Categories
Reviews

Carlo Altini, Il Manifesto

Strumenti per una critica sistematica del Capitale

Capita spesso di leggere libri dedicati all’«attualizzazione» di autori del passato, utilizzati per criticare o per giustificare posizioni politiche del presente. In molti casi si tratta, però, di operazioni da valutare con cautela, visto che talvolta si fondano su strategie «commerciali», praticate per fondarsi su un’autorità «morale» dalla quale ottenere credibilità e attenzione. In altri casi il richiamo ai classici è superficiale, oppure retorico, senza un vero scavo storico o concettuale. E, anche nei casi in cui tale richiamo è sincero, gli aspetti «positivi» di queste operazioni (che consentono di attingere a uno sguardo obliquo in grado di smontare la «chiacchiera» contemporanea) si accompagnano ad altri aspetti «negativi», in particolare la mitologizzazione dell’autore o l’incapacità di vedere le differenze tra il passato e il presente.

Com’è facile immaginare, il caso di Marx è molto diffuso in operazioni di questo genere, soprattutto quando cerchiamo di comprendere le trasformazioni e le contraddizioni del capitalismo contemporaneo, continuamente a cavallo tra una crisi e l’altra, eppure sempre dominante su tutti i piani (economico, politico, sociale, culturale, simbolico).

UN TALE TENTATIVO di attualizzazione viene proposto dal volume collettaneo Ricostruire l’alternativa con Marx: economia, ecologia, migrazione, a cura di Alfonso Maurizio Iacono e Marcello Musto (Carocci, pp. 350, euro 32) che ha il merito di sfuggire proprio ai rischi prima citati, sia fondandosi su una solida analisi storica, filologica e concettuale della vasta produzione marxiana, sia mostrando grande attenzione per le singole specificità del capitalismo di oggi. Nessun intento celebrativo, infatti, né nostalgico, affolla i saggi degli autori italiani e stranieri che qui si confrontano con i problemi attuali della globalizzazione e del razzismo, dell’ambiente, delle migrazioni e del genere, e che non utilizzano il pensiero marxiano in modo «meccanico» e irriflesso, bensì cercando di riattivare – oltre ad alcune teorie chiave quali il valore di scambio, l’esercito industriale di riserva e il feticismo delle merci – l’aspirazione di Marx a una critica sistematica dell’economia capitalistica.

Una linea fondamentale del volume risiede nella questione ecologica. Kohei Saito analizza il processo dell’accumulazione originaria come causa del disastro tanto sul piano della giustizia sociale quanto su quello dell’ambiente, per giungere all’idea di una società postcapitalista caratterizzata dalla sostituzione dei modi di produzione e consumo che hanno determinato la catastrofe ecologica. Nell’ottica di individuare le reali condizioni antropologiche e sociali che possono permettere tale sostituzione, Gregory Claeys analizza la teoria marxiana dei bisogni, fino a sottolineare il carattere artificiale dei consumi promossi dal capitalismo: solo il recupero dei beni comuni di socialità e solidarietà consentirà di sfuggire alla trappola del consumismo che – oltre a generare ansia sociale, infelicità pubblica e narcisismo competitivo – sta conducendo all’esaurimento delle risorse naturali. In questa prospettiva di necessaria fuoriuscita dal capitalismo, Razmig Keucheyan mira a elaborare i confini di un nuovo «marxismo ecologico» utilizzando le teorie della democrazia deliberativa.

Un altro asse centrale del volume è costituito dalle migrazioni, considerate soprattutto dal punto di vista della forza-lavoro necessaria per la produzione capitalistica. I saggi di David Smith, Pietro Basso e Ranabir Samaddar mostrano che – all’interno di una comune chiave interpretativa marxiana, fondamentale per comprendere il fenomeno dello sfruttamento sia in epoca coloniale che nell’epoca globale – vi sono differenze sensibili tra la migrazione dei contadini nell’Inghilterra del Settecento e le migrazioni di oggi: tali differenze rendono necessario un aggiornamento del metodo analitico marxista, che deve considerare il lavoro in transito come una componente decisiva dello sviluppo capitalistico.

E TRA QUESTE COMPONENTI del capitalismo contemporaneo vi è anche la questione di genere, in un’ottica femminista: infatti, come afferma Silvia Federici, oggi si rende necessario rivisitare la teoria marxiana dal punto di vista della riproduzione sociale, che non è tanto un settore complementare del lavoro (per esempio, nel campo della cura), quanto la condizione di possibilità di ogni altra forma di lavoro.

È dunque chiaro che l’intento del volume è quello di utilizzare Marx per andare oltre Marx, ma non in modo retorico o messianico, bensì confrontandosi concretamente con le sfide attuali, nella consapevolezza che solo noi oggi possiamo affrontarle, senza affidarsi a risposte preconfezionate, in vista di una soluzione. Per evitare che, come dice Fredric Jameson, sia più facile immaginare la fine del mondo che la fine del capitalismo.

Categories
Journalism

Karl Marx: Anti-Kolonialis Pendukung Pembebasan Rakyat Arab

KETIKA tinggal di Aljazair, Karl Marx habis-habisan menyerang tindak kekerasan orang-orang Prancis, provokasi yang terus dilakukan, kesombongan tak tahu malu, praduga, dan obsesi mereka untuk membalas dendam bak Moloch tiap kali menghadapi pemberontakan warga Arab setempat.

“Polisi menerapkan penyiksaan untuk memaksa orang Arab ‘mengaku’, seperti yang dilakukan Inggris di India,” tulisnya. Ia melanjutkan, “Tujuan para penjajah sama belaka: memusnahkan kepemilikan kolektif masyarakat setempat dan mengubahnya menjadi barang yang bebas diperjualbelikan.”

Apa yang Marx Lakukan di Maghreb (Afrika Utara)?

Pada musim dingin 1882, tahun terakhir hidupnya, Karl Marx menderita bronkitis akut. Dokter menyarankannya beristirahat di tempat yang hangat. Gibraltar tidak masuk hitungan karena Marx perlu paspor untuk sampai ke sana–sebagai orang tanpa kewarganegaraan, ia tak memilikinya. Imperium Bismarck yang berselimut salju masih terlarang baginya. Italia juga bukan pilihan karena, seperti yang dikatakan Friedrich Engels, ”syarat pertama untuk pulih adalah tidak boleh ada gangguan dari polisi.”

Paul Lafargue (menantu Marx) dan Engels meyakinkan agar sang pasien melancong  ke Aljazair, yang saat itu tersohor di kalangan orang Inggris sebagai tempat tetirah musim dingin. Menurut putrinya, Eleanor Marx, Karl Marx terdorong melakukan perjalanan yang tidak biasa karena satu hal: menyelesaikan Das Kapital.

Karl Marx menyeberangi Inggris dan Prancis via kereta api lalu lautan Mediterania dengan kapal. Dia tinggal di ibu kota Aljir selama 72 hari, satu-satunya momen dalam hidupnya di luar Eropa. Seiring waktu, kesehatan Marx tidak kunjung membaik. Penderitaannya bukan hanya fisik. Ia juga sangat kesepian setelah kematian istrinya. Dalam satu suratnya kepada Engels, ia mengaku “…didera melankoli akut bak Don Quixote.” Karena kondisi kesehatannya itu pula Marx melewatkan aktivitas intelektual serius, yang selalu penting baginya.

Dampak Pemberlakuan Kepemilikan Pribadi di Bawah Rezim Penjajah Prancis

Perkembangan berbagai kejadian yang kurang menguntungkan itu membuat Marx sulit memahami realitas Aljazair. Nyaris mustahil juga baginya mempelajari karakteristik kepemilikan komunal di masyarakat Arab–sebuah topik yang sangat menarik perhatiannya beberapa tahun sebelumnya. Pada 1879, di dalam salah satu buku catatan studinya, Marx menyalin beberapa bagian dari buku karangan sosiolog Rusia Maksim Kovalevsky, Communal Landownership: Causes, Course and Consequences of its Decline. Bagian-bagian buku Kovalevsky ini khusus membahas pentingnya kepemilikan bersama di Aljazair sebelum kehadiran kolonialisme Prancis, berikut perubahan-perubahan di bawahnya.

Yang disalin Marx dari buku Kovaleskyz: “Pembentukan kepemilikan pribadi atas tanah–di mata kaum borjuis Prancis–adalah syarat yang diperlukan untuk semua kemajuan di bidang politik dan sosial.” Pemeliharaan lebih lanjut atas properti komunal, “sebagai corak penyokong tendensi komunis dalam pikiran, berbahaya baik bagi koloni maupun tanah air.” Marx juga tertarik pada pernyataan berikut: “pengalihan kepemilikan tanah dari tangan penduduk asli ke tangan penjajah telah dilakukan oleh Prancis di bawah semua rezim. (…) Tujuannya tetap sama: penghancuran kepemilikan kolektif masyarakat adat dan mengubahnya menjadi objek jual beli bebas, dan dengan demikian memuluskan penyerahan terakhir ke tangan penjajah Prancis.”

Mengenai Undang-Undang Aljazair, yang diusulkan oleh Jules Warnier dari Partai Republikan Kiri dan disahkan pada 1873, Marx mendukung klaim Kovalevsky bahwa satu-satunya tujuan legislasi tersebut adalah “perampasan tanah penduduk asli oleh penjajah dan spekulan Eropa.” Tindakan kurang ajar Prancis adalah “perampokan langsung,” atau konversi seluruh tanah yang belum digarap untuk digunakan penduduk asli menjadi “milik pemerintah.” Proses ini dirancang untuk menghasilkan kreasi penting lainnya: melenyapkan perlawanan penduduk lokal.

Sekali lagi, melalui kata-kata Kovalevsky Marx mencatat: “Fondasi kepemilikan pribadi dan pendudukan kaum kolonis Eropa di antara klan-klan Arab akan menjadi jalan paling ampuh yang mempercepat proses pembubaran persatuan-persatuan klan. (…) Perampasan terhadap orang-orang Arab yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut mempunyai dua tujuan: 1) memberikan tanah seluas-luasnya kepada Prancis; dan 2) melepaskan orang-orang Arab dari ikatan alami mereka dengan tanah air untuk mematahkan kekuatan terakhir dari persatuan klan yang kemudian dibubarkan, sehingga melenyapkan bahaya pemberontakan.”

Marx berkomentar bahwa individualisasi kepemilikan tanah seperti ini tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi para agresor tetapi juga mencapai “tujuan politik: menghancurkan fondasi masyarakat tersebut.”

Refleksi Dunia Arab

Pada Februari 1882, ketika Marx berada di Aljir, sebuah artikel di harian lokal The News mendokumentasikan ketidakadilan dalam sistem yang baru terbentuk. Di atas kertas, setiap warga negara Prancis saat itu bisa memperoleh konsesi atas lebih dari 100 hektare tanah di Aljazair, bahkan tanpa harus meninggalkan negaranya,  kemudian dapat menjualnya kembali kepada penduduk asli seharga 40.000 franc. Rata-rata, orang-orang Prancis itu menjual setiap tanah yang mereka beli seharga seharga 20-30 franc dengan harga 300 franc.

Karena kesehatan yang buruk, Marx tidak dapat mempelajari persoalan ini. Namun, dari enam belas surat yang masih ada (jumlah surat yang ditulisnya lebih banyak, tapi banyak yang hilang), ia mencatat sejumlah pengamatan menarik dari tepi selatan Mediterania. Yang paling mencolok adalah catatan yang berhubungan dengan hubungan sosial antar umat Islam.

Marx sangat terkesan dengan beberapa karakteristik masyarakat Arab. Bagi seorang “muslim sejati”, dia berkomentar: “Kecelakaan, baik atau buruk, tidak membedakan anak-anak Muhammad. Kesetaraan mutlak dalam pergaulan sosial mereka tidak terpengaruh. Sebaliknya, hanya ketika mengalami kerusakan, mereka baru menyadarinya. Secara adil, politisi mereka menganggap perasaan dan praktik kesetaraan absolut ini sebagai hal yang penting. Namun demikian, tanpa gerakan revolusioner, mereka akan mengalami kehancuran.”

Dalam surat-suratnya yang bernada mencemooh, Marx menyerang tindakan kekerasan dan provokasi berantai orang-orang Eropa, terutama “kesombongan dan keangkuhan mereka yang tidak berdasar terhadap ‘ras yang lebih rendah’, [dan] obsesi Moloch yang mengerikan terhadap penebusan dosa” terkait tindak pemberontakan apa pun. Ia juga menekankan, dalam perbandingan sejarah pendudukan kolonial, “Inggris dan Belanda mengalahkan Prancis.” Di Aljir sendiri, ia melaporkan kepada Engels bahwa hakim progresif Fermé yang sering ia temui sepanjang kariernya menyaksikan “suatu bentuk penyiksaan (…) untuk menggali ‘pengakuan’ dari orang-orang Arab, yang lumrah dilakukan (seperti halnya oleh orang Inggris di India) oleh polisi.”

Fermé juga menuturkan kepada Marx: “Jika, misalnya, suatu pembunuhan dilakukan oleh geng Arab, biasanya dengan tujuan perampokan, dan penjahat sesungguhnya dalam jangka waktu tertentu telah ditangkap, diadili, dan dieksekusi, maka itu belum dianggap cukup sebagai penebusan dosa di mata keluarga penjajah yang dirugikan. Mereka menuntut agar setidaknya setengah lusin orang Arab yang tidak bersalah juga ‘dilibatkan’. (…) Ketika seorang pendatang Eropa tinggal di lingkungan orang-orang yang mereka anggap ‘ras yang lebih rendah’, baik sebagai pemukim atau sekadar berbisnis, ia umumnya menganggap dirinya lebih kebal ketimbang raja.”

Melawan Kolonialisme Inggris di Mesir

Beberapa bulan berselang, Marx pun tak segan-segan mengkritik keras rezim Inggris di Mesir. Perang 1882 yang dilancarkan pasukan Inggris berhasil menghabisi pemberontakan Urabi yang dimulai pada 1879. Tindakan ini memungkinkan Inggris memasukkan Mesir sebagai daerah protektoratnya. Marx murka terhadap kaum progresif yang terbukti gagal mempertahankan posisi kelas yang otonom. Ia memperingatkan wajib hukumnya bagi kaum pekerja untuk menentang lembaga-lembaga dan retorika negara.

Ketika Joseph Cowen, anggota parlemen dan presiden Kongres Koperasi–yang dianggap Marx sebagai “anggota parlemen Inggris terbaik”–membenarkan invasi Inggris ke Mesir, Marx langsung mengecamnya.

Yang lebih penting lagi, ia mencerca pemerintah Inggris: “Bagus ya! Tak ada contoh kemunafikan Kristen yang lebih mencolok selain ‘penaklukan’ Mesir–penaklukan di tengah perdamaian!” Namun Cowen, dalam pidatonya pada 8 Januari 1883 di Newcastle, mengungkapkan kekagumannya atas “eksploitasi heroik” Inggris dan “pesona parade militer kita”; dia juga tak dapat “menahan senyum atas prospek kecil-kecilan dari semua posisi ofensif nan tangguh. Semua itu membentang antara Samudera Atlantik dan Samudera Hindia, serta sebuah ‘Imperium Afrika-Britania’ dari Delta ke Cape.”

Itulah “gaya Inggris” yang dicirikan “tanggung jawab” terhadap “kepentingan dalam negeri”. Dalam hal kebijakan luar negeri, Marx menyimpulkan Cowen sebagai contoh tipikal “kaum borjuis Inggris yang malang, yang mengeluh ketika semakin banyak memikul ‘tanggung jawab’ menjalankan misi bersejarah mereka, seraya sia-sia memprotesnya.”

Marx melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap masyarakat di luar Eropa dan terang-terangan menentang kerusakan akibat kolonialisme. Mengatakan sebaliknya adalah suatu kekeliruan, meski ada skeptisisme instrumental yang hari ini sangat populer di lingkungan akademis liberal tertentu.

Sepanjang hayatnya, Marx mencermati peristiwa-peristiwa penting di panggung politik internasional. Seperti yang bisa kita lihat dari tulisan-tulisan dan surat-suratnya, ia pada 1880-an tegas menolak penindasan kolonial Inggris di India dan Mesir, serta mengecam kolonialisme Prancis di Aljazair. Dia sama sekali bukan eurosentris, tidak pula hanya terpaku pada konflik kelas. Marx berpendapat bahwa studi tentang konflik-konflik politik baru dan kawasan-kawasan pinggiran merupakan hal mendasar dalam kritiknya yang berkelanjutan terhadap sistem kapitalis. Yang terpenting, ia selalu memihak kaum tertindas untuk melawan penindas mereka.

Categories
Journalism

Karl Marx: un anticolonialista a favor de la liberación del pueblo árabe

“Aquí la policía aplica un tipo de tortura para obligar a los árabes a ‘confesar’, como hacen los británicos en la India”, escribió.

Marx: “El objetivo de los colonialistas es siempre el mismo: la destrucción de la propiedad colectiva indígena y su transformación en objeto de libre compra y venta”.

¿Qué hacia Marx en el Magreb?

En el invierno de 1882, en el último año de su vida, Karl Marx sufrió una severa bronquitis y su médico le recomendó un período de reposo en un lugar cálido. Se descartó Gibraltar porque Marx habría necesitado un pasaporte para entrar en el territorio y, como apátrida, no tenía uno. El imperio bismarckiano estaba cubierto de nieve y, de todos modos, todavía tenía prohibida la entrada, mientras que Italia estaba fuera de discusión, ya que, como dijo Friedrich Engels, «la primera condición en lo que respecta a los convalecientes es que no deben ser acosados por la policía».

Paul Lafargue, yerno de Marx, y Engels convencieron al paciente de dirigirse a Argel, que gozaba entonces de buena reputación entre los ingleses para escapar de los rigores del invierno. Como recordó más tarde la hija de Marx, Eleanor Marx, lo que empujó a Marx a realizar este viaje inusual fue su prioridad número uno: acabar El Capital.

Atravesó Inglaterra y Francia en tren y luego el Mediterráneo en barco. Residió en Argel 72 días y fue el único tiempo de su vida que pasó fuera de Europa. Con el paso de los días, la salud de Marx no mejoró. Su sufrimiento no era sólo físico. Se sentía muy solo después de la muerte de su esposa y le escribió a Engels que sentía “profundos ataques de profunda melancolía, como el gran Don Quijote”. Marx también echaba de menos –debido a su estado de salud– una actividad intelectual seria, siempre esencial para él.

Efectos de la introducción de la propiedad privada por parte de los colonizadores franceses

La sucesión de numerosos acontecimientos desfavorables no permitió a Marx llegar al fondo de la realidad argelina, ni le fue realmente posible estudiar las características de la propiedad común entre los árabes –una tema que le había interesado mucho unos años antes. En 1879, Marx había copiado, en uno de sus cuadernos de estudio, partes del libro del sociólogo ruso Maksim Kovalevsky, La propiedad comunal de la tierra: causas, curso y consecuencias de su decadencia. Estaban dedicadas a la importancia de la propiedad común en Argelia antes de la llegada de los colonizadores franceses, así como a las transformaciones que estos introdujeron. De Kovalevsky, Marx copió: “La formación de la propiedad privada de la tierra –a los ojos de la burguesía francesa– es una condición necesaria para todo progreso en la esfera política y social”. El mantenimiento de la propiedad comunal, «como una forma que apoya las tendencias comunistas en las mentes, es peligroso tanto para la colonia como para la patria». También le atrajeron las siguientes observaciones: “los franceses han buscado bajo todos los regímenes la transferencia de la propiedad de la tierra de manos de los nativos a las de los colonos. (…) El objetivo es siempre el mismo: la destrucción de la propiedad colectiva indígena y su transformación en objeto de libre compra y venta, y así facilitar el paso final a manos de los colonos franceses”.

En cuanto a la legislación sobre Argelia propuesta por el republicano de izquierda Jules Warnier y aprobada en 1873, Marx respaldó la afirmación de Kovalevsky de que su único propósito era “la expropiación del suelo de la población nativa por parte de los colonos y especuladores europeos”. El descaro de los franceses llegó hasta el “robo directo” o la conversión en “propiedad del gobierno” de todas las tierras baldías en común que quedaban para uso nativo. Este proceso fue diseñado para producir otro resultado importante: la eliminación del peligro de resistencia por parte de la población local. Nuevamente, a través de las palabras de Kovalevsky, Marx señaló: “el establecimiento de la propiedad privada y el asentamiento de los colonos europeos entre los clanes árabes se convertirían en los medios más poderosos para acelerar el proceso de disolución de las uniones de clanes. (…) La expropiación de los árabes prevista por la ley tenía dos objetivos: 1) proporcionar a los franceses la mayor cantidad de tierra posible; y 2) arrancar a los árabes de sus vínculos naturales con la tierra para romper las últimas fuerzas de las uniones de clanes que así se disuelven, y con ello cualquier peligro de rebelión” .

Marx comentó que este tipo de individualización de la propiedad de la tierra no sólo había asegurado enormes beneficios económicos a los invasores sino que también había logrado un «objetivo político: destruir los cimientos de esta sociedad».

Reflexiones sobre el mundo árabe

En febrero de 1882, cuando Marx estaba en Argel, un artículo en el diario local The News documentó las injusticias del sistema recién creado. Teóricamente, cualquier ciudadano francés de aquella época podía adquirir una concesión de más de 100 hectáreas de tierra argelina, sin siquiera salir de su país, y luego revenderla a un nativo por 40.000 francos. En promedio, los colonos vendieron cada parcela de tierra que habían comprado por 20 a 30 francos al precio de 300 francos.

Debido a su mala salud, Marx no pudo estudiar este asunto. Sin embargo, en las dieciséis cartas escritas por Marx que han sobrevivido (escribió más, pero se han perdido), hizo una serie de observaciones interesantes desde la orilla sur del Mediterráneo. Las que realmente destacan son las que tratan de las relaciones sociales entre musulmanes. Marx quedó profundamente impresionado por algunas características de la sociedad árabe. Para un “verdadero musulmán”, comentó: “tales accidentes, la buena o mala suerte, no diferencian a los hijos de Mahoma. La igualdad absoluta en sus relaciones sociales no se ve afectada. Al contrario, sólo cuando se corrompen toman conciencia de ello. Sus políticos, con razón, consideran importante este mismo sentimiento y práctica de la igualdad absoluta. Sin embargo, sin un movimiento revolucionario, se corromperán y arruinarán”.

En sus cartas, Marx atacó con desdén los violentos abusos y las constantes provocaciones de los europeos y, no menos importante, su “arrogancia descarada y presuntuosidad frente a las ‘razas inferiores’, [y] su espantosa obsesión, al estilo de Moloch, de expiación” de cualquier acto de rebelión. También destacó que, en la historia comparada de la ocupación colonial, “los británicos y los holandeses superan a los franceses”. Desde la propia Argel, informó a Engels que un juez progresista, Fermé, con el que se encontraba regularmente, había visto, a lo largo de su carrera, «un tipo de tortura» . (…) para extraer ‘confesiones’ de los árabes, utilizada habitualmente (como los ingleses en la India) por la policía”. Le había informado a Marx que “cuando, por ejemplo, se comete un asesinato por una banda árabe, generalmente con la intención de robar, y los verdaderos malhechores son debidamente detenidos, juzgados y ejecutados en su momento, esto no se considera suficiente” expiación por parte de la familia de colonos afectada. Exigen además «quitar de en medio» al menos media docena de árabes inocentes. (…) Cuando un colono europeo habita entre aquellos que son considerados ‘razas inferiores’, ya sea como colono o simplemente por negocios, generalmente se considera a sí mismo más inviolable incluso que el rey”.

Contra la presencia colonial británica en Egipto

De manera similar, unos meses más tarde, Marx no escatimó en criticar duramente la presencia británica en Egipto. La guerra de 1882 emprendida por las tropas del Reino Unido puso fin a la llamada revuelta de Urabi que había comenzado en 1879 y permitió a los británicos establecer un protectorado sobre Egipto. Marx estaba indignado con los progresistas que demostraron ser incapaces de mantener una posición de clase autónoma, y advirtió que era absolutamente necesario que los trabajadores se opusieran a las instituciones y la retórica del Estado.

Cuando Joseph Cowen, diputado y presidente del Congreso Cooperativo –considerado por Marx “el mejor de los parlamentarios ingleses”– justificó la invasión británica de Egipto, Marx expresó su total desaprobación.

Sobre todo, criticó al gobierno británico: “¡Muy bonito! De hecho, no podría haber un ejemplo más flagrante de hipocresía cristiana que la ‘conquista’ de Egipto: ¡conquista en medio de la paz! Pero Cowen, en un discurso pronunciado el 8 de enero de 1883 en Newcastle, expresó su admiración por la “hazaña heroica” de los británicos y el “deslumbramiento de nuestro desfile militar”; ni pudo “evitar sonreír ante la pequeña y fascinante perspectiva de todas esas posiciones ofensivas fortificadas entre el Atlántico y el Océano Índico y, además, un ‘Imperio africano-británico’ desde el Delta hasta el Cabo”. Era el “estilo inglés”, caracterizado por la “responsabilidad” por el “interés doméstico”. En política exterior, concluyó Marx, Cowen era un ejemplo típico de «esos pobres burgueses británicos, que gimen al asumir cada vez más ‘responsabilidades’ al servicio de su misión histórica, mientras protestan en vano contra ella».

Marx emprendió investigaciones exhaustivas de sociedades fuera de Europa y se expresó sin ambigüedades contra los estragos del colonialismo. Es un error sugerir lo contrario, a pesar del escepticismo instrumental tan de moda hoy en día en ciertos círculos académicos liberales.

Durante su vida, Marx observó de cerca los principales acontecimientos de la política internacional y, como podemos ver en sus escritos y cartas, en la década de 1880 expresó una firme oposición a la opresión colonial británica en la India y Egipto, así como al colonialismo francés en Argelia. Era todo menos un eurocéntrico obsesionado exclusivamente con el conflicto de clases. Marx pensó que el estudio de los nuevos conflictos políticos y las áreas geográficas periféricas era fundamental para su progresiva crítica del sistema capitalista. Lo más importante es que siempre estuvo del lado de los oprimidos contra los opresores.

Categories
Journalism

کارل مارکس: ضداستعمارگرایی که خواستار رهایی اعراب بود

کارل مارکس: ضداستعمارگرایی که خواستار رهایی اعراب بود

مارچلو موستو

مترجم: پارسا زنگنه

زمانی که مارکس در الجزیره زندگی می‌کرد، در قبال برخی مسائل – با عصبانیت – تاخت: تجاوزِ خشونت‌آمیز فرانسوی‌ها؛ اقدامات مفسده‌جویانۀ پرتکرارشان؛ غرور گستاخانه‌شان؛ و پیش‌فرض و وسواس‌شان در انتقام‌گرفتن مانند مولوخ1علیه هر اقدام شورشی که از سوی خلق عرب صورت می‌گرفت. او نوشته که: «پلیس در اینجا نوعی از شکنجه را اعمال می‌کند که به‌موجبش اعراب مجبور به «اعتراف» می‌شوند، دقیقاً شبیه آنچه انگلیسی‌ها در هند انجام می‌دهند». همچنین مارکس باور دارد که: «استعمارگران همیشه هدفی یکسان دارند: مالکیت جمعیِ محلی را ویران کنند و بعد آن را به ابژه‌ای [یا کالایی] برای خرید و فروشِ آزاد، دگرگون کنند».

مارکس در آفریقای شمالی چه کار داشت؟

کارل مارکس در آخرین زمستانی که توانست هر سه‌ماه آن‌را به‌طور کامل تجربه کند، یعنی زمستان ۱۸۸۲، دچار بیماری برونشیت شدید شد. پزشک توصیه کرد برای گذراندن دوره‌ای از نقاهت به جایی گرم نقل مکان کند. جبل‌الطارق منتفی بود؛ زیرا مارکس به‌عنوان فردی بدون تابعیت، برای ورود به این قلمرو به گذرنامه نیاز داشت. امپراتوری بیسمارکی پوشیده از برف بود، و به‌همین خاطر حضورش در آن‌جا [از لحاظ پزشکی] ممنوع بود. در این اثناء ایتالیا هم منتفی بود؛ زیرا، همانطور که فردریش انگلس بیان کرده: «اولین شرط برای دورۀ نقاهت بیماران این است که پلیس آن‌ها را مورد آزار و اذیت قرار ندهد».

پل لافارگ2– داماد مارکس – به‌همراه انگلس، او را متقاعد کردند که به سمت الجزیره برود. الجزیره در آن زمان نزد انگلیسی‌ها که می‌خواستند از شر دشواری‌های زمستان خلاص شوند، شهرت خوبی یافته بود. کما اینکه النور3– دختر مارکس – بعداً این‌طور به‌یاد آورد که آنچه پدرش را به انجام این سفر غیرعادی سوق داد چیزی الاء دغدغۀ اصلی‌یش یعنی تکمیل سرمایه4نبود.

او با قطار از انگلستان و فرانسه گذشت، و سپس با قایق از دریای مدیترانه به الجزیره رسید. او ۷۲ روز در آنجا ساکن شد. این تنها مسافرتی بود که مارکس در خارج از اروپا گذراند. با این همه، روزها یکی‌ پس از دیگری سپری می‌شدند اما مارکس بهبود نمی‌یافت و سرانجام هم سلامتی‌یش را به‌دست نیاورد. رنجش فقط جسمی نبود. او پس از مرگ همسرش بسیار تنها شد و به انگلس نوشت که: «مانند دن کیشوت بزرگ، حملاتی عمیق از جنونِ افسردگی را به‌طرزی جان‌فرسا» احساس می‌کند. مارکس، گذشته از این – به دلیل وضعیت سلامتی‌یش – از فعالیت فکری جدی، که همیشه برایش امری اساسی به‌شمار می‌رفت، باز ماند.

آثار ابداع مالکیت خصوصی توسط استعمارگران فرانسوی

تسلسل رویدادهای نامطلوب به مارکس اجازه نداد تا به کُنه واقعیت الجزایر دست یابد. و بدین‌ترتیب، امکان مطالعۀ ویژگی‌های مالکیت مشترک در میان اعراب نیز برایش فراهم نشد، موضوعی که چند سال پیش از این توجهش را بسیار جلب کرده بود. مارکس در یکی از دفترهای مطالعاتی‌یش که به سال ۱۸۷۹ بازمی‌گردد، بخش‌هایی از کتاب یک جامعه‌شناس روس، یعنی ماکسیم کووالفسکی5 را که مالکیت اشتراکی زمین: علل، خط سیر و برآمدهای افول آن6نام داشت، یادداشت‌برداری کرده بود. این یادداشت‌ها به اهمیت مالکیت مشترک در الجزایر قبل از ورود استعمارگران فرانسوی و همچنین به تغییراتی که آنها ایجاد کردند اختصاص داشتند. مارکس از کووالفسکی چنین نت‌برداری کرد: «فرماسیون مالکیت خصوصی زمین – از نقطه‌نظر بورژوازی فرانسوی – شرط لازم برای تمام پیشرفت‌ها در سپهر سیاسی و اجتماعی است». تداوم بیشتر مالکیت اشتراکی «[آن‌هم] به‌مثابه فرمی که در ذهن‌ها از گرایشات کمونیستی حمایت می‌کند، هم برای مستعمره و هم برای میهن خطرناک است.» در ضمن، این کلمات کووالفسکی هم برای مارکس جلب توجه کرده‌اند: «انتقال مالکیت زمین از دست محلی‌ها به استعمارگران توسط فرانسوی‌ها در تمامی رژیم‌ها دنبال شده است. (…) هدف همیشه یکسان است: مالکیت جمعیِ محلی را ویران کنند و سپس آن را به ابژه‌ای [یا کالایی] برای خرید و فروشِ آزادْ دگرگون کنند تا بدین وسیله گذرشِ نهایی به‌سوی استعمارگران فرانسوی را آسان‌تر سازند.»

کووالفسکی در مورد قانون الجزایر که توسط یک جمهوری‌خواه چپ، ژول وارنیه7، مطرح شد و در سال ۱۸۷۳ نیز به‌تصویب رسید، ادعا کرده بود که، تنها هدف این قانون: «مصادرۀ خاکِ جمعیت محلی به‌دست استعمارگران و زمین‌خواران اروپایی» بوده است. مارکس نیز این ادعا را تأیید کرد. گستاخی فرانسوی‌ها تا حد «غارت‌گری مستقیم» پیش رفت. به‌عبارتی دیگر این گستاخی تا جایی پیش‌رفت که فرانسوی‌ها تمام زمین‌های کشت‌نشدۀ مشترکی را که برای استفاده محلی باقی مانده بود، به «مالکیت دولتی» تبدیل کردند. باید گفت این فرآیند برای حصول یک دستاورد مهم دیگر طراحی شده بود: حذف خطر مقاومت از سوی مردم محلی. مارکس مجدداً از طریق سخنان کووالفسکی خاطرنشان کرد که: «شالودۀ مالکیت خصوصی و استقرار استعمارگران اروپایی در میان قبایل عرب، قدرتمندترین ابزار برای تسریع فرآیند انحلال اتحادیه‌های قبیله‌ای خواهد بود. (…) سلب مالکیت از اعراب که به‌دست قانون تعمداً صورت گرفت، صرفاً دو هدف داشت: ۱) تا جایی که ممکن است زمین‌های بیشتری [به‌طور قانونی] در اختیار فرانسوی ها قرار گیرد؛ و ۲) اعراب را از پیوندهای طبیعی خود با خاک‌شان جدا کنند، تا از این طریق واپسین نیروی اتحادیه‌های قبیله‌ای را نیز در هم بشکنند و در نتیجه هرگونه خطر شورش [احتمالی] را هم از بین ببرند.»

مارکس اظهار داشت که این نوع فردی‌سازاندنِ مالکیت زمین، نه‌تنها منافع اقتصادی هنگفتی را برای مهاجمان به ارمغان آورده بود، بلکه به یک «هدف سیاسی: تخریب شالودۀ این جامعه» نیز دست یافت.

تأملاتی دربارۀ جهانِ عرب

زمانی که مارکس در الجزیره بود، بی‌عدالتی‌های نظامِ [استعماری] تازه – برپاشده، در مقاله‌ای به تاریخ فوریه ۱۸۸۲ در روزنامۀ محلی «نیوز»8 مستند شد. هر شهروند فرانسوی در آن‌زمان روی کاغذ می‌توانست امتیاز انحصاری بیش از ۱۰۰ هکتار از زمین‌های الجزایر را حتی بدون خروج از فرانسه نیز دریافت کند. و همچنین می‌توانست آن را بعداً به مبلغ ۴۰.۰۰۰ فرانک به یک محلی بفروشد. کلون‌ها [ی فرانسوی] به‌طور متوسط هر قطعه زمینی را که به قیمت ۲۰ تا ۳۰ فرانک خریده بودند به قیمت ۳۰۰ فرانک می‌فروختند.

مارکس به دلیل بیماری‌یش نتوانست این موضوع را مورد مطالعه قرار دهد. با این همه، مارکس در شانزده نامه‌ای که از وی بر جای مانده (او تعداد بیشتری نامه نوشته بود، ولی برخی‌شان گم شده‌اند)، مشاهداتی اندیشمندانه‌ را در خصوص حاشیۀ جنوبی مدیترانه ارائه کرده است. برخی از این مشاهدات که به مناسبات اجتماعیِ مسلمانان می‌پردازند، واقعاً چشم‌گیرند. مارکس عمیقاً تحت تأثیر برخی از ویژگی‌های جامعۀ عرب قرار گرفت. او اظهار داشت که برای یک: «مسلمان راستین، این‌ قبیل حوادث، چه خوب باشند چه بد، فرزندان محمد را [از یکدیگر جدا و] متمایز نمی‌کنند». در واقع به برابری مطلق در مناسبات اجتماعی‌شان خدشه‌ای وارد نمی‌کنند. اتفاقاً وقتی این برابریِ مطلق مخدوش می‌شود، به این مهم که همه برابرند بیشتر آگاه می‌شوند. این عقیده و کردارِ برابری مطلق، به‌درستی  نزد سیاستمداران‌شان ضروری شمرده می‌شود. با این اوصاف، آنها بدون یک جنبش انقلابی به‌سوی ویرانی کامل خواهند رفت».

مارکس در نامه‌هایش با لحنی اهانت‌آمیز به تجاوزات خشونت‌بار و مفسده‌جویی‌های مکرر اروپایی‌ها تاخت؛ و از همه مهم‌تر، به: «تکبرِ گستاخانه و خود – برتر – بینی آشکارشان در برابر «نژادهای ضعیف‌تر»، و وسواس وحشتناک و مولوخی‌مانندشان در تاوان گرفتن»، برای هر اقدام شورشی که از سوی ضعفا سر می‌زد نیز، حمله کرد. او [با این همه] تاکید داشت که در تاریخ تطبیقی اشغالِ استعماری، «انگلیسی‌ها و هلندی‌ها دست فرانسوی‌ها را از پشت بسته اند». مارکس در خودِ الجزیره بود که به انگلس گزارش داد ظرف مدتی که در اینجا بوده مرتباً با یک قاضیِ مترقیِ Fermé ملاقات‌هایی را داشته است. و به انگلس گفته بود که Fermé: «شکلی از شکنجه (…) برای گرفتن «اعتراف» از اعراب است که توسط پلیس به‌طور بدیهی صورت می‌گیرد (مانند کاری که انگلیسی‌ها در هند می‌کند)». مارکس با امعان نظر به گفته‌های همین قاضی به انگلس گزارش داد که: «برای مثال وقتی قتلی توسط یک باند عرب، معمولاً با هدف سرقت انجام می‌شود، و اشرار واقعی در طول زمان دستگیر، محاکمه و اعدام می‌شوند، این امر به‌عنوان تاوان برای خانوادۀ استعمارگری که دچار خسارت شده، کافی تلقی نمی‌شود. [در واقع بُعد تصاعدی دادرسی در اینجا خود را ظاهر می‌کند]. آنها علاوه بر این، خواستار «به‌بند کشیدن» دست‌کم شش فرد عرب بی‌گناه نیز هستند. (…) هنگامی که یک استعمارگر اروپایی در میان کسانی که «نژادهای ضعیف‌تر» در نظر گرفته می‌شوند، زندگی می‌کند، حال چه برای مستعمره‌نشینی و چه برای تجارت، او عموماً خودش را حتی از پادشاه نیز مصون‌تر می‌داند.»

علیه حضور استعماری بریتانیا در مصر

مارکس چند ماه بعد، و به‌همین‌نحو، حضور بریتانیا در مصر را هم شدیداً به‌باد انتقاد گرفت. جنگی که در سال ۱۸۸۲ توسط نیروهای بریتانیایی شروع شد، پایان‌دهندۀ شورشی موسوم به اورابی9بود که در سال ۱۸۷۹ آغاز شده بود. این جنگ انگلیسی‌ها را قادر ساخت تا سلطه خود بر مصر را به‌نام تحت‌الحمایگی برقرار دارند. مارکس از افراد مترقی که ثابت کردند قادر به حفظ جایگاه طبقاتی خودآیین نیستند عصبانی بود و هشدار داد که تقابل کارگران با نهادها و رتوریک‌های دولت امری‌ست که به‌طور مطلق ضرورت دارد.

زمانی که جوزف کاون10، نمایندۀ مجلس و رئیس کنگرۀ تعاون – که مارکس او را: «از بهترین نمایندگان پارلمان انگلیس» می‌دانست – حمله بریتانیا به مصر را توجیه کرد، مارکس مخالفت کامل خود را [با این گفتۀ کاون] ابراز نمود.

از همه مهم‌تر، او به دولت بریتانیا انتقاد کرد: «خیلی هم خوب! هیچ نمونۀ آشکارتری از ریاکاری مسیحی به‌اندازۀ «فتح» مصر وجود ندارد – فتح در میان صلح!». اما کاون در یک سخنرانی که به ۸ ژانویه ۱۸۸۳ در نیوکاسل برمی‌گردد، تحسین خود از این امر را با کلماتی نظیر «استثمار قهرمانانه» به‌دست بریتانیایی‌ها و «شکوه رژۀ نظامی‌مان» ابراز کرد؛ و همچنین: «او نمی‌توانست کمکی به زدن یک لبخند تحقیرآمیز [از سوی مارکس] بر چشم‌انداز بی‌ارزش و فریبنده‌ای کند که تمام آن مواضع تهاجمی مستحکم میان اقیانوس اطلس، اقیانوس هند و اضافه بر آن، یک «امپراتوری آفریقایی-بریتانیایی» را شامل می‌شد که گستره‌اش از دلتا11 تا دماغه12بود». این «سبک انگلیسی» بود که مشخصه‌اش «مسئولیت‌پذیری» در جهت «منافع خاص برای میهن» است. مارکس به این نتیجه رسید که کاون در سیاست خارجی نمونۀ بارز: «آن بورژواهای حقیر بریتانیایی است که اگرچه برای خدمت در راه مأموریت تاریخی خود «مسئولیت‌های» بیشتری را برعهده می‌گیرند، اما بخاطر پفیوزی‌شان نسبت به آن معترض هم هستند.»

مارکس تحقیقات کاملی در مورد جوامع خارج از اروپا انجام داد و اعتراض خود را به‌صراحت در برابر ویرانی‌های استعمار ابراز کرد. این اشتباه است که خلاف آن را پیشنهاد کنیم، علی‌رغم شک‌گرایی ابزاری که امروزه در برخی از بخش‌های دانشگاهی لیبرال رایج است.

مارکس در طول زندگی‌یش رویدادهای اصلی سیاست بین‌الملل را از نزدیک مشاهده کرد. و مخالفت قاطع خود را در دهۀ ۱۸۸۰ همانطور که در نوشتار‌ها و نامه‌هایش هم پرپیداست، با ظلم استعماری بریتانیا در هند و مصر، و همچنین با استعمار فرانسه در الجزایر ابراز نمود. او هرچه بود اروپامحور نبود. و تمرکزش تنها به نزاع طبقاتی معطوف بود. مارکس چنین می‌اندیشید که مطالعۀ منازعات سیاسی جدید و مطالعۀ مناطق جغرافیایی پیرامونی برای نقد مستمری که به نظام سرمایه‌داری وارد می‌کند امری بنیادی است. از همه مهم‌تر: او همیشه در برابر ستمِ ظالمان، جانب مظلومان را می‌گرفت.

این متن به‌صورت اختصاصی برای نشریۀ پراکسیس تنظیم شده است.

Categories
Reviews

Matthijs Krul, Notes & Commentaries

In this intellectual biography, the Italian sociologist and Marxologist Marcello Musto seeks to rehabilitate the theoretical and political output of the last years of Marx’s life. Covering the period from roughly 1879 to his death in 1883, Musto tries to counter a tendency observed both in academic philosophy and in many biographies of Marx, namely to treat his final years after the publication of Capital as more or less uninteresting and a period of intellectual decline, usually skipped over entirely or at least given short shrift. To support this aim, Musto builds on the much greater manuscript knowledge of Marx’s work, thanks to the MEGA2 project, as well as the re-evaluation of the richness of Marx’s late theorizing, as seen in works like e.g. Kevin B. Anderson’s Marx at the Margins.

 

In some respects, the book – which consists of four essay-length pieces with a brief introduction by the author – must be considered successful in this regard. The combination of personal biographical material, in-depth theoretical discussion, and political and social context in the book gives a real stimulus to taking the last years of Karl Marx seriously. Some of the material discussed will be quite familiar to people well-versed in ‘high Marxology’: the famous draft letters to Vera Zasulich on the possible persistence of the Russian mir, or the work Marx undertook on revising for translations of Capital volume 1 and the publication of volume 2, or Marx’s engagement with the then highly popular ideas of the American economic reformer Henry George. Musto provides some helpful additional context to Marx’s well-known comments on the work of the political economist Adolf Wagner, whose work was representative of the so-called ‘state socialism’ of the time, a highly conservative form of dirigisme that would eventually play a role in defining some non-Marxist strands of social-democracy.

 

Even so, there is a lot that was quite new (to me, in any case), either in content or in degree. While scholars probably know that Marx wrote mathematical manuscripts, Musto shows just how thoroughly he engaged with pure maths – especially calculus – as an intellectual hobby, something undertaken for pleasure and mental relaxation as much as for the purposes of supporting his theoretical work. Remarkable to me was learning that Marx engaged on a chronological timeline of world history, with short notes and comments, covering global history from about the time of Caesar onwards. This seems to me something of enormous intellectual interest even though it is apparently still largely unpublished anywhere (the references provided give the IISH source material).

 

There are also some interesting observations from Marx from his brief stay in Algeria, the only time Marx ever left Europe, something typically only alluded to in biographies because it provided us with the last photograph of the man before his death. (It turns out Marx shaved his beard immediately afterwards! Musto gives us a ‘reconstructed’ version of the photo showing what he might have looked like with less hair – it turns out this is something of a cross between Sigmund Freud and Jules Verne.)

 

Some of the material is interesting but more tragic in nature. The biographical matter is rather grim reading, a chronicle of Marx’s ever-worsening ill health (Musto suggests he had bronchitis that seems to have worsened into tuberculosis) and the loss of his wife and then one of his daughters. He shows how the impression of a lack of intellectual fertility in this period is rather to be blamed on the dispersed and fragmented nature of his writings and activities, often induced by his bouts of illness, which have given the impression of a lack of systematicity.

 

But in fact Marx did a great deal, and in some respects was at the height of his abilities. Not just in the revisions of Capital, including preparing the French edition often considered the ‘canonical’ version, but also in working through huge amounts of new material: for the question of Russia, for the anthropology of ancient society, for the development of a political programme for the French communists (of the Guesde faction), for the study of the effect of the railways and the growth of joint stock companies, and for the study of colonialism. Merely the constant interruption of illness and the need to move to warmer climes or keep to his bed forced periods of inactivity on him, and prevented much of this labor from being worked up into published or publishable materials.

 

In this sense, Musto succeeds quite well in demonstrating that Marx died not a doting old man well past his prime, but really at the prime of his intellectual powers and especially at a time when his theoretical range had if anything markedly widened compared to his early years.

 

Unfortunately the book also has some less felicitous aspects. In his eagerness to underline how Marx’s thought gained in scope and subtlety as it matured, Musto constantly wants to tell us just how flexible and how undogmatic he was, which ultimately comes to sound so defensive that it achieves rather the opposite. It is an irritating habit of Marxologists, who by nature tend to be fans of the man as well, that they are always so keen to contrast in everything the Marx Who Was Right with the Everyone Else Who Was Wrong. The contrast is inevitably made in an ad hoc fashion against a litany of figures whom such a Marxologist wants to blame for a perceived bad reputation Marxism has: whether it’s the Soviets, or Engels, or the Frankfurt School, or the liberal interpreters does not really matter.

 

While it’s right of course to point out when later commentators or interpreters have misread Marx or use him poorly, this kind of ‘good cop, bad cop’ practice generally does more harm than good for rehabilitating Marx’s reputation, and is annoying for a reader who isn’t looking for a convenient target to shove the ‘blame’ onto (especially poor Engels is often the most convenient straw figure here, and Musto abuses him similarly).

 

The more Musto cites Marx seemingly just to tell the reader “See! Look how flexible and nondogmatic this is!!”, the less interested one becomes in what Marx was actually saying, since it is (so to speak) damned with vague praise. Here the old novelists’ adage “show, not tell” would have served the author better: whether Marx’s arguments are wise or subtle is a subjective judgment best left to the reader, not imposed by the author, however enthusiastic he is. The fact the individual parts of the book were probably written or published as separate essays also adds a considerable amount of unnecessary repetition and some clunky structure to the overall work, which is all the more a shame given how short it is.

 

That said, for a solid systematic overview of what Marx – indeed continuously in collaboration with Engels – was up to during the last years of his life, this work is probably as good as it gets, short of consulting the relevant MEGA2 volumes oneself when they are fully published. Musto finely balances the focus on intellectual-theoretical biography with information about Marx’s social and family circle, political acquaintances and antagonists, his travels, and the many different subjects and themes of interest to Marx in his final days. In so doing, he provides a stimulating portrait of genius at work, and makes one all the more lament how the state of medical knowledge in the Victorian era ultimately cut short the fervor of his wide-ranging mind.

Categories
Journalism

Karl Marx: The Anti-Colonialist in Favor of the Liberation of the Arab People

When he lived in Algiers, Marx attacked – with outrage – the violent abuse of the French, their repeated provocative acts, their shameless arrogance, presumption, and obsession to take revenge like Moloch in the face of every act of rebellion by the local Arab population.

“A kind of torture is applied here by the police, to force the Arabs to ‘confess’, just as the British do in India” – he wrote.

Marx: “The aim of the colonialists is ever the same: destruction of the indigenous collective property and its transformation into an object of free purchase and sale”.

What was Marx doing in the Maghreb?

In the winter of 1882, during the last year of his life, Karl Marx had a severe bronchitis and his doctor recommended him a period of rest in a warm place. Gibraltar was ruled out because Marx would have needed a passport to enter the territory, and as a stateless person he was not in possession of one. The Bismarckian empire was covered in snow and anyway still forbidden to him, while Italy was out of the question, since, as Friedrich Engels put it, ‘the first proviso where convalescents are concerned is that there should be no harassment by the police’.

Paul Lafargue, Marx’s son-in-law, and Engels convinced the patient to head for Algiers, which at the time enjoyed a good reputation among English people to escape the rigours of winter. As Marx’s daughter Eleanor Marx later recalled, what pushed Marx into making this unusual trip was his number one: to complete Capital.

He crossed England and France by train and then the Mediterranean by boat. He lived in Algiers for 72 days and this was the only time in his life that he spent outside Europe. As the days passed, Marx’s health did not improve. His suffering was not only bodily. He was very lonely after the death of his wife and wrote to Engels that he was feeling “deep attacks of profound melancholy, like the great Don Quixote”. Marx also missed – because of his health condition – serious intellectual activity, always essential for him.

Effects of the Introduction of Private Property by the French Colonizers

The progression of numerous unfavourable events did not allow Marx to get to the bottom of Algerian reality, nor was it really possible for him to study the characteristics of common ownership among the Arabs – a topic that had interested him greatly a few years earlier. In 1879, Marx had copied, in one of his study notebooks, portions of Russian sociologist Maksim Kovalevsky’s book, Communal Landownership: Causes, Course and Consequences of its Decline. They were dedicated to the importance of common ownership in Algeria before the arrival of the French colonizers, as well as to the changes that they introduced. From Kovalevsky, Marx copied down: “The formation of private landownership – in the eyes of French bourgeois – is a necessary condition for all progress in the political and social sphere’. Further maintenance of communal property, “as a form which supports communist tendencies in the minds, is dangerous both for the colony and for the homeland”. He was also drawn to the following remarks: “the transfer of landownership from the hands of the natives into those of the colonists has been pursued by the French under all regimes. (…) The aim is ever the same: destruction of the indigenous collective property and its transformation into an object of free purchase and sale, and by this means the final passage made easier into the hands of the French colonists”.

As for the legislation on Algeria proposed by the Left Republican Jules Warnier and passed in 1873, Marx endorsed Kovalevsky’s claim that its only purpose was “expropriation of the soil of the native population by the European colonists and speculators”. The effrontery of the French went as far as “direct robbery”, or conversion into “government property” of all uncultivated land remaining in common for native use. This process was designed to produce another important result: the elimination of the danger of resistance by the local population. Again, through Kovalevsky’s words, Marx noted: “the foundation of private property and the settlement of European colonists among the Arab clans would become the most powerful means to accelerate the process of dissolution of the clan unions. (…) The expropriation of the Arabs intended by the law had two purposes: 1) to provide the French as much land as possible; and 2) to tear away the Arabs from their natural bonds to the soil to break the last strength of the clan unions thus being dissolved, and thereby any danger of rebellion”.

Marx commented that this type of individualization of landownership had not only secured huge economic benefits for the invaders but also achieved a “political aim: to destroy the foundation of this society”.

Reflections on the Arab World

In February 1882, when Marx was in Algiers, an article in the local daily The News documented the injustices of the newly crafted system. Theoretically, any French citizen at that time could acquire a concession of more than 100 hectares of Algerian land, without even leaving his country, and he could then resell it to a native for 40,000 francs. On average, the colons sold every parcel of land they had bought for 20-30 francs at the price of 300 francs.

Owing to his ill health, Marx was unable to study this matter. However, in the sixteen letters written by Marx that have survived (he wrote more, but they have been lost), he made a number of interesting observations from the southern rim of the Mediterranean. The ones that really stand out are those dealing with social relations among Muslims. Marx was profoundly struck by some characteristics of the Arab society. For a “true Muslim’”, he commented: “such accidents, good or bad luck, do not distinguish Mahomet’s children. Absolute equality in their social intercourse is not affected. On the contrary, only when corrupted, they become aware of it. Their politicians justly consider this same feeling and practice of absolute equality as important. Nevertheless, they will go to rack and ruin without a revolutionary movement”.

In his letters, Marx scornfully attacked the Europeans’ violent abuses and constant provocations, and, not least, their “bare-faced arrogance and presumptuousness vis-à-vis the ‘lesser breeds’, [and] grisly, Moloch-like obsession with atonement” with regard to any act of rebellion. He also emphasized that, in the comparative history of colonial occupation, “the British and Dutch outdo the French”. In Algiers itself, he reported to Engels that a progressive judge Fermé he met regularly seen, in the course of his career, “a form of torture (…) to extract ‘confessions’ from Arabs, naturally done (like the English in India) by the police”. He had reported to Marx that “when, for example, a murder is committed by an Arab gang, usually with robbery in view, and the actual miscreants are in the course of time duly apprehended, tried and executed, this is not regarded as sufficient atonement by the injured colonist family. They demand into the bargain the ‘pulling in’ of at least half a dozen innocent Arabs. (…) When a European colonist dwells among those who are considered the ‘lesser breeds’, either as a settler or simply on business, he generally regards himself as even more inviolable than the king”.

Against the British Colonial Presence in Egypt

Similarly, a few months later, Marx did not spare to harshly criticize the British Presence in Egypt. The war of 1882 made by the troops from the United Kingdom ended the so-called Urabi revolt that had begun in 1879 and enabled the British to establish a protectorate over Egypt. Marx was mad at progressive people who proved incapable of maintaining an autonomous class position, and he warned that it was absolutely necessary for the workers to oppose the institutions and rhetoric of the state.

When Joseph Cowen, an MP and president of the Cooperative Congress –considered by Marx “the best of the English parliamentarians” – justified the British invasion of Egypt, Marx expressed his total disapproval.

Above all, he railed at the British government: “Very nice! In fact, there could be no more blatant example of Christian hypocrisy than the ‘conquest’ of Egypt – conquest in the midst of peace!” But Cowen, in a speech on 8 January 1883 in Newcastle, expressed his admiration for the “heroic exploit” of the British’ and the “dazzle of our military parade”; nor could he “help smirking over the entrancing little prospect of all those fortified offensive positions between the Atlantic and the Indian Ocean and, into the bargain, an ‘African-British Empire’ from the Delta to the Cape”. It was the “English style”, characterized by “responsibility” for the “home interest”. In foreign policy, Marx concluded, Cowen was a typical example of “those poor British bourgeois, who groan as they assume more and more ‘responsibilities’ in the service of their historic mission, while vainly protesting against it”.

Marx undertook thorough investigations of societies outside Europe and expressed himself unambiguously against the ravages of colonialism. It is a mistake to suggest otherwise, despite the instrumental scepticism so fashionable nowadays in certain liberal academic quarters.

During his life, Marx closely observed the main events in international politics and, as we can see from his writings and letters, in the 1880s he expressed firm opposition to British colonial oppression in India and Egypt, as well as to French colonialism in Algeria. He was anything but Eurocentric and fixated only on class conflict. Marx thought the study of new political conflicts and peripherical geographical areas to be fundamental for his ongoing critique of the capitalist system. Most importantly, he always took the side of the oppressed against the oppressors.

Categories
TV

O mito do “jovem Marx” (Book Launch)

Categories
TV

Precisamos repensar Marx? (Book Launch)

Categories
Reviews

Baptiste Eychart, Les Lettres françaises

Le découpage de la vie intellectuelle de Karl Marx est un exercice déjà ancien : dès les années 1950, on s’est efforcé de distinguer le Jeune Marx du Marx de la maturité, soit le Marx encore marqué par l’humanisme de Feuerbach et le Marx du Capital et de la fondation du matérialisme historique. La question de la fameuse coupure épistémologique a été au cœur des interprétations d’un Althusser en France ou, plus tôt encore, d’un Délia Volpe en Italie et fut l’objet de débats dont la virulence peut étonner rétrospectivement. Aujourd’hui ces débats semblent clos et l’althussérisme, tout comme le dellavolpisme d’ailleurs, appartiennent à l’histoire du marxisme et ne constituent plus vraiment des écoles.

Paradoxalement, on a vu fleurir depuis plusieurs années une suite d’études qui prennent pour objet non pas simple-ment Marx, ni non plus spécifiquement le Marx de la maturité mais ce qu’un consensus académique désigne plus ou moins comme le « Dernier Marx », le Marx d’après la publication du Capital, le Marx inspirant les courants du mouvement ouvrier inaugurant le socialisme moderne, le Marx se confrontant aux recherches ethnologiques de son temps etc. Ces études se révèlent d’im très grand intérêt en nous montrant un Marx souvent plus proches des problé-matiques actuelles qu’on pourrait le penser. L’ouvrage de Marcello Musto, Les dernières années de Karl Marx. prolonge à son extrême limite cette démarche puisqu’il se propose de traiter les trois dernières années de vie du communiste rhénan, soit les années de 1881 à 1883. Le tour de force de Musto est de rendre extrêmement intéressant ces trois années a priori « chiches » en production intel¬lectuelle et en pratique politique.

Maladies et peines de toutes sortes

La séquence 1881-83 semble d’autant plus chiche que Marx mourut précocement en 1883 : le 14 mars il fut emporté par une insuffisance cardiaque liée à une tubercu-lose qui l’avait considérablement affaibli. Et durant les mois antérieurs, il était déjà perclus de graves problèmes physiques qui réduisaient dramatiquement ses capacités de travail. D’une certaine manière, les dernières années de Karl Marx apparaissent comme celle d’une lutte entre des exigences intellectuelles toujours vives et des obstacles humains de plus en plus insurmontables.

Exigence intellectuelle car contrairement à certaines interprétations hasardeuses, l’incapacité de Marx d’achever les livres 2 et 3 du Capital ne tient pas du tout à des obsta-cles épistémologiques insurmontables (on pense notamment au problème de la transformation des valeurs en prix). Les dernières années de Kart Marx démontre bien que le projet de finir au moins le livre 2 n’était pas du tout abandonné par Marx ; il y travaillait encore en 1881… dans la mesure du possible. Souffrant de bronchite et de pleurésie, contraint à différents voyages par ses médecins qui l’enjoignaient à chercher un climat plus clément vers l’île de Wight, la France, et l’Algérie, Karl Marx vit son temps et ses capa¬cités de travail drastiquement réduits. En outre, les chagrins du deuil ne l’épargnèrent pas : si la famille Marx avait déjà eu à souffrir des décès prématurés de trois des six enfants du couple, les dernières années de Marx furent les plus douloureuses sur ce plan. En l’espace de deux ans, Marx perdit sa femme, Jenny von Westphalen ( 1881 ) puis sa fille aînée, Jenny Longuet (1883), décédée à 39 ans. Trop malade, il ne put assister aux funérailles de cette dernière, emportée très brutalement, quatre mois après la naissance de sa fille. C’est im homme en partie brisé par la tristesse qui s’éteint le 14 mars 1883.

On connaît l’affection qu’avait Marx pour ses trois filles et l’attention qu’il prit, avec sa femme, à leur éducation à la fois très soignée mais aussi émancipatrice. Logiquement Karl Marx se prit d’attachement aussi pour ses petits¬enfants qui s’intégrèrent dans un foyer familial dans lequel il jouait le rôle d’un patriarche bienveillant que peint très bien en plusieurs paragraphes évocateurs Marcello Musto. C’est un moment assez lumineux de bonheur familial et d’optimisme qui ouvre les premiers chapitres des Dernières années de Karl Marx et l’on se plaît à suivre Marx en promenade avec ses petits-enfants ou avec ses trois chiens. Peut-être l’auteur aurait-il pu insister plus nettement sia le rôle d’Eleanor Marx, la benjamine qui fut un appui essentiel pour ses deux parents jusqu’à la fin de leurs jours.

Evoquer les contraintes que cela entraîna pour elle aurait permis de nuancer le tableau d’une famille que plus personne ne se propose d’idéaliser, mais qui fut incon-testablement heureuse jusqu’aux toutes dernières années.

Achever les derniers livres du Capital

Marx manqua assurément de temps et d’énergie pour conclure la rédaction du livre 2 du Capital et ce fut Engels qui l’acheva en 1885, trois ans après sa mort. Il perdit aussi du temps à se pencher sur les idées de l’économiste américain Henry George, largement oublié aujourd’hui mais auteur d’un bestseller à l’époque, Progrès et pauvreté (1879). Il y défendait l’idée que le paupérisme pourrait être vaincu par une panacée : tme seule et unique taxe foncière qui se substituerait aux autres impôts et qui éviterait de devoir transformer les rapports de propriété. Rétrospective-ment, on peut déplorer que Marx, sollicité par certains de ses correspondants socialistes, ait perdu une partie de son temps à se pencher sur les écrits de Henry George pour les réfuter (il en concluait qu’il était un « théoricien complètement arriéré »).

Mais il restait un acteur du mouvement socialiste naissant et jouait volontairement le rôle de conseiller et d’inspirateur. Il fut donc impliqué dans d’autres tâches, certes chronophages, mais au moins plus fécondes que l’analyse du pensum de Henry George. Parmi celles-ci, on trouve l’élaboration du programme du parti de Jules Guesde et Paul Lafargue, le Parti ouvrier français (POF). Les sources citées par Musto insistent sur l’importance de Marx dans ce travail de rédaction lorsque Jules Guesde se rendit à Londres en mai 1880 pour travailler avec lui. À en lire les passages qui assènent que « I’émancipation de la classe productive est celle de tous les êtres humains sans distinc¬tion de sexe ni de race » ou qui revendiquent 1 ‘« interdiction légale aux patrons d’employer des ouvriers étrangers à un salaire inférieur à celui des ouvriers français », on perçoit l’importance aujourd’hui de ce programme qui relève bien d’un universalisme révolutionnaire toujours vivant.

Mais le cœur du projet de Marx dans ses dernières années était évidemment la rédaction des livres 2 et 3 du Capital. Le matériau qu’a utilisé Engels pour en proposer des éditions en 1885 et 1894 est pléthorique et parfois contradictoire comme les chercheurs de la MEGA ont su le démontrer. En ses dernières années, Marx se débattait avec les nouveaux impératifs intellectuels qu’il s’était donnés. Cherchant à affiner son analyse sur les voies historiques menant au développement et à l’affirmation du mode de production capitaliste, Marx effectua un gros travail de lectures sur l’Indonésie et l’Inde coloniales et précoloniales, sur la propriété agraire en Algérie, sur l’histoire de la banque notamment en Italie, voire sur le commerce byzantin… On connaît son intérêt pour la question du sort de la propriété communautaire en Russie, mais on sait moins qu’il suivait aussi de très près le développement économique des États- Unis. Et à chaque fois, il remplissait des cahiers de notes, établissait des chronologies extrêmement détaillées, se montrant fidèle à une éthique du travail intellectuel « remarquable ». Marx aurait sans doute pu clore le livre 2 du Capital après la publication du premier livre en 1867 en synthétisant les matériaux qu’il avait rédigés mais il visait encore davantage de rigueur dans ses analyses que ses tâches politiques et intellectuelles extrêmement exigeantes ne pouvait qu’alimenter. L’excellent livre de Marcello Musto nous montre qu’ainsi il n’aurait été en rien fidèle à lui-même et à l’idée qu’il se faisait de son rôle au sein du mouvement d’émancipation des travailleurs.

Categories
TV

El último Marx sobre el sur-global? (Talk)

Categories
Past talks

El último Marx sobre el sur-global

Comentários de: Leda Paulani, Ruy Braga e Douglas Rodrigues Barros.

Mediação: Jean Tible

Categories
Journalism

Che Guevara’nın yolundan

Marcello Musto – Akademisyen

Ernesto Che Guevara’nın hayatının son günlerini geçirdiği Vallagrande’yi ziyaret edebilmek için uzun bir yolculuğa çıkmanız gerekir. Önce Bolivya’nın en kalabalık şehri Santa Cruz’a gidip, oradaki eski yıpranmış otobüslerle, derme çatma ve rüzgârlı bir dağ yolunu geçmelisiniz.

Şehrin merkezinden birkaç kilometre sonra, Che’nin altı gerilla yoldaşı ile birlikte elleri kesilmiş biçimde saklandığı, şimdi müzeye çevrilmiş toplu mezarları görürsünüz. Alan, Bolivyalı devriyelerin CIA ajanlarının yardımlarıyla Guevara’yı ele geçirmek için kurdukları üsten yalnızca birkaç yüz metre uzaktadır. Oradan kalanlar ancak otuz yıl sonra yeniden ortaya çıkarıldı ve bugün Santa Clara’da, Che’nin 1958 Aralık’ında Küba devrimini getirecek savaşa önderlik ettiği yerde bir mozolede sergilenmektedir.

Latin Amerika’nın Dağlarından

Vallagrande’den La Higuera’ya varmak 3 saat alıyor. Yaklaşık elli evden oluşan bu küçük kasabaya giden yol denizden 2 metre yüksekte, asfaltsız ve sarp olduğu için ancak ciple yolculuk edilebiliyor. Tenha bir yer, bugün bile dünyadan çok uzakta.

Zaman zaman haksızca ima edildiği üzere, Che Bolivya’yı Küba’da uyguladığı siyasi ve askerî stratejilerin aynısını mekanik şekilde yeniden üretebilmek için seçmedi. Fakat güney koninin tamamını etkileyecek bir devrimci sürecin doğuşuna ihtiyaç olduğuna ikna olmuştu. Bolivya’da başarılabilecek uluslarüstü bir proje, Peru ve Arjantin’e de ulaşabilir, ABD’nin tek ve dolayısıyla görece zayıf bir noktaya müdahale ederek bastırabilmesinin önüne geçilebilirdi. Kıtanın merkezinde yer alan, beş ülkeyle komşu olan Bolivya, kıtaya yayılacak farklı mücadele cephelerini organize edecek güvenilir kadroları oluşturmak için idealdi.

Che Bolivya Ulusal Kurtuluş Ordusunu yalnızca 45 gerilla ile kurmuştu. Bolivya Günlükleri’nin girişinde Fidel, “Tarihte bu kadar az sayıda insanın böyle devasa bir görevin altına girdiği görülmemişti” diyordu. Gerilla hareketinin başlangıcından 11 ay sonra ise ölüm çoğunun kapısına ulaşmıştı. 8 Ekim 1967’de, Che 16 yoldaşı ile birlikte pusuya düşmüş, sol ayağından yaralanmış ve üç saat süren çatışma sonucunda esir alınmıştı. Komşu La Higuera’ya götürülmüş, sonraki gün de General Rene Barrientos’un emriyle öldürülmüştü.

Che’nin Son Teorik Çalışmaları

Bolivya Günlükleri ile birlikte iki defter çarçabuk Küba’ya ulaştırıldı. Fakat kısa yazılardan oluşan bir başka günce çok daha geç ulaşmış, 1998 yılında ise Ölmeden Önce: Yazmalar ve Okuma Notları başlığı ile basılmıştı. Che bulunduğu şartların zorluğuna rağmen bu notlarında okumalarından önemli bulduğu pasajları aktarmış ve kimi çalışmalarını özetlemişti. Bu notlar, çok kısa süreli dinlenmelerinde yazdığı düşünüldüğünde, adanmışlığının da bir kanıtı sayılır. Notları arasında Sosyolog Charles Wright Mills’in yazdığı Marksist Che kitabının analizindeki yüzeyselliğin dahi eleştirisi vardı. Mills’i “Kuzey Amerika solunun liberal entelektüelliğinin açık bir örneği” olarak eleştiriyordu. Diğer yandan György Lukács’ı ise son derece faydalı buluyordu çünkü “Hegel felsefesinin karmaşıklığını çözmesine” yardımcı olmuştu. Felsefi çalışmalarına rehber olarak ise Engels’in Anti Dühring’indeki “diyalektik konusundaki tamamlanmamış fikirlerinden” yararlanıyordu. Troçki’nin Rus Devrimi Tarihi’nin belli kısımlarını ise Sovyetler’in doğuşuna dair “elzem, önemli bir kaynak” olarak görüyordu. Son olarak, Che yerel yazarları da okuyordu, Bolivya’nın Sömürge ve Ulusal Sorununa Dair isimli kitap üzerine notlar çıkarıyor, ülkeye dair “çokuluslu devlet” tezini ilginç buluyordu.

Che’nin son okuma notlarının sayfaları, kapitalizm öncesinden sosyalizme kadar olan süreçteki farklı üretim modellerine dair bir çalışması ile bitiyor. Bu çalışmada Marx’ın proletaryanın yoksullaştırılması konusunda haklı olduğunu belirtiyor fakat “emperyalizm fenomenini öngöremedi. Bugün emperyalist ülkelerin işçileri de sistemin azınlık ortaklarıdır” diye de ekliyor.

Ebedî Kahraman

Che’nin ölüm haberi herkesi şoka uğratmış fakat fikirleri 20. yüzyıl boyunca görülmemiş bir hızda yayılmıştı. Çocuklarına “her birimiz, tek başına değersiziz”, “dünyanın her yerinde, herkese karşı yapılan her türden haksızlığı yüreğinizin derinliklerinde duyun” diye öğütlediği bir mektup bırakmıştı.

1964 Aralık’ında Che Birleşmiş Milletler Genel Kurulunda konuşmuştu. Latin Amerika’dan, halkının kurtuluş mücadelesinden bahsetmiş, siyasi partilerin, entelektüellerin desteğinin önemli ancak başarmak için yeterli olmadığını söylemişti. “Sömürülen işçilerle birlikte bu destanı yerli halkların ve topraksız köylülerin kitlesel birliği yazacak” diyordu. Birçoklarına modern bir Don Kişot’un beyanı gibi gelen bu sözler, başkaları içinse öngörülü bir liderin sözleriydi. Fakat bugün, tahrip gücü giderek daha fazla artan kapitalist sistem karşısında, Che’nin mirası her zamankinden daha güncel.Marcello Musto – Akademisyen

Ernesto Che Guevara’nın hayatının son günlerini geçirdiği Vallagrande’yi ziyaret edebilmek için uzun bir yolculuğa çıkmanız gerekir. Önce Bolivya’nın en kalabalık şehri Santa Cruz’a gidip, oradaki eski yıpranmış otobüslerle, derme çatma ve rüzgârlı bir dağ yolunu geçmelisiniz.

Şehrin merkezinden birkaç kilometre sonra, Che’nin altı gerilla yoldaşı ile birlikte elleri kesilmiş biçimde saklandığı, şimdi müzeye çevrilmiş toplu mezarları görürsünüz. Alan, Bolivyalı devriyelerin CIA ajanlarının yardımlarıyla Guevara’yı ele geçirmek için kurdukları üsten yalnızca birkaç yüz metre uzaktadır. Oradan kalanlar ancak otuz yıl sonra yeniden ortaya çıkarıldı ve bugün Santa Clara’da, Che’nin 1958 Aralık’ında Küba devrimini getirecek savaşa önderlik ettiği yerde bir mozolede sergilenmektedir.

Categories
Journalism

Novas caracterizações de Marx após a Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA2)

O ressurgimento de Marx

Há mais de uma década, jornais e periódicos prestigiosos que contam com um amplo público leitor têm descrito Karl Marx como um teórico previdente, cuja atualidade é constantemente confirmada. Muitos autores com visões progressistas sustentam que suas ideias continuam indispensáveis para qualquer um que acredita ser necessário construir uma alternativa ao capitalismo. Em quase todo lugar, ele é tema de cursos universitários e de conferências internacionais. Seus escritos, reimpressos ou publicados em novas edições, têm reaparecido nas prateleiras das livrarias, e o estudo de sua obra, após vinte anos ou mais de negligência, tem ganhado impulso crescente. Os anos de 2017 e 2018 trouxeram maior intensidade a esse “ressurgimento de Marx”[1], graças a muitas iniciativas ao redor do mundo ligadas ao 150° aniversário da publicação de O capital e o bicentenário do nascimento de Marx.

As ideias de Marx têm mudado o mundo. Apesar da ratificação de suas teorias, tornadas ideologias dominantes e doutrinas de Estado para uma parte considerável da humanidade no século XX, não existe edição completa de todas as suas obras e manuscritos. O principal motivo para isso está no caráter incompleto dos trabalhos de Marx: as obras que ele publicou somam consideravelmente menos que o número total de projetos deixados inacabados, para não falar do imenso Nachlass [espólio] de notas relativas a suas infinitas pesquisas. Marx deixou, então, muito mais manuscritos que aqueles enviados aos tipógrafos. A incompletude foi uma parte inseparável de sua vida: a pobreza por vezes opressiva na qual ele viveu, assim como seus constantes problemas de saúde, se somaram às suas aflições diárias; seu método rigoroso e sua autocrítica impiedosa aumentaram as dificuldades de muitos de seus empreendimentos. Além disso, sua paixão pelo conhecimento permaneceu inalterada ao longo do tempo e sempre o levou a novos estudos. No entanto, seus incessantes trabalhos teriam as consequências teóricas mais extraordinárias para o futuro.

A retomada da publicação da Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA2), a edição histórico-crítica das obras completas de Marx e Friedrich Engels, em 1998, foi de particular relevância para a reavaliação das realizações de Marx. Já vieram a lume mais vinte e oito volumes (quarenta[2] foram publicados entre 1975 e 1989) e outros estão em preparação. A MEGA2 está organizada em quatro seções: (1) todas as obras, artigos e esboços escritos por Marx e Engels (com exceção de O capital); (2) O capital e todos seus materiais preparatórios; (3) a correspondência, que consiste em 4.000 cartas escritas por Marx e Engels e 10.000 escritas a eles por outros, um grande número das quais publicado pela primeira vez na MEGA2; e (4) os excertos, anotações e notas marginais. Essa quarta seção atesta os trabalhos verdadeiramente enciclopédicos de Marx: desde seu tempo na universidade, era seu hábito compilar estratos dos livros que lia[3], entremeando-os frequentemente com reflexões que esses estratos lhe sugeriam. O legado literário de Marx contém cerca de duzentos cadernos de notas. Eles são essenciais para a compreensão da gênese de sua teoria e daqueles elementos que fora incapaz de desenvolver do modo que gostaria. Os excertos preservados, que cobrem o longo intervalo de tempo entre 1838 e 1882, estão escritos em oito idiomas (alemão, grego antigo, latim, francês, inglês, italiano, espanhol e russo) e se referem às mais variadas disciplinas. Eles foram tomados de obras de filosofia, história da arte, religião, política, direito, literatura, história, economia política, relações internacionais, tecnologia, matemática, fisiologia, geologia, mineralogia, agronomia, antropologia, química e física – incluindo não apenas livros, jornais e artigos de periódicos, mas também atas parlamentares, bem como estatísticas governamentais e relatórios. Essa imensa reserva de conhecimento, da qual muito foi publicado em anos recentes ou ainda aguarda ser impresso, foi o canteiro de obras para a teoria crítica de Marx e a MEGA2 deu acesso inédito a ele[4].

Esses materiais inestimáveis – muitos disponíveis apenas em alemão e, portanto, confinados em pequenos círculos de pesquisadores – nos mostram um autor muito diferente daquele que vários críticos, ou autodenominados discípulos, apresentaram por tanto tempo. De fato, as novas aquisições textuais presentes na MEGA2 possibilitam dizer que, dos clássicos do pensamento político, econômico e filosófico, Marx é o autor cujo perfil mais mudou nas décadas iniciais do século XXI. A nova configuração política decorrente da implosão da União Soviética também contribuiu para essa nova percepção, pois o fim do marxismo-leninismo finalmente libertou a obra de Marx dos grilhões de uma ideologia que dista anos-luz de sua concepção de sociedade.

Pesquisas recentes têm refutado as várias abordagens que reduzem a concepção marxiana de sociedade comunista ao desenvolvimento superior das forças produtivas. Por exemplo, tem sido mostrada a importância que Marx atribuiu à questão ecológica: ele denunciou repetidas vezes o fato de que a expansão do modo capitalista de produção aumenta não apenas o roubo do trabalho dos trabalhadores, mas também a pilhagem dos recursos naturais. Marx se aprofundou em várias outras questões que, embora frequentemente subestimadas, ou até mesmo ignoradas, por estudiosos de sua obra, estão ganhando importância crucial para a agenda política de nosso tempo. Entre essas questões estão a liberdade individual nas esferas econômica e política, emancipação de gênero, a crítica do nacionalismo, o potencial emancipatório da tecnologia, e formas de propriedade coletiva não controladas pelo Estado. Assim, trinta anos após a queda do muro de Berlim, tornou-se possível ler um Marx muito diferente do teórico dogmático, economicista e eurocêntrico que circulou por tanto tempo entre nós.

 

Novas descobertas sobre a gênese da concepção materialista da história

 

Em fevereiro de 1845, após intensos 15 meses em Paris que foram cruciais para sua formação política, Marx foi obrigado a mudar para Bruxelas, onde foi autorizado a residir sob a condição de que ele “não publique nada sobre a política atual”[5]. Durante os três anos que passou na capital belga, ele prosseguiu de modo profícuo com seus estudos de economia política e concebeu a ideia de escrever, junto com Engels, Joseph Weydemeyer e Moses Hess, uma “crítica da moderna filosofia alemã, tal como exposta pelos seus representantes Ludwig Feuerbach, Bruno Bauer e Max Stirner, e do socialismo alemão, tal como exposto por seus vários profetas”[6]. O texto resultante, postumamente publicado sob o título A ideologia alemã, tinha um duplo objetivo: combater as últimas formas do neo-hegelianismo na Alemanha, e então, como escreveu Marx ao editor Carl Wilhelm Julius Leske, “preparar o público para o ponto de vista adotado em minha Economia, que é diametralmente oposto à ciência alemã, passada e presente”[7]. Esse manuscrito, sobre o qual ele trabalhou até junho de 1846, nunca foi terminado, mas o auxiliou a elaborar de modo mais nítido, ainda que não em uma forma definitiva, aquilo que, quarenta anos depois, Engels definiu para o público mais amplo como “a concepção materialista da história”[8].

A primeira edição de A ideologia alemã, publicada em 1932, bem como todas as versões posteriores que apenas incorporaram pequenas modificações, foram enviadas às gráficas com a aparência de um livro completo. Em particular, os editores desse manuscrito de fato inacabado criaram a falsa impressão de que A ideologia alemã incluía um capítulo inicial essencial sobre Feuerbach, no qual Marx e Engels expunham exaustivamente as leis do “materialismo histórico” (um termo nunca usado por Marx). De acordo com Althusser, esse foi o lugar onde eles conceituaram “uma inequívoca ruptura epistemológica” com seus escritos anteriores (Althusser, s/d, p. 33). A ideologia alemã logo se tornou um dos mais importantes textos filosóficos do século XX. De acordo com Henri Lefebvre, ele expôs as “teses fundamentais do materialismo histórico” (Lefebvre, 1968, p. 71). Maximilien Rubel defendia que esse “manuscrito contém a demonstração mais elaborada do conceito crítico e materialista de história” (Rubel, 1980, p. 13). David McLellan foi igualmente incisivo em sustentar que ele “continha a mais detalhada consideração de Marx acerca de sua concepção materialista da história” (McLellan, 1975, p. 37).

Graças ao volume I/5 da MEGA2, “Karl Marx – Friedrich Engels, Deutsche Ideologie. Manuskripte und Drucke (1845-1847)”[9], muitas dessas reivindicações podem agora ser suavizadas e A ideologia alemã, restituída à sua incompletude original. Essa edição – que compreende 17 manuscritos com um total de 700 páginas mais o aparato crítico de 1200 páginas, fornecendo variações e correções autorais e indicando a paternidade de cada seção – estabelece de uma vez por todas o caráter fragmentário do texto[10]. A falácia do “comunismo  científico” característica do século XX e todas as instrumentalizações de A ideologia alemã recordam um trecho a ser encontrado no próprio texto, pois que a sua crítica convincente da filosofia alemã dos tempos de Marx ressoa, também, uma advertência amarga contra futuras tendências exegéticas: “Havia uma mistificação não apenas em suas respostas, mas também em suas perguntas”[11].

No mesmo período, o jovem revolucionário nascido em Trier expandiu os estudos que havia iniciado em Paris. Ele passou os meses de julho e agosto de 1845 em Manchester a mergulhar na vasta literatura econômica de língua inglesa e a compilar nove cadernos de estratos (os assim chamados Cadernos de Manchester), majoritariamente a partir de manuais de economia política e livros sobre história econômica. O volume IV/4 da MEGA2, publicado em 1988, contém os cinco primeiros desses cadernos, junto com três cadernos de anotações de Engels do mesmo período em Manchester[12]. O volume IV/5, “Karl Marx – Friedrich Engels, Exzerpte und Notizen. Juli 1845 bis Dezember 1850”[13], completa essa série de textos e disponibiliza aos pesquisadores suas partes antes não publicadas. Ele inclui os cadernos 6, 7, 8 e 9, que contém os excertos marxianos de 16 obras de economia política. O mais considerável desse grupo adveio de Labour’s wrong and Labour’s Remedy [Os males do trabalho e seu remédio] (1839), de John Francis Bray, e de quatro textos de Robert Owen, em particular de seu Book of the New Moral World [Livro do novo mundo moral] (1840-1844), todos os quais evidenciam o grande interesse de Marx à época pelo socialismo inglês e seu profundo respeito por Owen, um autor que muitos marxistas têm precipitadamente descartado como “utópico”. O volume termina com cerca de vinte páginas escritas por Marx entre 1846 e 1850, além de algumas notas de estudo de Engels do mesmo período.

Esses estudos sobre teoria socialista e economia política não eram um entrave para o habitual engajamento político de Marx e Engels. As mais de 800 páginas do recentemente publicado volume I/7, “Karl Marx – Friedrich Engels, Werke, Artikel, Entwürfe. Februar bis Oktober 1848”[14], permite-nos estimar a escala disso em 1848, um dos anos mais desgastantes em termos de atividade política e jornalística das vidas dos autores do Manifesto do partido comunista. Após um movimento revolucionário de extensão e intensidade inéditas mergulhar a ordem política e social da Europa continental em uma crise, os governos vigentes tomaram todas as contramedidas possíveis para pôr um fim às insurreições. O próprio Marx sofreu as consequências e foi expulso da Bélgica em março daquele ano. Contudo, uma república acabara de ser proclamada na França, e Ferdinand Flocon, um ministro do governo provisório, convidou Marx a retornar a Paris: “Caro e bravo Marx, (…) a tirania o baniu, mas a França livre reabrirá suas portas para ti”. Naturalmente, Marx colocou de lado seus estudos sobre economia política e assumiu a atividade jornalística em apoio à revolução, ajudando, assim, no traçado de um rumo político apropriado. Depois de um breve período em Paris, ele mudou, em abril, para a Renânia e, dois meses mais tarde, começou a editar a Neue Rheinische Zeitung [Nova Gazeta Renana], que, nesse meio tempo, havia sido fundada em Colônia. Uma campanha intensa em suas colunas deu suporte à causa dos insurgentes e incitou o proletariado a promover “a revolução social e republicana”[15].

Quase todos os artigos presentes na Neue Rheinische Zeitung foram publicados de modo anônimo. Um dos méritos desse volume é ter atribuído corretamente a autoria de 36 textos a Marx ou a Engels, enquanto coletâneas anteriores haviam nos deixado em dúvida quanto a quem escreveu qual peça. De um total de 275 artigos, 125 são integralmente impressos aqui pela primeira vez em uma edição das obras de Marx e Engels. Um apêndice apresenta, ainda, 16 documentos interessantes, contendo relatos de algumas de suas intervenções nas conferências da Liga dos Comunistas, nas assembleias da Sociedade Democrática de Colônia e na Associação de Viena. Quem tiver interesse pela atividade política e jornalística de Marx durante 1848, o “ano da revolução”, encontrará aqui um material muito valioso para aprofundar seu conhecimento.

 

O capital: a crítica inacabada

 

O movimento revolucionário que se ergueu por toda a Europa em 1848 foi derrotado dentro de um curto espaço de tempo e, em 1849, após duas ordens de expulsão da Prússia e da França, Marx não teve outra opção além de atravessar o Canal da Mancha. Ele permaneceria na Inglaterra como uma pessoa exilada e apátrida pelo resto de sua vida, mas a reação europeia não poderia tê-lo confinado em um lugar melhor para escrever sua crítica da economia política. Àquela época, Londres era o principal centro econômico e financeiro do mundo, o “demiurgo do cosmo burguês”[16], e, portanto, o lugar mais favorável a partir do qual se podia observar os últimos desenvolvimentos econômicos da sociedade capitalista. Ele também se tornou correspondente do New-York Tribune, o jornal com maior circulação nos Estados Unidos da América.

Marx esperou por muitos anos a eclosão de uma nova crise e, quando ela se materializou em 1857, dedicou muito do seu tempo à análise de suas características principais. O volume I/16, “Karl Marx – Friedrich Engels, Artikel Oktober 1857 bis Dezember 1858”[17], inclui 84 artigos que ele publicou entre o outono de 1857 e o fim de 1858 no New-York Tribune, dentre os quais aqueles em que expressa suas primeiras reações ao público financeiro de 1857. Não obstante o fato de que o diário americano publicava frequentemente editoriais não assinados, a pesquisa para esse novo volume da MEGA2 possibilitou atribuir mais dois artigos a Marx, bem como incluir quatro artigos que foram substancialmente modificados pelos editores e outros três cuja origem permanece incerta.

Movido por uma desesperada necessidade de melhorar sua situação econômica, Marx também ingressou no comitê editorial do The New American Cyclopædia e concordou em redigir uma certa quantidade de verbetes para esse projeto (o volume I/16 contém 39 deles). Mesmo que o pagamento de dois dólares por página fosse muito baixo, ainda assim era uma receita que ingressava em suas desastrosas finanças. Além disso, ele confiou a maioria do trabalho a Engels, de modo que pudesse dedicar mais tempo aos seus escritos econômicos.

Nesse período, o trabalho de Marx foi notável e abrangente. Paralelamente a seu compromisso jornalístico, ele preencheu, entre agosto de 1857 e maio de 1858, os oito cadernos celebremente conhecidos como Grundrisse. Mas ele também colocou a si mesmo a extenuante tarefa de um estudo analítico da primeira crise econômica mundial. O volume IV/4, “Karl Marx, Exzerpte, Zeitungsausschnitte und Notizen zur Weltwirtschaftskrise (Krisenhefte). November 1857 bis Februar 1858”[18], contribui de modo decisivo para nosso conhecimento acerca de um dos intervalos mais profícuos da produção teórica de Marx. Ele descreveu seu surto febril de atividade em uma carta a Engels de dezembro de 1857:

Tenho trabalhado demais, geralmente até às 4 da manhã. O trabalho é duplo: 1. A elaboração das linhas fundamentais [Grundrisse] da economia política. (Em favor do público, é absolutamente essencial adentrar a matéria até o fundo, assim como para mim, individualmente, é absolutamente essencial se livrar desse pesadelo.) 2. A presente crise. Além dos artigos para a [New-York] Tribune, o que faço é apenas registrá-la, o que, entretanto, toma um tempo considerável. Penso que em algum momento da primavera devemos escrever juntos um panfleto sobre o caso, como um lembrete ao público alemão de que continuamos lá como sempre, e sempre os mesmos[19].

 

Portanto, o plano de Marx era trabalhar simultaneamente em dois projetos: um trabalho teórico sobre a crítica do modo de produção capitalista, e um livro mais estritamente atual sobre as vicissitudes da crise em curso. Essa é a razão pela qual Marx, diferentemente do que ocorre em volumes anteriores similares, não compila, nos assim chamados Cadernos sobre a Crise, estratos de obras de outros economistas; antes, coletou uma grande quantidade de boletins de notícias sobre os maiores colapsos bancários, sobre as variações nos preços do mercado acionário, mudanças nos padrões dos fluxos comerciais, taxas de desemprego e produção industrial. A atenção particular dispensada a essa última distinguiu sua análise em relação àquela de muitos outros que atribuíam às crises a concessão deficiente de crédito e o aumento nos fenômenos especulativos. Marx dividiu suas notas em três cadernos distintos. No primeiro e mais curto caderno, intitulado “1857 France”, ele coletou dados sobre a situação do comércio francês e as principais medidas tomadas pelo Banco da França. O segundo, o “Livro sobre a Crise de 1857”, tinha quase o dobro do tamanho do primeiro e lidava principalmente com o Reino Unido e o mercado monetário. Temas similares foram tratados no terceiro caderno, o “Livro sobre a Crise Comercial”. Pouco maior que o segundo, Marx anotara nesse caderno dados e notícias sobre relações industriais, a produção de matérias-primas e o mercado de trabalho.

O trabalho de Marx foi, como sempre, rigoroso: ele copiou de mais de uma dúzia de periódicos e jornais, em ordem cronológica, as partes mais interessantes de vários artigos e qualquer outra informação que ele pudesse usar para condensar aquilo que estava acontecendo. Sua principal fonte foi o semanário The Economist, de onde extraiu cerca de metade de suas notas, embora também consultasse frequentemente a Morning Star, The Manchester Guardian e The Times. Todos os estratos foram compilados em inglês. Nesses cadernos, Marx não se deteve na transcrição dos principais boletins de notícias a respeito dos Estados Unidos e do Reino Unido. Ele também rastreou os eventos mais significantes em outros países europeus – em particular França, Alemanha, Áustria, Itália e Espanha – e interessou-se vigorosamente por outras partes do mundo, em especial Índia e China, o Extremo Oriente, Egito e, até mesmo, Brasil e Austrália.

Com o passar das semanas, Marx desistiu da ideia de publicar um livro sobre a crise e concentrou todas as suas energias em seu trabalho teórico, a crítica da economia política, que, do seu ponto de vista, não poderia admitir mais nenhum atraso. Ainda assim, os Cadernos sobre a crise permanecem particularmente úteis para a refutação de uma falsa ideia sobre os principais interesses de Marx nesse período. Em uma carta a Engels do começo de 1858, ele escreveu que, “quanto ao método”, lançar mão da “Lógica de Hegel foi de grande utilidade” para seu trabalho, e que, além disso, queria destacar seu “aspecto racional”[20]. Com base nisso, alguns intérpretes da obra de Marx têm concluído que, ao escrever os Grundrisse, ele gastou um tempo considerável estudando a filosofia hegeliana. Mas a publicação do volume IV/14 deixa muito claro que sua principal preocupação à época era com a análise empírica dos eventos ligados à grande crise econômica que há tanto tempo estava prevendo.

Os esforços infatigáveis de Marx para completar sua “crítica da economia política” são, ainda, o tema principal do volume III/12, “Karl Marx – Friedrich Engels, Briefwechsel. Januar 1862 bis September 1864”[21], que contém sua correspondência do começo de 1862 até a fundação da Associação Internacional dos Trabalhadores. Das 425 cartas preservadas, 112 são correspondências entre Marx e Engels, enquanto 35 foram escritas por eles para terceiros, e 278 remetidas a eles por terceiros (sendo 227 cartas desse grupo publicadas aqui pela primeira vez). A inclusão das últimas – a diferença mais significante em relação a todas as edições anteriores – constitui um verdadeiro tesouro para o leitor interessado, dado que fornece uma gama de novas informações sobre eventos e teorias que Marx e Engels aprenderam com mulheres e homens com quem compartilhavam um compromisso político.

Como todos os outros volumes de correspondência da MEGA2, esse também termina com um registro de cartas escritas por - ou endereçadas a - Marx e Engels que não deixaram mais do que vestígios atestando sua existência. Elas chegam a um total de 125 cartas, quase um quarto do número que sobreviveu, e incluem 57 escritas por Marx. Nesses casos, mesmo o pesquisador mais exigente nada pode fazer além de especular sobre várias hipóteses conjecturais.

Entre os principais pontos de discussão presentes na correspondência de Marx no começo dos anos 1860 estavam a guerra civil norte-americana, a revolta polonesa contra a ocupação russa, e o nascimento do Partido Social-Democrata da Alemanha inspirado pelos princípios de Ferdinand Lassalle. No entanto, um tema constantemente recorrente era sua luta para progredir na escrita de O capital.

Nesse período, Marx se lançou em uma nova área de pesquisa: as Teorias sobre o mais-valor. Em mais de dez cadernos, ele dissecou minuciosamente a abordagem dos maiores economistas que lhe precederam, sendo sua ideia básica a de que “todos os economistas compartilham o erro de examinar o mais-valor não como tal, não em sua forma pura, mas nas formas particulares do lucro e da renda”[22]. Entrementes, a situação econômica de Marx continuava desesperadora. Em junho de 1862 escreveu a Engels: “Todo dia minha esposa diz desejar que ela e as crianças estivessem seguras em seus túmulos, e realmente não posso culpá-la, pois as humilhações, tormentos e inquietações que se passa em tal situação são, de fato, indescritíveis”. A situação era tão extrema que Jenny decidiu vender alguns livros da biblioteca pessoal de seu marido – ainda que ela não tenha conseguido encontrar ninguém que quisesse comprá-los. Contudo, Marx conseguiu “trabalhar duro” e expressou uma nota de satisfação a Engels: “estranho dizer, mas minha massa cinzenta está funcionando melhor em meio à pobreza circundante do que funcionava há anos”[23]. Em setembro, Marx escreveu a Engels que poderia conseguir um emprego “em um escritório ferroviário” no ano novo[24]. Em dezembro, repetiu a seu amigo Ludwig Kugelmann que as coisas haviam se tornado tão desesperadoras que ele tinha “decidido se tornar um ‘homem prático’”; nada deu certo, no entanto. Marx relatou com seu típico sarcasmo: “Felizmente – ou talvez teria que dizer infelizmente? – não consegui o cargo por conta da minha caligrafia ruim”[25].

Paralelamente às tensões financeiras, Marx sofreu por demais com problemas de saúde. Não obstante, do verão de 1863 a dezembro de 1865, ele embarcou na continuidade da edição das várias partes nas quais ele havia decidido subdividir O capital. Ao fim e ao cabo, ele conseguiu elaborar o primeiro esboço do Livro I; o único manuscrito do Livro III, no qual redigira sua única consideração acerca do processo completo da produção capitalista; e uma versão inicial do Livro II, contendo a primeira apresentação geral do processo de circulação do capital.

O volume II/11 da MEGA2, “Karl Marx, Manuskripte zum zweiten Buch des ‘Kapitals’ 1868 bis 1881”[26], contém todos os manuscritos finais relativos ao Livro II de O capital que Marx esboçou entre 1868 e 1881. Nove desses dez manuscritos não haviam sido publicados até então. Em outubro de 1867, Marx retomou o Livro II de O capital, mas vários problemas de saúde forçaram-no a outra súbita interrupção. Alguns meses depois, quando foi capaz de prosseguir com o trabalho, já haviam se passado cerca de três anos desde a última versão que ele escrevera. Marx finalizou os primeiros dois capítulos durante a primavera de 1868, além de um grupo de manuscritos preparatórios – sobre a relação entre mais-valor e taxa de lucro, a lei da taxa de lucro, e as metamorfoses do capital – que o ocuparam até o fim do ano. A nova versão do terceiro capítulo foi terminada no decurso dos dois anos seguintes. O volume II/11 se encerra com uma série de textos curtos que o já envelhecido Marx escreveu entre fevereiro de 1877 e a primavera de 1881.

Os esboços do Livro II de O capital, que foram deixados inconclusivos, apresentam uma série de problemas teóricos. No entanto, a versão final do Livro II foi publicada por Engels em 1885 e aparece, agora, no volume II/13 da MEGA2 intitulado “Karl Marx, Das Kapital. Kritik der politischen Ökonomie. Zweiter Band. Herausgegeben von Friedrich Engels. Hamburg 1885”[27].

Por fim, o volume II/4.3, “Karl Marx, Ökonomische Manuskripte 1863-1868. Teil 3”[28], completa a segunda seção da MEGA². Esse volume, que dá sequência aos prévios II/4.1 e II/4.2[29], contém 15 manuscritos concebidos entre o outono de 1867 e o fim de 1868, os quais permaneceram inéditos até então. Sete desses manuscritos são fragmentos de esboços do Livro III de O capital; apresentam um caráter altamente fragmentário e Marx nunca conseguiu atualizá-los de modo a refletir o progresso de sua pesquisa. Outros três manuscritos correspondem ao Livro II, enquanto os cinco remanescentes lidam com questões concernentes à interdependência entre os Livros II e III e incluem excertos comentados retirados das obras de Adam Smith e Thomas Malthus. Os últimos são particularmente instigantes para aqueles economistas interessados na teoria marxiana da taxa de lucro e em suas ideias sobre a teoria do preço. Estudos filológicos ligados à preparação desse volume também mostraram que o manuscrito original do Livro I de O capital (do qual o “Capítulo seis. Resultados do processo imediato de produção” era considerado a única parte preservada) data, na verdade, do período de 1863-1864, e que Marx o cortou e colou na cópia que ele preparava para publicação[30].

Com a publicação do volume II/4.3 da MEGA2 todos os textos complementares relacionados a O capital se tornaram disponíveis: da famosa “Introdução”, escrita em julho de 1857 durante uma das maiores quebras na história do capitalismo, até os últimos fragmentos redigidos na primavera de 1881. Estamos falando de 15 volumes, mais outros tantos tomos vultosos que constituem um formidável aparato crítico para o texto principal. Eles incluem todos os manuscritos do fim dos anos 1850 e início dos 1860, a primeira versão de O capital publicada em 1867 (partes das quais seriam modificadas em edições subsequentes), a tradução francesa revisada por Marx que apareceu entre 1872 e 1875, e todas as alterações feitas por Engels nos manuscritos dos Livros II e III. Junto a isso, a coleção clássica dos três livros de O capital aparece positivamente diminuta. Não é exagero dizer que só agora podemos compreender completamente os méritos, limites e incompletudes da magnum opus de Marx.

O trabalho editorial que Engels levou a cabo após a morte de seu amigo, isto é, o de preparar as partes não terminadas de O capital para publicação, foi extremamente complexo. Os vários manuscritos, esboços e fragmentos dos Livros II e III, escritos entre 1864 e 1881, correspondem a aproximadamente 2.350 páginas da MEGA2. Engels publicou com êxito o Livro II em 1885 e o III, em 1894. Contudo, é preciso ter em mente que esses dois livros surgiram da reconstrução de textos incompletos, frequentemente formados por material heterogêneo. Eles foram escritos em momentos distintos e, assim, incluem versões diferentes, e por vezes contraditórias, das ideias de Marx.

 

A Internacional, as pesquisas de Marx após O capital, e os trabalhos finais de Engels

 

Imediatamente após a publicação de O capital, Marx retomou a atividade militante e assumiu um compromisso permanente com o trabalho da Associação Internacional dos Trabalhadores. Essa fase de sua biografia política está documentada no volume I/21, “Karl Marx – Friedrich Engels, Werke, Artikel, Entwürfe. September 1867 bis März 1871”[31], que contém mais de 150 textos e documentos do período de 1867-1871, bem como as atas de 169 reuniões do Conselho Geral em Londres nas quais Marx interveio, atas essas que foram omitidas por todas as edições anteriores dos trabalhos de Marx e Engels[32]. Enquanto tal, esse volume provê material de pesquisa para anos cruciais da vida da Internacional.

Desde os primeiros dias de 1864 as ideias de Proudhon eram hegemônicas na França, na Suíça francófona e na Bélgica e os mutualistas – nome pelo qual seus seguidores eram conhecidos – eram a ala mais moderada da Internacional. Resolutamente hostis à intervenção estatal em qualquer campo, eles se opunham à socialização da terra e dos meios de produção, bem como a qualquer uso do instrumento de greve. Os textos publicados nesse volume mostram como Marx teve um papel central na longa luta para reduzir a influência de Proudhon na Internacional. Eles incluem documentos relacionados à preparação dos congressos de Bruxelas (1868) e da Basileia (1869), onde a Internacional fez seu primeiro pronunciamento explícito sobre a socialização dos meios de produção por autoridades estatais e a favor do direito de abolir a propriedade individual sobre a terra. Isso marcou uma vitória importante para Marx e a primeira aparição de princípios socialistas no programa político de uma importante organização de trabalhadores.

Além do programa político da Associação Internacional dos Trabalhadores, o fim dos anos 1860 e início dos 1870 foram ricos em conflitos sociais. Muitos trabalhadores que participavam de ações de protesto decidiram contactar a Internacional, cuja reputação se espalhava cada vez mais, a fim de pedir apoio a suas lutas. Nesse período surgiram, ainda, algumas seções de trabalhadores irlandeses na Inglaterra. Marx estava preocupado com a divisão que o nacionalismo brutal havia produzido nas fileiras do proletariado e, em um documento que veio a ser conhecido como “Confidential Communication”, ele enfatizou que “a burguesia inglesa não apenas explorou a miséria irlandesa para deteriorar a situação da classe trabalhadora na Inglaterra por meio da imigração forçada de irlandeses pobres”; ela também se provou capaz de dividir os trabalhadores “em dois campos hostis”[33]. No seu modo de entender, “uma nação que escraviza outra forja suas próprias correntes”[34] e a luta de classes não poderia ignorar um assunto tão decisivo. Outro tema importante no volume, tratado com particular atenção nos escritos de Engels para The Pall Mall Gazette, foi a oposição à Guerra Franco-Prussiana de 1870-1871.

O trabalho de Marx na Associação Internacional dos Trabalhadores perdurou entre 1864 e 1872, e o novíssimo volume IV/18, “Karl Marx – Friedrich Engels, Exzerpte und Notizen. Februar 1864 bis Oktober 1868, November 1869, März, April, Juni 1870, Dezember 1872”[35], fornece a parte até então desconhecida dos estudos que ele realizara durante esses anos. A pesquisa de Marx ocorreu tanto próximo à impressão do Livro I de O capital quanto após 1867, enquanto preparava os livros II e III para publicação. Esse volume da MEGA² consiste em cinco livros de excertos e quatro cadernos com resumos de mais de uma centena de obras publicadas, relatórios de debates parlamentares e artigos jornalísticos. A parte mais considerável e teoricamente importante desses materiais envolve a pesquisa de Marx sobre agricultura, sendo, aqui, seus principais interesses a renda da terra, as ciências naturais, as condições agrárias em vários países europeus e nos Estados Unidos, Rússia, Japão e Índia, e os sistemas de posse da terra em sociedades pré-capitalistas.

Marx leu atentamente Die Chemie in ihrer Anwendung auf Agricultur und Physiologie (1843) [A química em sua aplicação na agricultura e fisiologia], um livro escrito pelo cientista alemão Justus von Liebig e que ele considerava essencial, uma vez que permitiu-lhe modificar sua crença de que as descobertas científicas da agricultura moderna haviam resolvido o problema da regeneração do solo. Desde então, ele apresentou um interesse cada vez mais vivo naquilo que hoje chamaríamos de “ecologia”, em particular na erosão do solo e no desmatamento. Dentre os outros livros que impressionaram Marx fortemente nesse período, também deveria ser atribuído um lugar especial à Einleitung zur Geschichte der Mark-, Hof-, Dorf-, und Stadt-Verfassung und der öffentlichen Gewalt (1854) [Introdução à história da constituição da marca, sítio, povoado e cidade e da autoridade pública], escrito pelo teórico político e historiador jurídico Georg Ludwig von Maurer. Em uma carta a Engels, ele disse que achou os livros de Maurer “extremamente relevantes”, uma vez que eles abordaram de um jeito completamente diferente “não apenas a era primitiva, mas também todo o desenvolvimento posterior das cidades imperiais livres, do privilégio da posse dos proprietários rurais, da autoridade pública, e a luta entre o campesinato livre e a servidão”[36]. Ademais, Marx endossou a demonstração de Maurer de que a propriedade privada da terra pertencia a um período histórico preciso e não poderia ser considerada como uma característica natural da civilização humana. Por fim, Marx estudou em profundidade três obras alemãs escritas por Karl Fraas: Klima und Pflanzenwelt in der Zeit. Ein Beitrag zur Geschichte beider (1847) [Clima e reino vegetal no tempo. Uma contribuição para a história de ambas], Geschichte der Landwirtschaft (1852) [História da agricultura] e Die Natur der Landwirtschaft (1857) [A natureza da agricultura]. Ele achou a primeira dessas obras “muito interessante”, especialmente ao se referir à parte em que Fraas demonstra que o “clima e a flora mudam historicamente”. Marx o descreveu como um “darwinista antes de Darwin”, que admitiu que “mesmo as espécies têm se desenvolvido historicamente”. Ele foi surpreendido, ainda, pelas considerações ecológicas de Fraas e sua preocupação correlata de que “o cultivo – quando prossegue em crescimento natural e não é controlado conscientemente (como um burguês, naturalmente ele não alcança esse ponto) – deixa desertos atrás de si”. Marx poderia detectar nisso tudo “uma tendência socialista inconsciente”[37].

Após a publicação dos assim chamados Cadernos sobre agricultura, pode-se argumentar com maior grau de certeza que, se Marx tivesse tido forças para finalizar os últimos dois livros de O capital, a ecologia teria tido um papel muito mais importante em seu pensamento[38]. Evidentemente, a crítica ecológica de Marx era anticapitalista em seu enfoque e, para além das esperanças que ele colocava no progresso científico, envolvia o questionamento do modo de produção como um todo.

A magnitude dos estudos marxianos sobre as ciências naturais se tornou completamente visível desde a publicação do volume IV/26, “Karl Marx, Exzerpte und Notizen zur Geologie, Mineralogie und Agrikulturchemie. März bis September 1878”[39]. Na primavera e no verão de 1878, a geologia, mineralogia e agroquímica eram mais centrais para os estudos de Marx do que a economia política. Ele compilou estratos de uma série de livros, incluindo The natural history of the raw materials of commerce (1872) [A história natural das matérias-primas do comércio], de John Yeats; Das Buch der Natur (1848) [O livro da natureza], do químico Friedrich Schoedler; e Elements of agricultural chemistry and geology (1858) [Elementos de química agrária e geologia], do químico e mineralogista James Johnston. Entre junho e início de setembro, atracou-se com The student’s manual of geology (1857) [Manual do estudante de geologia] de Joseph Jukes[40], do qual copiou o maior número de estratos. O foco principal desses estratos são questões de metodologia científica, os estágios do desenvolvimento da geologia como disciplina, e sua utilidade para a produção industrial e agrária.

A assimilação de tais questões despertou em Marx a necessidade de desenvolver suas ideias a respeito do lucro, algo com o qual havia se ocupado contínua e intensivamente em meados dos anos 1860, quando escreveu o esboço da parte sobre “A transformação do excedente do lucro em renda da terra”, constituinte do Livro III de O capital. Alguns dos resumos de textos sobre ciências naturais tinham o objetivo de lançar uma luz mais intensa sobre o material em estudo. Mas outros excertos, mais voltados a aspectos teóricos, eram destinados à conclusão do Livro III. Engels recordou mais tarde que Marx “vasculhou (…) a pré-história, agronomia, propriedade russa e americana da terra, geologia etc., para desenvolver a seção sobre a renda da terra no Livro III de O capital em uma profundidade (…) nunca tentada”[41]. Esses volumes da MEGA2 são ainda mais importantes porque servem para desacreditar o mito, repetido em uma série de biografias e estudos sobre Marx, de que após O capital ele havia satisfeito sua curiosidade intelectual e desistido completamente de novos estudos e pesquisas[42].

Por fim, três livros da MEGA2 publicados na última década dizem respeito ao último Engels. O volume I/30, “Friedrich Engels, Werke, Artikel, Entwürfe. Mai 1883 bis September 1886”[43], contém 43 textos escritos por ele nos três anos que se passaram após a morte de Marx. Dos 29 textos mais importantes dentre esses, 17 consistem em peças jornalísticas que apareceram em alguns dos principais jornais da imprensa proletária europeia. Embora nesse período estivesse especialmente absorvido pela edição dos manuscritos incompletos de O capital deixados por Marx, Engels não se furtou de intervir em uma série de questões políticas e teóricas candentes. Lançou, ainda, uma obra polêmica que mirava o reaparecimento do idealismo nos círculos acadêmicos alemães, a saber, Ludwig Feuerbach e o fim da filosofia clássica alemã (1886). Os outros 14 textos, publicados nesse volume como um apêndice, são algumas das traduções do próprio Engels e uma série de artigos assinados por outros autores em colaboração com ele.

A MEGA2 também publicou um novo conjunto de correspondências de Engels. O volume III/30, “Friedrich Engels, Briefwechsel. Oktober 1889 bis November 1890”[44], apresenta 406 cartas preservadas do total de 500 ou mais que ele escreveu entre outubro de 1889 e novembro de 1890. Além do mais, a inclusão inédita de cartas de outros correspondentes possibilita apreciar de modo mais profundo a contribuição de Engels para o crescimento dos partidos proletários na Alemanha, na França e no Reino Unido, no que diz respeito a toda uma gama de questões teóricas e organizacionais. Alguns dos itens em questão se referem ao nascimento da Segunda Internacional, cujo congresso de fundação ocorreu em 14 de julho de 1889, e aos muitos debates nela em curso.

Finalmente, o volume I/32, “Friedrich Engels, Werke, Artikel, Entwürfe. März 1891 bis August 1895”[45], reúne escritos dos últimos quatro anos e meio da vida de Engels. Há uma série de peças jornalísticas escritas para os maiores jornais socialistas da época, incluindo Die Neue Zeit, Le Socialiste e Critica Sociale, bem como prefácios e posfácios a várias reimpressões das obras de Marx e Engels, transcrições de discursos, entrevistas e saudações a congressos partidários, relatos de conversas, documentos esboçados por Engels em colaboração com outros, e uma série de traduções.

Portanto, esses três volumes se revelarão extremamente úteis para um estudo aprofundado das contribuições teóricas e políticas tardias de Engels. As numerosas publicações e conferências internacionais programadas para o bicentenário de seu nascimento (1820-2020) certamente não falharão em sondar esses vinte anos que se passaram após a morte de Marx, período em que dedicou suas energias para a difusão do marxismo.

 

Outro Marx?

 

Que Marx emerge da nova edição histórico-crítica de seus trabalhos? Em certos aspectos, ele difere do pensador que muitos discípulos e oponentes apresentaram ao longo dos anos – sem falar das estátuas de pedra encontradas em praças públicas sob regimes não-livres da Europa Oriental, estátuas essas que o representavam apontando para o futuro com imperiosa certeza. Por outro lado, poderia ser enganoso trazer à baila a ideia – como fazem aqueles que, de modo muito entusiástico, saúdam um “Marx desconhecido” após cada novo texto que pela primeira vez surge – de que a pesquisa recente virou do avesso tudo aquilo que já se conhecia sobre ele. O que a MEGA2 fornece é, antes, a base textual para repensar um Marx diferente: diferente não porque a luta de classes abandona seu pensamento (como alguns acadêmicos desejariam, em uma variação do antigo bordão do “Marx economista” contra o “Marx político” que busca, em vão, apresentá-lo como um clássico inócuo); mas radicalmente diferente do autor que foi dogmaticamente convertido em fons et origo [fonte e origem] do “socialismo realmente existente” e supostamente fixado apenas no conflito classista.

Os novos avanços alcançados no âmbito dos estudos marxianos sugerem que a exegese da obra de Marx está novamente se tornando, assim como muitas outras vezes no passado, cada vez mais refinada. Por muito tempo, vários marxistas colocaram os escritos do jovem Marx em primeiro plano, principalmente os Manuscritos econômico-filosóficos de 1844 e A ideologia alemã, enquanto o Manifesto do partido comunista permanecia seu texto mais amplamente lido e citado. Naqueles primeiros escritos, no entanto, são encontradas muitas ideias que foram suplantadas em sua obra tardia. Por muito tempo, a dificuldade em examinar a pesquisa de Marx realizada nas duas últimas décadas de sua vida obstruiu nosso conhecimento acerca de importantes ganhos que ele obteve. Mas é sobretudo em O capital e seus esboços preliminares, bem como nas pesquisas de seus últimos anos, que encontramos as reflexões mais preciosas sobre a crítica da sociedade burguesa. Elas representam as últimas conclusões a que Marx chegou, embora não as definitivas. Se examinadas criticamente à luz das mudanças que o mundo sofreu desde a sua morte, elas ainda podem se mostrar úteis à tarefa de teorizar, após os fracassos do século XX, um modelo socioeconômico alternativo ao capitalismo.

A edição MEGA2 tem desmentido todas as alegações de que Marx seja um pensador sobre quem tudo já foi escrito e dito. Ainda há muito para se aprender com Marx. Hoje, é possível fazer isso estudando não apenas aquilo que ele escreveu em seus trabalhos publicados, mas estudando também as questões e dúvidas contidas em seus manuscritos inacabados.

 

Referências bibliográficas

ALTHUSSER, L. For Marx. London: Verso, [sem data no original].

LEFEBVRE, H. Dialectical Materialism, London: Cape Editions, 1968.

MARX, K. “Marx’s Economic Manuscript of 1867-68 (Excerpt)”, Historical Materialism, vol. 27, n. 4, 2019, p. 162-192.

MCLELLAN, D. Karl Marx, London: Fontana, 1975.

MOSELEY, F. (ed.). Marx’s Economic Manuscript of 1864-1865, Leiden: Brill, 2015.

MUSTO, M. (ed.). The Marx Revival: Essential Concepts and New Interpretations. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.

MUSTO, M. The Last Years of Karl Marx: An Intellectual Biography. Stanford: Stanford University Press, 2020a.

MUSTO, M. O velho Marx: uma biografia de seus últimos anos (1881-1883). Trad. Rubens Enderle. São Paulo: Boitempo, 2018.

MUSTO, M. (ed.), Workers Unite! The International 150 Years Later, New York: Bloomsbury, 2014.

MUSTO, M. (org.). Trabalhadores, uni-vos!: antologia política da I Internacional. Trad, Rubens Enderle. São Paulo: Boitempo, 2014a.

MUSTO, M. “The Rediscovery of Karl Marx”. International Review of Social History, vol. 52, n. 3, 2007, p. 477-498.

RUBEL, M. Marx Life and Works, London: Macmillan, 1980.

SAITO, K. Karl Marx’s Ecosocialism: Capital, Nature and the Unfinished Critique of Political Economy. New York: Monthly Review Press, 2017.

SMITH, D. Marx’s World: Global Society and Capital Accumulation in Marx’s Late Manuscripts. New Haven: Yale University Press, no prelo.

 

Resumo

O artigo apresenta as novas descobertas e possibilidades de interpretações da obra de Marx a partir da retomada da publicação da MEGA2. Argumenta que a nova edição histórico-crítica não revela um Marx desconhecido, mas indica a existência de facetas diferentes em sua obra. O exame das notas e do material não publicado por Marx permite chamar a atenção para seu interesse naquilo que hoje denominamos ecologia e para aspectos de sua crítica à sociedade burguesa que podem nos auxiliar no desenvolvimento de uma perspectiva anticapitalista própria ao século XXI.

Palavras-chave: MEGA2, Marx, materialismo histórico, Internacional

 

Abstract

The article presents the new discoveries and possibilities of interpretations of Marx’s work from the resumption of the publication of MEGA2. He argues that the new historical-critical edition does not reveal an unknown Marx, but indicates the existence of different facets in his work. The examination of notes and material not published by Marx himself allows to draw attention to his interest in what we now call ecology and to aspects of his criticism of bourgeois society that can assist us in the development of an anti-capitalist perspective proper to the 21st century.

Keywords: MEGA2, Marx, historical materialism, International

[1] Os tomos II/4.1 e II/4.2 foram publicados antes da interrupção da MEGA2, enquanto o II/4.3 saiu em 2012. Esse livro em três partes leva a 67 o número total de volumes da MEGA2 publicados desde 1975. No futuro, alguns dos demais volumes serão publicados apenas na forma digital. NT: Os tomos II/4.1 e II/4.2 da MEGA2 se referem aos Manuscritos Econômicos de 1863-1867; o II/4.3, por sua vez, aumenta o recorte temporal anterior em um ano e apresenta os Manuscritos Econômicos de 1863-1868.

[2] A publicação do volume IV/32 da MEGA2, Karl Marx – Friedrich Engels, Die Bibliotheken von Karl Marx und Friedrich Engels, editado por Hans-Peter Harstick, Richard Sperl e Hanno Strauß, Akademie, Berlin, 1999, foi de particular relevância para o conhecimento do conteúdo da biblioteca de Marx. Ela consiste em um index de 1.450 livros (em 2.100 tomos) – dois terços dos quais pertencentes a Marx e Engels. Essa compilação indica todas as páginas de cada volume nas quais Marx e Engels deixaram anotações e marginálias.

[3] Para uma resenha de todos os 13 volumes da MEGA2 publicados de 1998 – o ano da retomada dessa edição – até 2007, cf.  Musto (2007). Essa resenha crítica cobre os 15 volumes – que somam o total de 20.508 páginas – publicados entre 2008 e 2019.

[4] Karl Marx, “Marx’s Undertaking Not to Publish Anything in Belgium on Current Politics”, Marx-Engels Collected Works [doravante MECW], vol. 4, p. 677. N.T. Para facilitar a leitura, todas as referências a publicações extraídas da MECW e da MEGA2 serão feitas em nota de rodapé.

[5] Karl Marx, “Declaration against Karl Grün”, MECW, vol. 6, p. 72.

[6] Karl Marx para Carl Wilhelm Julius Leske, 1 de agosto de 1846, MECW, vol. 38, p. 50.

[7] Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy, MECW, vol. 26, p. 519. Na verdade, Engels já usara essa expressão em 1859 em sua resenha de Para a crítica da economia política de Marx, mas o artigo não teve ressonância e o termo só começou a circular após a publicação de seu Ludwig Feuerbach.

[8] MEGA2, vol. I/5, editado por Ulrich Pagel, Gerald Hubmann e Christine Weckwerth, Berlim: De Gruyter, 2017, p. 1.893.

[9] Alguns anos antes da publicação do volume I/5 da MEGA2 e com base na edição alemã de Karl Marx, Friedrich Engels, Joseph Weydemeyer, Die Deutsche Ideologie. Artikel, Druckvorlagen, Entwürfe, Reinschriftenfragmente und Notizen zu ”I. Feuerbach” und “II Sankt Bruno”, que apareceu como uma edição especial do periódico Marx-Engels Jahrbuch em 2003, Terrell Carver e Daniel Blank forneceram uma nova edição no idioma inglês do assim chamado “Capítulo sobre Feuerbach”: Marx and Engels’s “German Ideology” Manuscripts: Presentation and Analysis of the “Feuerbach Chapter”, New York: Palgrave, 2014. Os dois autores defenderam a fidelidade máxima aos originais, criticando, além disso, a edição do Marx-Engels Jahrbuch (agora incorporada ao volume I/5) pelo fato de que ela, alinhada com antigos editores do século XX, organizara os distintos manuscritos como se eles formassem o esboço de uma obra totalmente coesa, ainda que nunca completada.

[10] Karl Marx – Friedrich Engels, The German Ideology, MECW, vol. 5, p. 28.

[11] Karl Marx – Friedrich Engels, Exzerpte und Notizen Juli bis August 1845, MEGA2, vol. IV/4, editado pelo Instituto de Marxismo-Leninismo, Berlim: Dietz, 1988.

[12] MEGA2, vol. IV/5, editado por Georgij Bagaturija, Timm Graßmann, Aleksandr Syrov and Ljudmila Vasina, Berlim: De Gruyter, 2015, p. 650.

[13] MEGA2, vol. I/7, editado por Jürgen Herren and François Melis, Berlim: De Gruyter, 2016, p. 1.774.

[14] Karl Marx, “The Bourgeoisie and the Counter-Revolution”, MECW, vol. 8, p. 178.

[15] Karl Marx, The Class Struggles in France, 1848 to 1850, MECW, vol. 10, p. 134.

[16] MEGA2, I/16, editado por Claudia Rechel e Hanno Strauß, Berlim: De Gruyter, 2018, p. 1.181.

[17] MEGA2, vol. IV/14, editado por Kenji Mori, Rolf Hecker, Izumi Omura e Atsushi Tamaoka, Berlim: De Gruyter, 2017, p. 680.

[18] Karl Marx a Friedrich Engels, 18 de dezembro de 1857, MECW, vol. 40, p. 224.

[19] Karl Marx a Friedrich Engels, 16 de janeiro de 1858, MECW, vol. 40, p. 249.

[20] MEGA2, vol. III/12, editado por Galina Golovina, Tat’jana Gioeva e Rolf Dlubek, Berlim: Akademie, 2013, p. 1.529.

[21] Karl Marx, Theories of Surplus-Value, vol. I, MECW, vol. 30, p. 348.

[22] Karl Marx a Friedrich Engels, 18 de junho de 1862, MECW, vol. 41, p. 380.

[23] Karl Marx a Friedrich Engels, 10 de setembro de 1862, MECW, vol. 41, p. 417.

[24] Karl Marx a Ludwig Kugelmann, 28 de dezembro de 1862, MECW, vol. 41, p. 436.

[25] MEGA2, vol. II/11, editado por Teinosuke Otani, Ljudmila Vasina e Carl-Erich Vollgraf, Berlim: Akademie, 2008, p. 1.850.

[26] MEGA22, vol. II/13, Berlim: Akademie, 2008, p. 800.

[27] MEGA2, vol. II/4.3, editado por Carl-Erich Vollgraf, Berlim: Akademie, 2012, p. 1.065. Uma pequena parte desse texto foi traduzida recentemente para o inglês: Marx (2019).

[28] O volume II/4.2 foi traduzido recentemente para o inglês em Moseley (2015).

[29] Veja Carl-Erich Vollgraf, “Einführung”, em MEGA2, vol. II/4.3, cit., p. 421-74.

[30] MEGA2, vol. I/21, editado por Jürgen Herres, Berlim: Akademie, 2009, p. 2.432.

[31] Algumas delas – como os discursos e resoluções apresentados nos congressos da Internacional – foram, em vez disso, incluídas em uma antologia publicada por ocasião do 150° aniversário dessa organização:  cf. Musto (2014).

[32] Karl Marx, “Confidential Communication”, MECW, vol. 21, p. 120.

[33] Ibid.

[34] MEGA2, vol. IV/18, editado por Teinosuke Otani, Kohei Saito e Timm Graßmann, Berlim: De Gruyter, 2019, p. 1.294.

[35] Karl Marx a Friedrich Engels, 25 de março de 1868, MECW, vol. 42, p. 557.

[36] Ibid., p. 558-559.

[37] Sobre essas questões, veja também o trabalho de um dos editores do volume IV/8 da MEGA2: Saito (2017).

[38] MEGA2, vol. IV/26, editado por Anneliese Griese, Peter Krüger e Richard Sperl, Berlim: Akademie, 2011, p. 1.104.

[39] Ibid., p. 139-679.

[40] Friedrich Engels, “Marx, Heinrich Karl”, MECW, vol. 27, p. 341. O grande interesse de Marx nas ciências naturais, interesse esse que ficou praticamente desconhecido por muito tempo, é evidente também no volume IV/31 da MEGA2, a saber, Karl Marx – Friedrich Engels. Naturwissenschaftliche Exzerpte und Notizen. Mitte 1877 bis Anfang 1883, editado por Annalise Griese, Friederun Fessen, Peter Jäckel e Gerd Pawelzig, Berlim: Akademie, 1999, que apresenta as notas sobre química orgânica e inorgânica tomadas por Marx após 1877.

[41] Veja Musto (2020). Um marco importante para esse tema será a publicação do livro editado por David Smith, pela Yale University Press em 2021, “Marx’s World: Global Society and Capital Accumulation in Marx’s Late Manuscripts”.

[42] MEGA2, vol. I/30, editado por Renate Merkel-Melis, Berlim: Akademie, 2011, p. 1.154.

[43] MEGA2, vol. III/30, editado por Gerd Callesen e Svetlana Gavril’čenko, Berlim: Akademie, 2013, p. 1.512.

[44] MEGA2, vol. I/32, editado por Peer Kösling, Berlim: Akademie, 2010, p. 1.590.

[45] MEGA2, vol. I/32, editado por Peer Kösling, Berlim: Akademie, 2010, p. 1.590.