Anindita S Thayf, Kompas

Review of Marx: Biografi Intelektual Dan Politik

Sosok Karl Marx kerap dikaitkan dengan kata komunis dan ateis. Dunia mengenalnya karena memperjuangkan kepentingan kelas proletar. Sosok Marx memang kerap diselimuti prasangka buruk. Pemikiran kritis Marx kerap dianggap berbahaya dan terlarang.

Siapa sesungguhnya Karl Marx? Buku Marx: Biografi Intelektual dan Politik karya Marcello Musto ini bisa membantu kita mengenali sosoknya lebih mendalam, setidaknya memperkaya studi pemikiran kritis.

Ekonomi politik

Sebagaimana anjuran ayahnya, Marx memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar hukum sebelum bergeser ke filsafat dan sastra. Peralihan ini memperlihatkan ketertarikan intelektual Marx yang berubah. ”Sedikit demi sedikit, filsafat mengambil alih studi hukum,” tulis Musto (hlm 35).

Marx adalah tipe mahasiswa kutu buku yang sangat rajin mencatat apa pun yang ditemukannya dari setiap bacaan. Pada suatu hari bertemulah dia dengan ajaran Friedrich Hegel, yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bagian dari kelompok ”Hegelian Kiri”.

Kala itu, di Jerman, sosok Hegel merupakan magnet bagi mahasiswa yang serius mempelajari filsafat. Namun, bagi Marx, filsafat hanyalah salah satu persinggahan.

Ketika tinggal di Paris, Marx mulai tertarik mempelajari ekonomi politik. Ketertarikan ini berawal dari masalah hukum yang pernah dipelajarinya.

Ketika mempelajari hukum, Marx menemukan persoalan dalam hukum dan politik yang tak bisa dipecahkan secara terpisah. Ada keterkaitan hukum dengan politik, begitu pula masalah-masalah di dua bidang ini. Marx mendapati ekonomi dan politik pun ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Saat mendalami masalah-masalah ekonomi dan politik, ia menemukan kelemahan dari kajian ekonom borjuis terkait perkembangan corak produksi kapitalisme. Tampak perkembangan corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang alamiah dan tak selalu seragam di setiap waktu dan tempat.

Maka, penindasan terhadap kelas proletar dan alienasi yang terjadi kepada mereka tidak terjadi alamiah, melainkan produk masyarakat kapitalis. Dari sinilah Marx mendapatkan landasan bahwa corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang tak bisa diubah.

Selain ekonomi dan politik, sejarah juga dipelajari Marx. Dari bidang ini, dia sampai pada kesimpulan, sebagaimana tertulis dalam Manifesto Komunis, bahwa ”sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”.

Dari situasi semacam itulah corak produksi masyarakat berubah dan berkembang: berawal dari komune primitif, lalu perbudakan, feodalisme, hingga lahirlah kapitalisme.

Lewat buku karya Musto ini, pembaca diajak melihat kegigihan Marx memperdalam kajian ekonomi politik. Teori, argumen, dan ujaran ekonom besar dunia, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan Pierre-Joseph Proudhon, dipelajari Marx dengan tekun. Sebelum menulis Das Kapital, sebagai fondasi kajiannya, Marx melahirkan buku, antara lain, Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1884, Ideologi Jerman, dan Grundrisse.

Sebagai karya babon, buku teori ekonomi politik Das Kapital memaparkan dan menelaah perkembangan masyarakat kapitalis kapan saja dan di mana saja. Lewat berbagai contoh, yang sebagian besar diambil dari perkembangan ekonomi kapitalis Inggris yang dianggap paling maju kala itu, Marx menguraikan hukum-hukum pokok ekonomi politik kapitalisme, mulai dari komoditas, pertukaran, sirkulasi komoditas, produksi nilai absolut, hari kerja, nilai lebih, upah, hingga akumulasi kapital.

Hukum-hukum itu bisa digunakan guna melihat penindasan yang dilakukan kapitalisme terhadap rakyat jelata dan proletar. Di titik ini, terlihat proletariat dirampok dan diasingkan oleh borjuasi.

Intelektual dan aktivis

Kisah Marx tak melulu perkara Das Kapital, tetapi juga keterlibatannya dalam gerakan politik. Julien Benda menyatakan, posisi intelektual semestinya tak hanya terpisah dari kehidupan ekonomi politik, tetapi lebih daripada itu: posisinya sebaiknya berada di luar semua itu. Dengan kata lain, intelektual adalah orang yang berumah di atas angin.

Namun, Marx berada di luar kategori intelektual sebagaimana yang diinginkan Benda. Dia lebih seperti apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai bagian dari ”intelektual organik”.

Kepada pembacanya, Musto menggambarkan Marx tidak berumah di atas angin. Dia tak terpisah dari tempatnya berpijak. Dialah soko guru perjuangan kelas pekerja Eropa.

Bersama tokoh-tokoh sosialis yang lain, Marx terlibat dalam pembentukan Asosiasi Kelas Pekerja Internasional. Ia bukan anggota pasif yang enggan turun ke lapangan. Dia aktif terlibat dalam berbagai pertemuan, penyusunan naskah politik, perdebatan, dan aksi politik.

Sikap Marx sebagai intelektual yang tak hanya berteori merupakan upayanya untuk membumikan pemikirannya. Sebagai materialis, Marx tak berjarak dengan realitas. Dia merasakan langsung setiap upaya kebangkitan, kehancuran, dan pertentangan, sebagai dinamika gerakan politik demi mewujudkan sebuah cita-cita.

Selain sebagai intelektual dan aktivis, Marx juga penulis yang pantang menyerah. Musto menggambarkan Marx berjuang keras untuk terus menulis di tengah kondisi hidupnya yang sangat miskin dan kesehatannya yang buruk.

Kemelaratan hidup Marx diperparah dengan penyakit yang bergantian menderanya, seperti cacar, sakit gigi, hingga peradangan hati yang membuatnya ”tersiksa seperti Ayub, walaupun tidak taat”, yang menyebabkannya dilarang menulis oleh dokter (hlm 172).

Buku-buku Marx hingga detik ini menjadi bahan studi di berbagai perguruan tinggi di dunia. Ketika seorang wartawan Amerika bertanya tentang arti dari eksistensi manusia, ”Apakah itu ada?”, Marx tegas menjawab, ”Berjuang!”

Sesungguhnya, itulah Marx yang sejati. Manusia yang terus berjuang sebagai intelektual, aktivis politik, dan penulis.

Published in:

Kompas

Date Published

19 March, 2023

Author:

Anindita S Thayf