Categories
Journalism

Wajah Baru Marx Setelah Marx-Engels Gesamtausgabe (MEGA) (Bagian II)

I. Pengasingan di London dan Kritik Ekonomi-Politik
Gerakan revolusioner yang bangkit di Eropa pada tahun 1848 ditaklukkan dalam tempo singkat dan pada 1849, setelah diusir dari Prusia dan Prancis, Marx tidak punya pilihan selain menyeberangi Selat Inggris.
Ia kemudian menetap di Inggris, sebagai orang buangan tak bernegara, selama sisa hidupnya. Namun, keadaan di Eropa menempatkan Marx di lokasi yang terbaik untuk menulis kritik ekonomi-politiknya. Pada saat itu, London adalah pusat ekonomi dan finansial termaju, ‘demiurgos kosmos borjuis’, dan karenanya merupakan lokasi yang paling mendukung untuk mengamati perkembangan ekonomi terkini dari masyarakat kapitalis. Ia juga menjadi penulis untuk New-York Tribune, surat kabar dengan sirkulasi terluas di Amerika Serikat.
Selama bertahun-tahun, Marx menantikan pecahnya krisis baru. Ketika hal ini termaterialisasikan pada tahun 1857, ia mengabdikan banyak waktunya untuk menganalisis karakter-karakternya. Volume I/16, “Karl Marx—Friedrich Engels, Artikel Oktober 1857 bis Dezember 1858”, mencakup 84 artikel yang ia terbitkan antara musim gugur 1857 dan akhir 1858 dalam New-York Tribune, termasuk artikel-artikel yang mengekspresikan reaksi-reaksi awalnya pada publik finansial pada 1857. Harian Amerika tersebut sering mencetak editorial-editorial tanpa nama pengarang, tetapi penelitian atas volume baru MEGA ini telah membuka kemungkinan untuk mengatributkan dua artikel lagi pada Marx, bersama dengan empat lainnya yang secara substansial diubah oleh para editor dan tiga lagi yang asal-muasalnya tetap belum jelas.
Didorong oleh kebutuhan mendesak untuk memperbaiki keadaan ekonominya, Marx juga bergabung dengan komite editorial The New American Cyclopædia dan setuju untuk menulis sejumlah artikel untuk proyek ini (volume I/16 mengandung 39 artikel jenis ini). Meski bayarannya $2 per halaman sangatlah rendah, ini tetap merupakan tambahan bagi kondisi keuangannya yang parah. Apalagi kebanyakan dari pekerjaan ini ia serahkan pada Engels, sehingga ia dapat lebih banyak mengabdikan waktu untuk tulisan-tulisan ekonominya.
Karya Marx dalam periode ini sungguh hebat dan luas cakupannya. Di samping komitmen jurnalistiknya, dari Agustus 1857 hingga Mei 1858 ia mengisi delapan buku catatan yang dikenal sebagai Grundrisse. Tetapi, ia juga menetapkan bagi dirinya tugas berat studi analitis tentang krisis ekonomi dunia yang pertama. Volume IV/14, “Karl Marx, Exzerpte, Zeitungsausschnitte und Notizen zur Weltwirtschaftskrise (Krisenhefte). November 1857 bis Februar 1858”, secara signifikan menambah pengetahuan kita tentang salah satu interval paling subur dalam produksi teoretis Marx. Dalam surat kepada Engels pada Desember 1857, Marx mendeskripsikan aktivitasnya yang gila-gilaan:
Aku bekerja dengan giat, umumnya hingga jam 4 pagi. Aku melibatkan diri dalam tugas ganda: 1. Menjelaskan skema [Grundrisse] ekonomi-politik. (mengupas masalah ini hingga tuntas demi kepentingan publik adalah sepenuhnya esensial, sama pentingnya dengan kebutuhan pribadiku untuk mengakhiri mimpi buruk ini). 2. Krisis di masa kini. Selain artikel-artikel untuk [New-York] Tribune, semua yang aku lakukan adalah mengumpulkan catatan-catatan mengenainya, yang sayangnya menghabiskan banyak waktu. Aku pikir kira-kira pada musim semi nanti kita harus menyusun sebuah pamflet bersama tentang isu tersebut sebagai pengingat kepada publik Jerman bahwa kita masih ada di sana dan selalu tetap sama.
Jadi, rencana Marx adalah mengerjakan pada saat yang bersamaan dua proyek: karya teoretis tentang kritik moda produksi kapitalis dan buku yang lebih tematis mengenai krisis yang tengah berlangsung. Inilah sebabnya mengapa dalam karyanya Notebooks on Crisis, tidak seperti volume-volume serupa sebelumnya, Marx tidak mengumpulkan bahan-bahan dari karya para ekonom lain, tetapi mengoleksi sejumlah laporan dari surat kabar tentang kolapsnya bank-bank besar, variasi harga pasar saham, perubahan pola-pola dagang, tingkat pengangguran dan hasil industri. Perhatian khusus yang ia berikan pada isu yang disebut terakhir membedakan analisisnya dari begitu banyak pengamat lain yang mengatributkan krisis-krisis ini secara eksklusif pada kesalahan penyaluran kredit dan peningkatan spekulasi. Marx membagi catatan-catatannya ke dalam beberapa buku catatan.
Pada buku catatan pertama sekaligus yang terpendek, yang berjudul “Prancis 1857”, ia mengoleksi data tentang situasi perdagangan di Prancis dan langkah-langkah yang diambil oleh Bank Prancis. Buku catatan kedua, “Buku tentang Krisis 1857”, panjangnya hampir dua kali lipat dan terutama berurusan dengan Inggris dan pasar uangnya. Tema-tema serupa dibahas dalam buku catatan ketiga yang sedikit lebih panjang, “Buku tentang Krisis Perdagangan”, di mana Marx mengomentari berita-berita dan data mengenai relasi-relasi industri, produksi bahan-bahan mentah dan pasar tenaga kerja.
Karya Marx seperti biasanya begitu cermat: ia menyusun secara kronologis bagian-bagian menarik dari sejumlah artikel dan informasi lain yang dapat ia gunakan untuk merangkum apa yang terjadi dari lusinan majalah dan surat kabar. Sumber utama yang ia gunakan adalah The Economist—mingguan yang darinya ia menyusun separuh catatannya—meski ia juga secara berkala memeriksa Morning Star, The Manchester Guardian, dan The Times. Semua bahan ini dikumpulkan dalam bahasa Inggris. Dalam catatan-catatan tersebut, Marx tidak membatasi dirinya pada berita-berita tentang Amerika Serikat dan Inggris. Ia juga melacak peristiwa-peristiwa paling signifikan di negara-negara Eropa lain—khususnya Prancis, Jerman, Austria, Italia, dan Spanyol—dan menunjukkan minat serius terhadap bagian-bagian lain dunia, khususnya India dan China, Timur Jauh, Mesir, dan bahkan Brazil serta Australia.
Setelah minggu-minggu tersebut berlalu, Marx meninggalkan ide menerbitkan buku tentang krisis dan mengkonsentrasikan seluruh energinya pada karya teoretisnya, kritik ekonomi-politik, yang menurut pandangannya tidak dapat ditunda lagi. Namun Notebooks on Crisis tetap berguna untuk membantah pandangan yang keliru tentang minat utama Marx selama periode ini. Dalam sepucuk surat pada awal 1858 untuk Engels, ia menulis bahwa ‘mengenai metode’ yang ia gunakan, ‘Logika Hegel sangatlah bermanfaat baginya’ dan menambahkan bahwa ia ingin untuk menyoroti ‘aspek rasionalnya’. Dengan dasar ini, beberapa penafsir karya Marx menyimpulkan bahwa ketika menulis Grundrisse, ia menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari filsafat Hegelian. Namun, penerbitan volume IV/4 menunjukkan jelas bahwa perhatian utamanya pada saat itu adalah analisis empiris atas peristiwa-peristiwa yang terkait dengan krisis ekonomi besar yang ia telah prediksikan jauh sebelumnya.

II. Awal 1860-an
Upaya-upaya tanpa kenal lelah dari Marx untuk menuntaskan ‘kritik ekonomi-politik’-nya juga menjadi tema utama dari volume III/2, “Karl Marx—Friedrich Engels, Briefwechsel Januar 1862 bis September 1864”, yang mencakup korespondensinya sejak awal1862 hingga pendirian Asosiasi Kelas Pekerja Internasional. Dari 425 surat yang tersisa, 112 adalah antara Engels dan Marx, sementara 35 ditulis kepada, dan 278 diterima dari, pihak ketiga (227 dari kumpulan ini baru diterbitkan untuk pertama kalinya). Disertakannya kumpulan terakhir ini—yang memiliki perbedaan paling signifikan dari seluruh edisi sebelumnya—menyuguhkan harta karun bagi pembaca yang berminat serta menyediakan kekayaan informasi baru tentang peristiwa-peristiwa dan teori-teori yang Marx dan Engels pelajari dari perempuan dan laki-laki yang dengannya mereka berbagi komitmen politik.
Di antara poin-poin diskusi dalam korespondensi Marx sejak awal 1860-an adalah Perang Saudara Amerika, revolusi Polandia melawan pendudukan Rusia, kelahiran Partai Sosial Demokratik Jerman yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip Ferdinand Lassalle. Namun, tema yang secara konstan berulang adalah perjuangannya untuk meraih kemajuan dalam penulisan Kapital.
Selama periode ini, Marx meluncur pada area riset yang baru: Teori-Teori Nilai Surplus. Sepanjang sepuluh buku catatan, ia membedah pendekatan ekonom-ekonom besar sebelumnya, dengan pandangan dasar bahwa “semua ekonom sama-sama keliru dalam mengevaluasi nilai-lebih tidak pada bentuk murninya, melainkan dalam bentuk-bentuk khusus laba dan sewa”. Sementara itu, keadaan ekonomi Marx terus memburuk. Pada Juni 1862 ia menulis pada Engels: “Setiap hari istriku mengatakan ia berharap dirinya dan anak-anak kami aman di kuburan mereka, dan aku sungguh tidak dapat menyalahkannya, karena rasa malu, siksaan, dan peringatan yang seseorang harus lalui dalam keadaan demikian sungguh sulit dideskripsikan”. Situasinya begitu ekstrem sehingga Jenny memutuskan untuk menjual beberapa buku dari perpustakaan pribadi suaminya—meski ia tidak dapat menemukan orang yang mau membelinya. Di tengah keadaan demikian, Marx mampu ‘bekerja keras’ dan mengekspresikan kepuasan pada Engels: “aneh tapi nyata, otakku berfungsi lebih baik di tengah kemiskinan ini dibanding tahun-tahun sebelumnya”. Di bulan September, Marx menulis pada Engels bahwa ia mungkin akan mendapat pekerjaan “di kantor kereta api” pada tahun yang baru. Pada bulan Desember, ia mengulangi ucapannya pada temannya, Ludwig Kugelmann, bahwa keadaan telah menjadi sangat memprihatinkan sehingga ia “memutuskan untuk menjadi ‘orang praktis’; namun, ide ini tidak terwujud juga. Marx melaporkan dengan sarkasme khasnya: “Untungnya—atau mungkin aku harus bilang tidak beruntung?—aku tidak mendapatkan posisi tersebut karena tulisan tanganku jelek.”

III. Kritik yang Belum Tuntas dalam Kapital
Bersama dengan tekanan-tekanan finansial, Marx juga banyak menderita masalah kesehatan. Namun dari musim panas 1863 hingga Desember 1865 ia menyunting kembali bagian-bagian yang ia putuskan akan membentuk Kapital. Pada akhirnya, ia menyusun: naskah pertama Volume Satu; naskah satu-satunya dari Volume Tiga, di mana ia menunjukkan catatan satu-satunya yang ia buat tentang proses lengkap produksi kapitalis; dan versi awal Volume Dua, yang mencakup presentasi umum pertama tentang proses sirkulasi kapital.
Volume II/11 dari MEGA, “Karl Marx, Manuskripte zum zweiten Buch des ‘Kapitals’ 1868 bis 1881”, mengandung seluruh naskah untuk Volume Dua Kapital yang Marx susun antara 1868 hingga 1881. Sembilan dari sepuluh naskah ini belum diterbitkan sebelumnya. Pada bulan Oktober 1867, Marx kembali mengerjakan Kapital, Volume Kedua, namun beragam masalah kesehatan memaksa interupsi mendadak. Beberapa bulan kemudian, ketika ia mampu melanjutkan pengerjaan naskah, hampir tiga tahun telah berlalu sejak versi terakhir yang ia tulis. Marx menuntaskan dua bab pertama selama musim semi 1868, selain sekelompok naskah awal lainnya—mengenai hubungan antara nilai lebih dan tingkat laba, hukum tingkat laba, dan metamorfosis kapital—yang menyibukkannya hingga akhir tahun. Versi baru dari bab ketiga diselesaikannya dalam dua tahun berikutnya. Volume II/1 berakhir dengan sejumlah teks pendek yang Marx tulis antara Februari 1877 dan musim semi 1881.
Naskah-naskah awal Kapital, Volume Dua, yang tak pernah dituntaskannya, menampilkan sejumlah problem teoretis. Namun versi akhir dari Volume II diterbitkan oleh Engels pada tahun 1885 dan sekarang muncul dalam volume II/13 MEGA yang berjudul “Karl Marx, Das Kapital. Kritik der politischen Ökonomie. Zweiter Band. Herausgegeben von Friedrich Engels. Hamburg 1885”.
Yang terakhir, volume II/4.3, ‘Karl Marx, Ökonomische Manuskripte 1863-1868. Teil 3’, melengkapi bagian kedua dari MEGA. Volume ini, yang mengikuti seri II/4.1 dan II/4.2, mengandung 15 naskah yang tidak diterbitkan sejak musim gugur 1867 hingga akhir 1868. Tujuh darinya adalah potongan-potongan naskah awal Kapital, Volume III; mereka memiliki karakter yang amat fragmentaris dan Marx tidak pernah mampu memperbarui naskah tersebut dengan cara yang merefleksikan kemajuan penelitiannya. Tiga naskah lainnya terkait dengan Volume Dua, sementara lima sisanya berurusan dengan isu-isu mengenai kesalingbergantungan volume Dua dan Tiga dan mencakup komentar-komentar terhadap karya Adam Smith dan Thomas Malthus. Yang terakhir disebut ini menarik bagi ekonom-ekonom yang berminat pada teori Marx tentang tingkat laba dan ide-idenya tentang teori harga. Studi-studi filologis yang terkait dengan persiapan volume ini juga menunjukkan bahwa naskah asli Kapital, Volume Satu (di mana ‘Bab Enam. Hasil-Hasil Proses Produksi Langsung’ biasa dianggap sebagai satu-satunya bagian yang tertinggal) sebenarnya disusun pada periode 1863-1864, dan bahwa Marx menggunakannya untuk naskah yang diterbitkannya.
Dengan penerbitan MEGA volume II/4.3, seluruh teks pembantu yang terkait dengan Kapital telah tersedia: mulai dari ‘Pengantar’ yang terkenal itu, yang ditulis pada Juli 1857 selama krisis terbesar dalam sejarah kapitalisme, hingga fragmen-fragmen terakhir yang ditulis pada musim semi 1881. Kita berbicara tentang 15 volume plus banyak lagi catatan-catatan yang menyusun aparatus kritis bagi teks utama. Mereka mencakup seluruh naskah sejak akhir 1850-an dan awal 1860-an, versi pertama Kapital yang diterbitkan pada 1867 (yang bagian-bagiannya akan diubah dalam edisi-edisi berikutnya), terjemahan Prancis yang ditinjau kembali oleh Marx yang muncul antara 1872 dan 1875, dan seluruh perubahan yang dibuat Engels pada naskah-naskah Volume Dua dan Tiga. Dibanding ini semua, ketiga volume Kapital akan terlihat kecil. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa sekarang kita benar-benar bisa memahami keunggulan, keterbatasan, serta ketidaktuntasan magnum opus Marx.
Kerja editorial yang dilakukan Engels setelah kematian kawannya untuk mempersiapkan bagian-bagian yang belum tuntas dari Kapital untuk diterbitkan sesungguhnya amatlah kompleks. Aneka naskah dan fragmen dari volume II dan III, yang ditulis antara 1864 dan 1881, mencapai kira-kira 2350 halaman MEGA. Engels berhasil menerbitkan Volume II pada 1885 dan Volume III pada 1894. Namun, kita harus mengingat bahwa kedua volume ini muncul dari rekonstruksi teks yang tak tuntas dan seringkali mencakup materi yang beragam. Mereka semua ditulis selama lebih dari satu periode dan karena itu mencakup versi-versi yang berbeda dan bahkan berkontradiksi dari Marx.

 

Bagian III

Categories
Journalism

Les crisis en Marx a la dècada de 1850

Durant la dècada de 1850, Marx desenvolupà un profund treball de crítica econòmica al voltant de la idea de les crisis que resultaria en el preludi de les Grundrisse. Quin millor moment que l’actual per revisar-lo?

La crisi econòmica fou un tema constant als articles que Marx va escriure pel New-York Tribune. A «Revolució a la Xina i Europa», del juny del 1853, on connectava la revolució antifeudal xinesa que començà el 1851 amb la situació econòmica general, Marx hi expressà de nou la seva convicció que properament vindria «un moment en el qual el creixement dels mercats seria incapaç de seguir el ritme del creixement de les indústries angleses, i tal desproporció haurà de provocar una nova crisi amb la mateixa certesa amb la que ho ha fet en el passat»[i] Segons ell, en iniciar-se les calamitoses seqüeles de la revolució, una contracció imprevista del gran mercat xinès «encendrà una espurna al sí del sobrecarregat polvorí que és l’actual sistema industrial i provocarà l’explosió d’un crisi general covada llargament, la qual, escampant-se arreu del món, estarà seguida de prop per revolucions polítiques al Continent»[ii]. Per suposat, Marx no considerà mai el procés revolucionari d’una manera determinista, però estava segur que la crisi n’era un prerequisit indispensable per acomplir-lo:

«Des d’inicis del segle divuit no hi ha hagut cap revolució seriosa a Europa que no hagi estat abans precedida per una crisi financera i comercial. Això val tant per la revolució de 1789 com per la de 1848. […] Ni guerres, ni revolucions semblen capaces de posar Europa contra les cordes, a no ser que esdevinguin a conseqüència d’una crisi general del comerç i la indústria, el tret de sortida de la qual el dona, per norma, Anglaterra, la representant de la indústria europea al mercat mundial.»[iii]

La mateixa idea es posava de relleu a les darreries del setembre del 1853, a l’article «Moviments Polítics: L’Escassetat de Pa a Europa»:

«Ni les arengues dels demagogs, ni les nicieses dels diplomats no ens arrossegaran cap a una crisi, ara bé […] s’aproximen desastres econòmics i convulsions socials que tenen una alta probabilitat de ser els precursors d’una revolució europea. Des de 1849 la prosperitat comercial i industrial ha acotxat el bressol en el que la contrarevolució dormia segura.»[iv]

Les traces de l’optimisme amb el que Marx esperava els esdeveniments es poden resseguir a la seva correspondència amb Engels. A una de les cartes, per exemple, també de setembre del 1853, hi escriu: «Les coses van de meravella. L’infern sencer es desencadenarà a França quan la bombolla financera esclati»[v]. Però la crisi encara no acabava d’arribar i ell concentrà l’energia en altres activitats periodístiques per mirar de mantenir la seva única font d’ingressos.

Després de la publicació, entre octubre i desembre del 1853, d’una sèrie d’articles amb el títol de Lord Palmerston, en els quals criticava la política internacional de Henry John Temple (1784-1865), el veterà secretari d’exteriors i futur primer ministre d’Anglaterra, i després, d’una altra tirada d’articles, La Revolució a Espanya, en els que resumia i analitzava els principals esdeveniments de la prèvia dècada a Espanya, entre finals del 1854 i principis del 1855, Marx va reprendre els seus estudis d’economia política. Després d’un descans de tres anys, malgrat tot, va optar per rellegir els seus vells manuscrits abans de perseverar amb la tasca. A mitjans de febrer del 1855 escrigué a Engels:

«He estat incapaç d’escriure els últims quatre o cincs dies […] a causa d’una severa inflamació als ulls […] Els meus problemes oculars venen d’haver estat rellegint els meus propis quaderns de notes sobre economia, no tant amb la intenció d’elaborar el material, sinó més aviat de dominar-lo i deixar-lo enllestit per treballar-hi.»[vi]

Aquestes investigacions van ser el preludi a la composició dels Grundrisse, un manuscrit escrit durant uns dels períodes més productius i estimulants intel·lectualment de la crítica marxiana a l’economia política

Aquesta revisió dona lloc a una vintena de pàgines de noves anotacions, a les que Marx anomenà Citacions. Essència del diner, essència del crèdit, crisis; eren nous passatges extrets dels fragments que ja havia estat elaborant feia pocs anys. Repassant llibres d’autors com Tooke, Mill i Steuart, i articles de The Economist, van avançar en la síntesi de les teories dels principals economistes polítics sobre la moneda, el crèdit i la crisis, que havia començat a estudiar el 1850.[vii]

A la vegada, Marx va produir més articles sobre la recessió per la New-York Tribune. Al gener de 1855, a «La Crisi Comercial a Anglaterra», escrigué amb satisfacció: «La crisi comercial anglesa, els símptomes premonitoris de la qual han estat des de fa temps narrats a les nostres columnes, és un fet ara proclamat a tort i a dret per les més altes autoritats en la matèria.»[viii] I dos mesos més tard, a «La crisi a Anglaterra»:

«En pocs mesos la crisi se situarà a uns nivells als que mai havia arribat a Anglaterra des de 1846, potser fins i tot des de 1842. Un cop els seus efectes comencin a fer-se sentir del tot entre les classes treballadores, el moviment polític es reprendrà de nou, després d’estar-se durant sis anys en latència. […] Aleshores, els dos partits realment confrontats al país s’enfrontaran cara a cara —la classe mitjana i les classes treballadores, la Burgesia i el Proletariat.»[ix]

Així doncs, a causa de les circumstàncies econòmiques i de salut, Marx només podria treballar de nou l’economia política durant el juny de 1856, escrivint alguns articles per The People’s Paper sobre el Crédit Mobilier, el principal banc comercial francès, segons ell «un dels fenòmens econòmics més curiosos de la nostra època»[x]. L’octubre de 1856, Marc va escriure de nou sobre la crisi pel New-York Tribune. A «La Crisi Monetària a Europa» hi adduïa que s’aproximava «un moviment dels mercats monetaris europeus anàleg al pànic de 1847».[xi] I, a «La Crisi Europea», article aparegut al novembre, en un moment en què la majoria de columnistes predeien confiats que el pitjor ja havia passat, ell sostenia:

«Els indicadors provinents d’Europa […] certament semblen posposar per al futur el col·lapse final de l’especulació i l’abassegament d’estocs [stockjobbing], fet que homes als dos costat de l’oceà anticipen de manera intuïtiva com si es tractés d’una premonició temorosa d’una mena de fatalitat inevitable. Aquest col·lapse és segur, per molt que se’l posposi; de fet, el caràcter crònic que ha pres l’actual crisi financera tan sols és un presagi d’un final cada cop més destructiu i violent. Com més s’allarga una crisi, pitjor acaba sent el compte a pagar.»[xii]

Els esdeveniments també van donar a Marx l’oportunitat per atacar els seus rivals polítics. A «La Crisi Monetària a Europa», escrigué:

«Si comparem entre ells els efectes d’aquest breu pànic monetari i els efectes de les proclamacions de Mazzini i d’altres, la història sencera dels desenganys dels revolucionaris oficials d’ençà el 1849 queda tot d’una lliure dels seus misteris. No en saben res de la vida econòmica dels pobles, no en saben res de les condicions reals del moviment històric, i quan una nova revolució es desencadeni tindran més dret que el mateix Pilat a rentar-se’n les mans, adduint que són innocents de la sang vessada.»[xiii]

Durant la primera meitat del 1857, tanmateix, als mercats internacionals hi va prevaldre la calma absoluta. Fins al març, Marx va treballar en les Revelacions de la Història Diplomàtica del Segle Divuit (1856), que pretenia ser la primera part d’un treball sobre la historia de la diplomàcia. Finalment, al juliol, Marx va escriure algunes breus, si bé interessants, ressenyes crítiques sobre Les Harmonies Econòmiques(1850) de Fréderic Bastiat i els Principis d’Economia Política (1837-38) de Carey, dels quals ja havia extret fragments i estudiat el 1851. En aquestes notes, publicades pòstumament sota el títol de Bastiat i Carey, hi assenyalava la ingenuïtat d’ambdós economistes —el primer, campió del lliure mercat, el segon del proteccionisme—, els quals ens els seus escrits havien bregat per demostrar «l’harmonia de les relacions de producció»[xiv] i de retruc de la societat burgesa com a tot.

Aquestes investigacions van ser el preludi a la composició dels Grundrisse, un manuscrit escrit durant uns dels períodes més productius i estimulants intel·lectualment de la crítica marxiana a l’economia política, durant el qual també va poder desenvolupar amb més rigor la seva teoria de la crisi.

Categories
Reviews

Antonino Morreale, Gli Asini

Marx revival

Pubblicato a fine 2019 da Donzelli, Marx Revival, raccolta di “Concetti essenziali e nuove letture” a cura di Marcello Musto, è già uscito in inglese a giugno 2020; e per il 2021 sono previste le pubblicazioni in cinese, tedesco, giapponese, coreano e portoghese.

Con le sue 469 pagine può incutere qualche preoccupazione; e si rivela invece, scorrendo l’indice, ventaglio amplissimo e godibile di temi e di punti di vista.

I titoli dei saggi – li cito tutti per dare un’idea compiuta – rivelano l’ottica non banale secondo cui la raccolta è costruita: Capitalismo, Comunismo, Democrazia, Proletariato, Lotta di classe, Organizzazione politica, Rivoluzione, Lavoro, Capitale e temporalità, Ecologia, Eguaglianza di genere, Nazionalismo e questione etnica, Migrazioni, Colonialismo, Stato, Globalizzazione, Guerra e relazioni internazionali, Religione, Educazione, Arte, Tecnologia e scienze, Marxismi.

È evidente che in questo volume non è Marx a interrogare il presente, ma sono piuttosto i temi dell’attualità a interrogare Marx, ottenendo risposte più o meno convincenti, più o meno strutturate, ma sempre stimolanti; senza forzature per trovare in Marx quel che non c’è.

Per il lettore italiano, che viene da una tradizione di studi e di elaborazioni teoriche di alto livello, ma anche molto diversa da questa, è un’occasione importante, che speriamo voglia cogliere.

Cominciamo dagli autori dei 22 saggi. Pochi gli studiosi già da noi conosciuti. Infatti dei 19 non italiani, solo cinque hanno opere già tradotte (Achkar, Antunes, Löwy, van der Linden, Wallerstein. Quest’ultimo, appena scomparso, già molto noto fin dagli anni Settanta, però solo come storico, per opere fondamentali).

Ci volevano tante diverse mani per riuscire a disegnare un profilo di Marx che, col tempo, appare sempre più poliedrico: originari di 11 diversi paesi (7 statunitensi, 3 inglesi, 3 italiani, 2 francesi; 2 tedeschi; uno a testa Canada, Paesi Bassi, Corea, Brasile, Nuova Zelanda, India); insegnano in nove diversi paesi. Non è pertanto un volume eurocentrico, ma davvero “globale”.

Altro pregio: i saggi – nessuno su un tema marginale – sono tutti molto brevi.

Il volume è il risultato ben riuscito degli intenti del curatore, Marcello Musto, che vuole “presentare un Marx per molti aspetti differente da quello conosciuto attraverso le correnti dominanti del marxismo novecentesco. Esso muove dal duplice intento di ridiscutere, in modo critico e innovativo, i temi classici della riflessione di Marx e di sviluppare un’analisi approfondita di alcune tematiche fino a oggi ancora non sufficientemente accostate al suo pensiero. Questo volume si offre, dunque, come uno strumento prezioso sia per riavvicinare Marx a quanti ritengono, erroneamente, che sia già stato detto tutto sulla sua opera, sia per presentare questo autore a una nuova generazione di lettori che non hanno ancora avuto modo di avvicinarsi ai suoi scritti” (p. XIII). Criteri e scelte azzeccate dal curatore che è, di suo, autore di opere ormai imprescindibili come Ripensare Marx (2011), L’ultimo Marx (2016), K. Marx, Biografia intellettuale e politica (2018).

La lettura – anche “a saltare” – a cui si viene invitati, è una bella esperienza. Coniugare varietà, novità, solidità scientifica su temi così impegnativi è stata una sfida vinta.

Si sa, per la tradizione, Marx ha una origine “tripla”: filosofia tedesca, economia politica inglese, politica francese. Un Marx profondamente ”europeo”, e questo ha comportato spesso una divisione tematica. Questo libro incorpora invece una nuova e fondamentale acquisizione interpretativa: Marx viene letto e ricostruito seguendo passo passo sul filo del tempo la molteplicità dei suoi interessi, teorici e pratici; avanzando nella lettura, nello studio, su tutti i fronti contemporaneamente, piuttosto che ritagliando, di volta in volta, il Marx “filosofo“, “l’economista”, “il politico” eccetera. Superando così note difficoltà: come è possibile analizzare la “Miseria” scartando la polemica con Proudhon sulle questioni politico-organizzative contemporanee? Come è possibile considerare come rituali retorici i richiami di Marx al “dovere di fronte al partito” o alla “vittoria scientifica per il nostro partito”, riferiti ai “Grundrisse” e a “Per la critica”?

È il taglio “biografico” proposto e ottimamente realizzato da Musto nel suo ultimo K. Marx. Biografia intellettuale e politica. Con Marx (e non so con chi altri) questo approccio risulta particolarmente funzionale, per niente “banale”; presenta anzi difficoltà che non tutti gli studiosi sono in grado di superare.

Oggi, certamente, questo approccio è più praticabile di ieri perché, grazie al procedere della edizione storico-critica delle opere conosciuta come Mega2 (“Marx-Engels-Gesamtausgabe).

si può seguire il corso dei pensieri di Marx, da quando prende in mano un libro, ne discorre per lettera con Engels, comincia a farne sunti ed estratti, fino alla elaborazione di commenti e di bozze, fino al discorso filato e finito.

In questa ottica gli interessi appaiono “enciclopedici” e Marx riesce a soddisfarli appena, pur con la conoscenza di otto lingue.

Ogni lettore può scegliere in questa raccolta il tema che più lo interessa, oppure può utilizzarla come un libro di approfondimento e aggiornamento. La bibliografia citata è infatti la più abbondante e specializzata che possa trovarsi, e l’indice finale degli argomenti è un buon filo conduttore per orientarsi. E, naturalmente, porta il segno duro dello “spirito dei tempi” che a Lenin dedica 15 citazioni, 8 a Gramsci, 8 alla Luxemburg, 2 a Lukács, 2 ad Althusser, 13 ad Hegel, e zero a Korsch…

Possiamo riconoscere autocriticamente, noi italiani, che la “nostra” lettura è stata eurocentrica anche in quest’altro senso: abbiamo letto solo libri di italiani, francesi, tedeschi e qualche inglese. E invece qui troviamo “novità” nei temi, negli autori, nelle interpretazioni. Per un libro sul “vecchio” Marx che ci guarda dalla lontananza dei suoi 202 compleanni è una bella proposta.

Ma ci sono sorprese positive anche per chi ha qualche pratica di quel mare che è l’opera di Marx. Per cominciare, novità di contenuto, perché i saggi rendono conto delle ultime risultanze filologiche.

Marx si allarga dal suo blocco iniziale già amplissimo, filosofia-economia-storia-politica, terreni suoi da sempre, per dire la sua su territori più “marginali” (un esempio il Marx “giornalista”, sinora certamente sottovalutato come “lavoro per il pane”). Ed è questa la prova maggiore della sua attualità e imprescindibilità, pur nella profondità dei cambiamenti.

Un tempo serviva un Marx “dogmatico” per costruire una dottrina semplificata, non storicizzata, compattata sul leninismo e lo stalinismo, “guida per l’azione”, destinata alle masse da indottrinare e guidare alla lotta politica. Marx ha resistito a tanti di questi interventi, ai rimescolamenti della gerarchia delle sue opere, alla gabbia delle alternative secche: Marx giovane/Marx vecchio, Marx filosofo/Marx economista, delle “rotture epistemologiche”. Un Marx hegeliano; il Marx di Engels, del revisionismo di Bernstein e della Seconda Internazionale, del Lenin giovane che, anche come studioso di Marx. “sopra gli altri come aquila vola”, del marxismo-leninismo “d’acciaio”, ma inservibile, di Stalin; quello tutto “filosofico” di Lukàcs. In Italia quello del primo socialismo, di Loria e Labriola, di Croce, Gentile, Mondolfo. Il Marx al quale si concedeva la “scelta” tra “ciò che è vivo e ciò che è morto”. Quello tanto più complicato e creativo di Gramsci, e poi del così “diverso”, filosoficamente impegnativo, restauro (troppo sbilanciato sul ’43) di Della Volpe e della sua “scuola”…

Ma, alla fine, quel che resta, tra tante macerie e tanti monumenti, è il Marx che vive ancora nei suoi scritti, là dove sempre bisogna tornare, e che oggi ci è dato conoscere come mai prima, grazie a Mega2 che ha ripreso nel 1975 l’incredibile lavoro degli anni venti, di Riazanov, l’uomo che “sfilò” Marx dalle mani della Spd, lo fotografò e pubblicò, per finire vittima, anche lui, sommo marxologo, di Stalin, come tanti buoni marxisti.

La moltiplicazione dei temi, l’aumento dei testi disponibili, la caduta di tanti schemi, pongono oggi dinanzi a una “pericolosa” libertà, come è sempre, che può condurre a frammentare e a scombinare le tessere che compongono l’immagine di Marx. Il quale è, ci pare, un autore che si è mosso molto precocemente seguendo un proprio “filo conduttore”, che legge la propria vicenda regalandosi una patente di “coerenza”; ma che è, davvero, un autore che ha un “centro” da cui parte per andare a dar conto della realtà e a cui ritorna, e che ha un orizzonte teorico amplissimo. In Marx quasi mai la “cosa della logica” distorce o nasconde la “logica della cosa”, cioè l’analisi ravvicinata e puntuale; come rimprovera ad Hegel.

Anche chi appartiene alla “vecchia” generazione di lettori di Marx, leggendo questo libro, potrà rafforzarsi nella convinzione che “le fondamenta della sua analisi continuano a offrirci insostituibili armi critiche per ripensare la costruzione di una società alternativa al capitalismo”(Musto, Pref. p. XIII).

Nonostante intenti così ragionevoli e tanti ottimi risultati, qualche recensore ha visto in giro, nel libro, “sagrestani in adorazione”. E non si tratta di un improvvisato recensore ma di uno studioso che, già negli anni ‘60, ha pubblicato un apprezzato volume su “Alienazione e feticismo nel pensiero di Marx” e una monografia divulgativa. Buoni entrambi. L’accusa di “sacralizzare” Marx, sarebbe gravissima e antimarxista, se fosse vera. Ma è l’argomentare che zoppica: si rimprovera l’assenza di “Böhm-Bawerk, Bernstein, Pareto, Kelsen”: si ricorda il “formidabile attacco” di Bernstein; si stronca Marx per l’assenza di una “dottrina dello Stato”.

“Sacrestani in costante adorazione del Maestro”, ammonisce; mentre avremmo una “ricca tradizione del pensiero liberale” a cui inchinarci: Locke, Kant, Constant, e Toqueville. Parole in libertà, tanto più se aggiunge “dobbiamo studiare e meditare tutti i classici”. Futili consigli conditi da contraddittorie affermazioni: “Marx ha inaugurato un nuovo modo di guardare la storia” (di quanti filosofi si può dire?); “dopo Marx non è più possibile pensare come si pensava prima di Marx”(?); Marx è “un classico e non un Vangelo”(?).

Ma per mostrare, comunque, gratitudine per i contributi di tanto tempo fa, fornisco al recensore un primo elenco di pagine nelle quali potrà trovare osservazioni critiche a Marx: pp.26, 30, 99, 108, 117, 118, 156, 203, 204, 239, 240, 281, 305… alcune delle quali (Postone), puntano a una revisione radicale, a sua consolazione.

Per chiudere dando la parola al libro. Qualche riga da tre delle voci più riuscite del volume: “Capitalismo” di Kratke (Regno Unito); “Ecologia” di Bellamy Foster (Usa); “Democrazia” di Meiksins Wood (Canada).

Alla voce “Capitalismo” (p. 23): “(Marx) è da più parti considerato il primo ad aver scoperto e analizzato la tendenza alla “concentrazione e centralizzazione” del capitale (…), lo sviluppo del sistema industriale e la tendenza all’automazione, all’industrializzazione dell’agricoltura, alla diffusione della globalizzazione e alla creazione di una economia mondiale capitalista; e ancora, la tendenza all’ascesa del capitale associato e all’ascesa dei manager, l’accelerazione della circolazione, le rivoluzioni tecnologiche, l’ascesa di mercati finanziari del moderno sistema creditizio”.

Quanto poi alla sensibilità ecologica riscoperta in Marx in anni recenti: la verità è, al contrario, che è stata la nostra sensibilità ecologica, oggi, a essersi svegliata e che a quel risveglio non poteva che seguire una rilettura anche di Marx. A tal proposito è giusto ricordare le parole di M. Quaini del 1974 (!): “Marx (…) denunciò la spoliazione della natura prima che nascesse una moderna coscienza ecologica borghese”. Nel saggio di Bellamy Foster c’è una panoramica utile e chiara dell’incontro tra Marx e il tema ecologico e delle sue fasi: “La nozione marxiana del capitalismo come forza necessariamente dirompente e degradante rispetto ai processi della natura può essere rintracciata non solo nelle sue osservazioni su come il capitalismo ha depredato la natura, ma anche in quelle su come esso ha spogliato gli essere umani della loro essenza naturale-fisica (oltre che intellettuale), usandoli prematuramente per poi gettarli via, senza costi per il capitale” (p. 205).

Qualche riga da Meiksins Wood (p. 66): “L’essenza della ‘economia’ capitalistica consiste nel fatto che una gamma molto ampia delle attività umane, che in altri tempi e in altri luoghi erano soggette allo Stato o a regole comuni di vario genere, sono state trasferite all’interno del campo economico, sottoposte non solo alle gerarchie del luogo di lavoro, ma anche alle costrizioni del mercato, alle inarrestabili esigenze di massimizzazione del profitto e di accumulazione costante di capitale senza che nessuno di questi elementi sia assoggettato alla libertà o a un principio di responsabilità democratici”.

E queste altre, solo in apparenza paradossali, per chiudere: “Nessun signore feudale avrebbe potuto regolare così strettamente il lavoro del contadino come i processi di lavoro nel capitalismo sono regolati dal dominio del capitale”.

Questo volume ha tutto quel che serve per diventare un eccezionale, utilissimo, strumento di lavoro per chi, giovane e poco esperto volesse avvicinarsi alle tematiche essenziali del presente, con un occhio a Marx; e un libro di “meditazione”, come un “buon vino”, per chi, non più giovane, volesse ancora riprendere classici temi, per ricavarne che la “lotta” – per Marx il senso stesso della vita – è nelle cose stesse, e che la caduta del muro di Berlino ha dato solo un breve respiro al vecchio sogno di ogni buon borghese: il “capitalismo senza storia”. Ma era solo un “fermo-immagine”; la storia continua…