TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Pengkaji ulung sosiologi pasti tak asing dengan nama Marcello Musto. Ia adalah Profesor Sosiologi York University, Toronto, Kanada.
Bagi Etienne Balibar, Filsuf Kontemporer Prancis Musto adalah pemikir besar yang berkontribusi pada pengkajian kehidupan Marx.
Selama 25 tahun, dirinya bersenggama dengan Marx.
Perjumpaan awal saya dengan beliau melalui dua bukunya Another Marx: Early Manuscripts to the International (2018) dan The Last Years of Karl Marx: An Intellectual Biography (2020). Perjumpaan itu terjadi pada awal tahun ini.
Kemudian kedua adalah perjumpaan langsung. Dalam perjumpaan ini, saya tentu berterima kasih dengan Ronny Agustinus (Pendiri Marjin Kiri) karena telah menghubungkan kami, sehingga pada 21 Juli 2023, Universitas Sawerigading menjadi kampus yang berkesan bagi Musto.
Dari kedua perjumpaan itu saya mampu memahami Marx dengan arah intelektual lain yang tidak hanya berbicara persoalan perjuangan kelas, determinasi ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Eropa.
Melainkan berbicara tentang kolonialisme, antropologi, gender, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, kondisi Rusia, bahkan tentang masyarakat Muslim (Arab).
Studi Marx dengan beberapa topik itu dapat ditemui pada rentan tahun 1879-1882 atau 3 tahun terakhir dari hidup Marx melalui buku-buku, catatan-catatan, dan surat-suratnya, baik yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi.
Tentang Kolonialisme
Studi Marx tentang kolonialisme berkutat pada tahun 1879-1881.
Kajiannya meliputi kolonialisasi Spanyol di Amerika Latin, Inggris di India, dan Prancis di Aljazair.
Marx melihat bahwa bentuk kolonialisasi tersebut dilakukan atas kepentingan penguasaan tanah penduduk setempat.
Bagi Marx, bentuk pendudukan tersebut sangat beragam. Spanyol, misalnya, langkah pertama adalah menaklukkan orang indian (Redskins) dan selanjutnya mempekerjakan mereka untuk mengeruk emas di tanahnya sendiri.
Di India, masyarakat kolektif tetap diberikan kebebasan untuk mengelolah tanahnya, tetapi kepemlikan tersebut diatur melalui regulasi Inggris, seperti pembayaran sewa atas tanahnya sendiri.
Kemudian di Aljazair, langkah utama yang ditempuh oleh Prancis adalah melemahkan kolektivitas masyarakat. kedua, mengalihkan tanah mereka menjadi objek perdagangan bebas melalui regulasi dan mengoversinya menjadi tanah pemerintah.
Dari ketiga lokasi geografis tersebut, Marx lebih condong membahas persoalan India melalui bukunya Notebooks on Indian History (664-1858) yang disusun pada 1879-1880. Dan dari India, Marx dalam suratnya kepada Nikolai Danielson pada Februari 1881 melihat bahwa persoalan yang disebabkan oleh Inggris, justru melahirkan kolektivitas kuat (antara hindu dan muslim) di India untuk melawannya.
Ketiga lokasi geografis itu, sama sekali belum terjamah oleh kapitalisme Eropa, sehingga sangat memungkinkan revolusi terjadi tanpa kehadiran kapitalisme.
Namun, ramalan kaum Marxis generasi justru melihatnya sangat mekanik dan bertahap. Pandangan ini dikutuk oleh Marx.
Menolak Historisisme: Marx Melampaui Zaman Post?
Dalam studi Antropologi Marx, melalui buku The Ethnological Notebooks, Ia mengkritik dengan lantang para antropolog dan etnolog abad 19 dan yang mendaku sebagai Marxis.
Bagi Marx, tatapan mereka terhadap sejarah sangat kaku dan mekanis, mereka seolah-olah menjadikan dunia kapitalis sebagai tujuan yang seragam.
Mereka menggap bahwa sejarah memiliki rentetan tahapan yang tak terhindarkan. Bagi Marx, pandangan seperti ini justru melahirkan kenaifan dan kepasifan. Hal tersebut justru melemahkan gerakan sosial dan politik masyarakat.
Marx dengan tegas menolak seruan historisisme satu arah dan dirinya justru mempertahankan pandangannya bahwa sejarah berlaku fleksibel dan plural.
Dalam posisi ini, Marx kemudian berupaya mendekonstruksi sejarah yang kompleks dari perjalanan zaman primitif hingga kapitalisme. Bahwa kehadiran kapitalisme sebagai tahapan belum tentu hadir di belahan dunia lain.
Pandangan Marx yang seperti itu mengingatkan saya dengan Michel Foucault Filsuf Poststrukturalisme, yang melihat sejarah secara diskontinuitas. Sebab, setiap sejarah memiliki pengetahuan dan rezim kekuasannya masing-masing.
Selain itu, Marx juga menolak adanya hubungan yang mapan (pasti) antara perubahan sosial dengan transformasi ekonomi saja.
Menurut Musto, Marx pada saat itu melepaskan dirinya dari jebakan determinisme ekonomi.
Pandangan itu, mengingatkan saya dengan Antonio Gramsci—sebagai postmarxisme, yang menolak determinisme sturkutur ekonomi dalam mengubah sejarah manusia.
Selain ini, ketika saya berdiskusi dengan Musto, Ia mengatkan bahwa konsep yang digagas oleh Baudrillard soal ekonomi tanda, juga ada di zaman Marx.
Menurutnya, saat itu Marx melihat bahwa mayoritas masyarakat tidak lagi membeli produk karena nilai guna dan nilai tukarnya, tetapi nilai tanda yang melekat pada produk tersebut.
Dari fakta-fakta tersebut, saya menyimpulkan, Marx melampaui zamannya.
Marx di Aljazair: Mengagumi Hubungan Sosial Umat Muslim
Banyak yang mengatakan bahwa Marx sangat membenci agama. Namun, pandangan itu dinegasi melalui perjalanan Marx di Aljazair pada tahun 1882.
Perjalanan itu memiliki dua tujuan: mengobati penyakit Bronkitis akutnya, dan melihat langsung realitas masyarakat muslim. Selama 72 hari Marx bermukim di tepi selatan Mediterania.
Marx melihat bahwa kepemilikan kolektif sangat kuat di kalangan orang-orang arab, pembawaannya yang rendah hati, dan kesetaraan mutlak di antara mereka.
Dalam surat menyuratnya dengan Engels pada 22-25 Februari 1882, Marx mengagumi konsep masyarakat kaum muslim, “Bagi Kaum Muslim tidak ada yang namanya subordinasi, mereka bukan subjek atau warga negara, tidak ada otoritas kecuali dalam politik, sesuatu yang gagal dipahami oleh orang Eropa”.
Marx dalam hal ini justru menyerang pandangan orang-orang Eropa yang sangat angkuh di hadapan kaum Muslim.
Ketika saya berdiskusi dengan Musto, Ia lebih tegas mengatakan bahwa Marx sebenarnya tidak membenci agama. Ia berupaya agar agama tidak dijadikan sebagai sebagai opium, dan biarlah agama menjadi hal privat bagi seseorang.
Objek kritik dari Marx adalah ketika masyarakat sangat konservatif dengan agamanya. Marx berharap agama menjadi alat yang sangat progresif, sebagaiaman yang terjadi di Aljazair.
Sejalan dengan harapan Marx dalam bukunya A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843), masyarakat yang beragama seharusnya menjadikan kritik surga menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik. Inilah harapan Marx.
Dan Aljazair menjadi perjalanan terakhir Marx. Subhanallah! (*)
Marcello
Musto