegidos, no del de votos emitidos. Una de las excepciones loables de esta práctica es Paolo Chiocchetti. Véase “La izquierda radical en las elecciones del Parlamento Europeo 2014: una primera evaluación” (en la publicación en línea editada por Cornelia Hildebrandt, Situación de la izquierda en Europa después de las elecciones de la UE: nuevos desafíos, Berlín: Rosa Luxemburg Stiftung, 2014), y The radical Left Party family en Europa Occidental, 1989-2015, Londres: Routledge, 2016.
8. A estos deben agregarse otros dos eurodiputados del Partido Comunista de Grecia, no pertenecientes al grupo EUL/NGL.
9. Se observa que los elegidos al Parlamento Europeo del GUE/NGL provienen sólo de la mitad de los 28 países que componen la Unión Europea.
10. El famoso eslogan de Margaret Thatcher “No hay alternativa” continúa materializándose, como un fantasma, incluso a la distancia de 30 años.
11. A propósito, véase el documento colectivo Preliminary report, a cura del Truth Committee on Public Debt, la comisión establecida el 4 de abril de 2015 por iniciativa del ex presidente del Parlamento griego Zoe Konstantopoulou: http://cadtm.org/IMG/pdf/Report.pdf El nuevo gobierno de Syriza decidió eliminar este importante reporte del sitio oficial del Parlamento griego.
12. En Portugal, tras la Revolución de los Claveles y la instauración de la república, los socialistas nunca habían negociado con fuerzas políticas a su izquierda.
13. Junto a los autores que empujan desde hace tiempo en esta dirección –entre las varias publicaciones disponibles, se recurre a Jacques Sapir, Faut-il sortir de l’Euro?, Paris: Le Seuil, 2012; y Heiner Flassbeck y Costas Lapavitsas, Against the Troika: crisis and austerity in the Eurozone, London: Verso, 2015–, hubo durante las últimas semanas varias intervenciones en la misma dirección. En una entrevista concedida al famoso semanario alemán Der Spiegel, intitulada “Krise in Griechenland: Lafontaine fordert Ende des Euro”, publicada el 11de julio de 2015, Lafontaine se adelantó declarando que “el euro ha caído”. En Italia, el prestigioso sociólogo Luciano Gallino, recientemente desaparecido, publicó en La Repubblica, con fecha 22 de septiembre de 2015, el artículo “Por qué Italia puede y debe salir del euro”. También en Portugal, e incluso antes de la crisis griega, el influyente Francisco Louçã, durante 12 dirigente principal del Bloque de Izquierda, después de haber publicado, junto con Joao Ferreira do Amaral, el volumen A Solução Novo Escudo, Alfragide: Lua de Papel, 2014, expresó posiciones siempre más críticas respecto a la situación presente, véase su artículo “Sair ou não sair do euro”, publicado el 27 de febrero de 2015 en el periódico Publico.
14. La primera reunión sobre el tema se celebró en París del 23 al 24 de enero de 2016, pero fue decepcionante tanto en términos de participación como en la calidad del debate.
15. Cuando se hizo con el poder, en enero de 2015, Syriza obtuvo casi 2 milones 250 mil, pero el número de sus inscritos rondaba sólo 36 mil. Tras asumir la responsabilidad de gobierno, las decisiones democráticamente tomadas por el partido griego fueron repetidamente reformadas o ignoradas.

Categories
Reviews

Gangyunju, Hankookilbo

“마르크스, 정치적으로만 소비… 환경ㆍ여성 등 오늘날 문제에 맞닿아”

동구권 사회주의 국가들의 몰락과 함께 칼 마르크스(1818~1883)는 ‘한 물 간 사상가’로 인식됐다. 그의 탄생 200주년을 맞은 지난해 한국 학계의 반응은 미지근했다. 마르크스는 그저 과거 인물에 불과한가.

마르크스의 문헌을 연구해온 마“1989년 베를린 장벽이 무너지고 나서 20년 간 마르크스주의자들은 숨죽여왔다. 침묵을 깨운 것은 2008년 글로벌 경제위기였다. 자본의 위기는 경제를 너머 정치 사회의 모든 분야의 갈등과 문제를 야기하는 원인이다. 유럽과 중남미, 미국에서 포퓰리즘 정치 세력의 우경화 바람이 불고 있지만, 근본적인 대안을 내놓지 못하고 있다. 전 세계 젊은이들이 마르크스를 다시 주목하는 이유다. 보수정권이 집권한 아르헨티나에서 열린 한 마르크스 학술대회에는 정원보다 10배 많은 5,000명의 대학생들이 몰려 행사가 진행되지 못한 일도 있었다.”

-마르크스는 경제적 구조 관점으로만 사회를 바라봤다.

“명백한 오해다. 마르크스는 자본이 노동자에 대한 착취를 거듭할 수록 생태계를 위협하고, 여성들에 대한 억압과 불평등을 더욱 심화 시킬 것이라 경고했다. 생산량의 증가가 도시화, 공업화로 이어져 환경파괴를 가져올 것이라 우려했다. 특히 가부장제를 역사의 산물이라고 꼬집으며, 한 사회의 진보를 가늠하는 척도는 여성해방이라고 역설했다. 1880년대 쓴 프랑스 사회주의 노동자 강령엔 ‘남녀노동자 모두에게 동일노동 동일임금 지급’을 처음 강조했다. 오늘날 우리가 직면한 생태, 환경, 여성 억압에 대한 고민과 맞닿아 있다.”

-마르크스의 말년을 돌아봐야 하는 이유가 있나.

“마르크스 연구자들조차 1867년 마르크스가 자본론 1권을 집필한 이후 죽을 때까지 연구에 손을 놓았다고 비판한다. 그러나 마르크스는 말년에 인류학 수학 지리학 등 영역을 확대하며, 자기가 기존에 주장한 이론에 대해 계속 검토하고 의심했다. ‘봉건주의에서 자본주의, 사회주의, 공산주의’로 이어지는 단계적 사회 발전론에 대해서도 말년에 가선 획일적으로 이뤄지지 않을 수 있다고 부정했다. 모순적이라고 비판할 수 있지만, 나는 마르크스 사상의 핵심은 ‘자기비판’이라고 본다.”

-마르크스의 새로운 면모는 잘 부각되지 않았다.

“마르크스를 정치적으로만 소비하고 이용하는 탓이다. 한쪽에선 신화로, 한쪽에선 금기로 다뤄지고 있다. 지난해 마르크스 탄생 200주년에 맞춰 중국은 마르크스를 영웅으로 띄웠다. 시진핑 국가 주석의 집권 정당성을 위한 선전도구였다. 반면 동유럽 사회주의 국가에서 마르크스는 여전히 금기다. 한국도 북한을 의식한 탓인지 연구가 자유롭지 못하다. 마르크스를 교조적 이념 틀에 가두면서 그의 진면목에 대해 알려고 들지 않았다. ”

-한국에선 정규직과 비정규직 간의 노노 갈등도 심하다. 최저임금도 논란거리다.

“가난한 자들끼리의 전쟁은 전 세계적으로 일어나는 현상이다. 노동자들끼리의 분열은 자본가들의 세력을 더 강화시킨다는 점을 상기할 필요가 있다. 정치적 연대로 노동자들 간의 실제 차별을 없애는 게 모두에게 이롭다. 최저임금을 올리려는 노력은 반드시 필요하다. 다만 경제 사정을 고려하지 않고 인위적으로 높이는 것은 또 다른 문제를 야기할 수 있다. 반발에 부딪히면 최저임금이 ‘최대임금’으로 굳어질 수 있고, 자본가들의 착취 또한 더 심화될 수 있다는 점도 고려해야 한다. 그러나 투쟁은 반드시 필요하다. 마르크스는 현실을 있는 그대로 받아들이지 않는 삶의 태도가 가장 중요하다고 강조했다.”

르셀로 무스토(43) 캐나다 요크대 사회학과 부교수의 생각은 다르다. 양극화와 불평등, 갑질, 금융위기 등 자본주의 병폐가 심해지면 심해질수록 마르크스의 가르침은 여전히 유효하다고 본다. 마르크스의 미공개 초고, 발췌 노트 등을 정리하는 국제적 연구 작업인 ‘마르크스와 앵겔스 전집 프로젝트(MEGA TWO•114권 중 현재 70권 발간)’에 참여하고 있는 그는 지난해 마르크스 말년의 삶과 연구 업적을 조명한 ‘마르크스의 마지막 투쟁: 1881~1883년의 지적 여정’이란 책을 냈다. 경상대 SSK 연구팀의 초청으로 최근 한국을 찾은 그를 서울 마포구 한 카페에서 만났다. 그는 인터뷰 내내 “사람들이 마르크스를 제대로 모르고 있다”며 마르크스를 재발견해야 한다고 강조했다.

-마르크스주의는 수명을 다한 것 아닌가.

Categories
Reviews

Iuri Lombardi, YAWP. Giornale di Letterature e Filosofie

Einaudi ripropone Marx: una nuova prospettiva sul filosofo tedesco

A fine 2018 è uscito per Einaudi Karl Marx. Biografia intellettuale e politica 1857-1883, il nuovo studio condotto da Marcello Musto, che si propone di analizzare l’ultimo periodo della vita del filosofo tedesco.

È il caso di dire che ci troviamo di fronte a un libro piuttosto insolito rispetto ai tanti già editi sull’argomento. Di fatto gli innumerevoli saggi che il filosofo ed economista ha ispirato – dalle ricostruzioni storiche alla ricerca filologica dei testi, fino all’ermeneutica – non sono riusciti ad andare realmente nel profondo, come è invece avvenuto in questo caso.

Lo storico e filosofo marxista Marcello Musto pare assumere una prospettiva radicalmente diversa rispetto agli studi del passato. Da sempre infatti gli studiosi di Marx hanno separato l’aspetto biografico dalla speculazione teorica, mentre nel nuovo saggio edito da Einaudi scopriamo che tale scissione è più problematica di quanto sia finora apparso.

Questo saggio non istituisce questa distinzione netta e in qualche modo indebita, non disgiunge il filosofo e il sociologo dall’uomo. Da buon studioso qual è, Marcello Musto – ed è questo l’aspetto più originale e per certi versi sorprendente del suo lavoro – considera simultaneamente la sfera speculativa e quella biografica. Analizza dunque non solo gli scritti teorici ma anche i diari e le carte sparse di Marx risalenti al periodo senile (1857-1883), per mostrare come la vita di Karl fosse profondamente avviluppata all’attività di pensatore, quasi a costituire un’unica cosa, un’unica verità. Dagli scritti privati vergati dal capostipite del pensiero politico di sinistra emerge non solo questa inscindibilità, questo intreccio persistente e inestricabile tra biografia ed analisi politica, ma anche il profilo di un intellettuale sempre lucido e pronto a sviscerare con acume la questione economica dell’Europa post-rivoluzionaria.

Non è un caso che Musto, per dimostrare ciò, abbia esaminato il periodo che va dagli anni Cinquanta agli anni Ottanta dell’Ottocento: in questa fase infatti il pensatore tedesco sembra essere più attivo che mai, e intento – o forse sarebbe più corretto dire impegnato – ad ampliare il suo raggio d’interesse. In questi anni Marx osserva e appunta instancabilmente: porta avanti i suoi studi sulla proprietà collettiva, rileva le corrispondenze tra stato d’economia e botanica, indaga la questione economica statunitense.

Si tratta di un torno di anni formidabile, in cui il filosofo tedesco contesta radicalmente il colonialismo, studia la schiavitù in America a partire dall’indipendenza, e in questo periodo, forse come non mai, il privato di un uomo si intreccia e trova simbiosi con il presente del sociologo e dell’intellettuale.

La lucidità e la forza del saggio di Musto sta proprio nell’aver messo in luce aspetti sinora sottaciuti e rimesso in discussione i termini di un’analisi che non si può definire chiusa e che probabilmente non troverà mai fine. Ma soprattutto, nell’aver gettato una sonda diversa non solo nel pensiero di un filosofo fondamentale per la nostra civiltà, ma anche tra le mistificazioni, più o meno pervasive, che nel corso del tempo l’Occidente ne ha fatto.