I. Komunisme sebagai Perserikatan Merdeka
DALAM Kapital, Volume I, Marx berargumen bahwa kapitalisme adalah suatu moda produksi sosial yang ‘terdeterminasi secara historis’, di mana produk kerja ditransformasikan menjadi komoditas, dengan akibat bahwa individu-individu hanya dinilai sebagai produsen, dan keberadaan manusia ditundukkan pada kegiatan ‘produksi komoditas’.
Karenanya, ‘proses produksi’ telah ‘menguasai manusia, bukannya dikontrol olehnya’. Kapital ‘tidak peduli sama sekali pada panjangnya kehidupan buruh’ dan tidak menganggap penting peningkatan kondisi kehidupan kaum proletar. Kapital ‘mencapai tujuan ini dengan memperpendek usia buruh, seperti halnya petani yang serakah mengambil lebih banyak hasil panen dari tanah dengan mencuri kesuburannya’.
Dalam Grundrisse, Marx menyebut bahwa dalam kapitalisme, ‘karena tujuan kerja bukanlah untuk menghasilkan produk tertentu [dalam hubungan dengan] kebutuhan-kebutuhan spesifik individu, melainkan untuk mendapatkan uang […], kerja keras individu tidak ada batasannya’. Dalam masyarakat yang demikian, ‘seluruh waktu seseorang menjadi waktu kerja, dan konsekuensinya ia dijadikan sebagai buruh, ditundukkan untuk bekerja’. Namun ideologi borjuis mempresentasikan kenyataan ini seolah-olah individu-individu yang ada menikmati kebebasan lebih dan dilindungi oleh norma-norma legal yang bersifat adil dan sanggup untuk menjamin keadilan dan kesetaraan. Secara paradoks, meski faktanya perekonomian telah berkembang hingga level tertentu dan memampukan masyarakat untuk hidup dalam kondisi yang lebih baik dibanding sebelumnya, ‘mesin paling canggih ini sekarang memaksa buruh untuk bekerja lebih lama, dibanding ketika ia masih menggunakan peralatan-peralatan sederhana’.
Sebagai kontras, visi Marx tentang komunisme adalah ‘perserikatan individu-individu merdeka, yang bekerja dengan menggunakan alat-alat produksi yang dimiliki bersama, dan mengerahkan tenaga kerjanya dengan kesadaran penuh sebagai satu kekuatan kerja sosial’. Definisi-definisi serupa juga muncul dalam banyak tulisan Marx. Dalam Grundrisse, ia menulis bahwa masyarakat pasca-kapitalis akan dibangun atas ‘produksi kolektif’.
Dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi tahun 1863-1867, ia berbicara tentang ‘transisi dari moda produksi kapitalis menuju moda produksi perserikatan buruh’. Dan dalam Kritik Program Gotha, ia mendefinisikan organisasi sosial yang ‘berdasarkan pada kepemilikan bersama alat-alat produksi’ sebagai ‘masyarakat kooperatif’.
Dalam Kapital, Volume I, Marx menjelaskan bahwa ‘prinsip utama’ dari ‘bentuk masyarakat yang lebih tinggi’ ini adalah ‘perkembangan penuh dan merdeka dari setiap individu’. Dalam Perang Saudara di Perancis, ia mengekspresikan persetujuannya atas langkah-langkah yang diambil oleh pada anggota komune, yang ‘menunjukkan tendensi pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat’. Lebih tepatnya, dalam evaluasi Marx tentang reformasi politiknya Komune Paris, ia menegaskan bahwa ‘pemerintahan terpusatnya tatanan lama pun juga harus membuka jalan bagi pemerintahan mandiri para produsen di provinsi-provinsi’. Ekspresi ini terulang dalam ‘Diskusi tentang Statism and Anarchy karya Bakunin’, di mana ia mengatakan bahwa perubahan sosial yang radikal akan ‘dimulai dengan pemerintahan mandiri komunitas-komunitas’. Ide Marx tentang masyarakat, karenanya, adalah antitesis dari sistem-sistem totaliter yang lahir atas namanya pada abad keduapuluh. Tulisan-tulisannya bermanfaat untuk memahami bukan hanya bagaimana kapitalisme bekerja, tetapi juga kegagalan eksperimen-eksperimen sosialis hingga hari ini.
II. Kebohongan-Kebohongan Pasar
Dengan mengacu pada apa yang disebut persaingan bebas, atau posisi pekerja dengan kapitalis yang kelihatannya setara dalam pasar masyarakat borjuis, Marx menyebut bahwa kenyataan yang ada sangatlah berkebalikan dengan apa yang digambarkan oleh para pembela kapitalisme sebagai kebebasan manusia. Sistem ini menjadi penghalang besar bagi demokrasi, dan ia menunjukkan dengan lebih baik daripada siapapun juga bahwa para pekerja tidak menerima upah setara dengan apa yang mereka hasilkan. Dalam Grundrisse, ia menjelaskan bahwa apa yang dipresentasikan sebagai ‘pertukaran setara’ sesungguhnya adalah apropriasi ‘waktu kerja tanpa pertukaran’; hubungan pertukaran ‘sepenuhnya lenyap’, atau menjadi ‘penampakan semata’. Hubungan antara orang per orang ‘hanyalah dimotivasikan oleh kepentingan diri’. ‘Konflik antar individu’ ini telah diabaikan dan dianggap sebagai ‘bentuk absolut kebebasan individu dalam ranah produksi dan pertukaran’. Tetapi bagi Marx, ‘tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran’, karena ‘dalam kompetisi bebas, kapital-lah yang dibebaskan, bukan individu-individu’. Dalam Manuskrip-Manuskrip Ekonomi tahun 1863-1867, ia mengutuk fakta bahwa ‘kerja lebih itu dikantongi, atas nama masyarakat, oleh kapitalis’ – kerja lebih yang adalah ‘basis dari waktu bebas masyarakat’, dan karenanya, ‘basis material dari seluruh perkembangan dan peradabannya secara umum’. Dan dalam Kapital, Volume I, ia menunjukkan bahwa kekayaan kaum borjuis hanyalah dimungkinkan ‘dengan mengkonversikan seluruh waktu hidup massa rakyat menjadi waktu kerja’.
Dalam Grundrisse, Marx mengamati bahwa dalam kapitalisme, ‘individu-individu ditundukkan pada produksi sosial’, yang ‘hadir di luar diri mereka dan menjadi nasib bagi mereka’. Ini terjadi hanya melalui penyematan nilai-tukar pada hasil produksi, yang pembelian dan penjualannya terjadi setelah proses tersebut (post festum). Lebih jauh lagi, ‘seluruh kekuatan sosial produksi’ – termasuk penemuan-penemuan saintifik, yang nampak ‘asing dan eksternal’ bagi pekerja – diposisikan oleh kapital. Perserikatan para pekerja, dalam tempat-tempat dan kegiatan produksi, ‘dioperasikan oleh kapital’ dan karenanya ‘hanya bersifat formal’. Penggunaan barang-barang yang diciptakan oleh para pekerja ‘tidak dimediasi oleh pertukaran antara pekerja-pekerja independen atau produk-produk buruh’, melainkan ‘oleh keadaan-keadaan produksi sosial di mana individu menjalankan aktivitasnya’. Marx menjelaskan bagaimana aktivitas produksi di pabrik ‘berurusan dengan produk buruh semata, bukan para buruh sendiri’, karena ia ‘dibatasi pada tempat kerja umum di bawah pengarahan pengawas, kontrol ketat, disiplin, konsistensi, dan kebergantungan pada kapital dalam produksi itu sendiri’.
Dalam masyarakat komunis, secara kontras, produksi akan ‘langsung menjadi sosial’, ‘buah dari perserikatan yang mendistribusikan kerjanya secara internal’. Ia akan dikelola oleh individu-individu sebagai ‘kekayaan bersama’. ‘Karakter sosial produksi’ akan ‘sedari awal menjadikan produknya komunal dan umum’; karakter perserikatannya akan ‘menjadi dasar’ dan ‘kerja individu […] akan menjadi kerja sosial’. Sebagaimana ditekankan oleh Marx dalam Kritik Program Gotha, dalam masyarakat pasca-kapitalis, ‘kerja individu bukan lagi secara tidak langsung menjadi komponen dari kerja secara keseluruhan, melainkan secara langsung’. Sebagai tambahan, para pekerja akan mampu menciptakan kondisi-kondisi yang pada akhirnya akan melenyapkan ‘penundukan yang memperbudak atas individu pada pembagian kerja’.
III. Produksi Sosialis dan Pertanyaan Ekologis
Dalam Kapital, Volume I, Marx menekankan bahwa dalam masyarakat borjuis ‘buruh ada untuk proses produksi, bukan proses produksi untuk buruh’. Lebih-lebih, paralel dengan eksploitasi buruh, berkembang pula eksploitasi lingkungan. Kontras dengan penafsiran-penafsiran yang mereduksi konsepsi Marx tentang masyarakat komunis pada perkembangan kekuatan produksi belaka, ia menunjukkan minat besar pada apa yang kita kini sebut sebagai pertanyaan ekologis. Ia secara berulang kali mengutuk fakta bahwa ‘semua kemajuan dalam pertanian kapitalis adalah kemajuan dalam seni untuk bukan hanya merampok pekerja, tetapi juga merampok tanah’.
Dalam komunisme, kondisi-kondisi akan tercipta untuk pembentukan ‘kooperasi terencana’, yang melaluinya pekerja ‘melucuti belenggu individualitasnya dan mengembangkan kapabilitas spesiesnya’. Dalam Kapital, Volume II, Marx menunjukkan bahwa masyarakat kemudian akan berada dalam posisi untuk ‘mengenali di muka berapa banyak kerja, alat produksi, dan sarana mencukupi kebutuhan hidup yang dapat dikeluarkan, tanpa berdampak pada dislokasi’, tidak seperti dalam kapitalisme ‘di mana rasionalitas sosial hanya menegaskan diri belakangan (post festum)’ dan ‘gangguan-gangguan besar dapat dan harus terjadi secara konstan’. Dalam beberapa bagian Kapital, Volume III, Marx juga mengklarifikasi perbedaan-perbedaan antara moda produksi sosialis dengan moda produksi berbasis pasar, mengantisipasi kelahiran masyarakat ‘yang diorganisir sebagai perserikatan yang sadar’. Ia juga menambahkan: ‘hanya di mana produksi berlangsung di bawah kontrol dan penentuan masyarakatlah, masyarakat itu sendiri menetapkan hubungan antara jumlah waktu kerja sosial yang diaplikasikan untuk menghasilkan produksi dalam jumlah tertentu, dengan jumlah kebutuhan sosial yang hendak dipuaskan’.
Akhirnya, dalam catatan kecilnya tentang Traktat tentang Ekonomi Politik dari Adolf Wagner, Marx menjelaskan bahwa dalam masyarakat komunis ‘volume produksi’ akan ‘diregulasi secara rasional’. Ini memungkinkan dihapuskannya pemborosan karena ‘sistem kompetisi yang anarkis’, yang lewat krisis-krisis strukturalnya yang berulang, bukan hanya melibatkan ‘pemborosan luar biasa tenaga kerja dan sarana produksi sosial’, tetapi juga tak mampu menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang pada dasarnya berakar dari ‘penggunaan mesin ala kapitalis’.
Berlawanan dengan pandangan banyak pemikir sosialis di masa Marx, redistribusi barang konsumsi tidaklah cukup untuk membalikkan keadaan ini. Perubahan pada akar dan batang dari aset-aset produktif masyarakat haruslah dilakukan. Maka dalam Grundrisse, Marx mencatat bahwa ‘membiarkan sistem upah dan pada saat yang sama menghapuskan kapital [adalah] tuntutan yang kontradiktif dan menegasikan dirinya sendiri’. Apa yang diperlukan adalah ‘penghapusan moda produksi ini dan bentuk masyarakat yang didasarkan pada nilai tukar’. Dalam pesannya yang diterbitkan dalam Nilai, Harga dan Profit, ia memanggil para pekerja untuk tidak ‘menuliskan pada bendera’ mereka ‘motto konservatif: ‘Upah harian yang layak untuk kerja harian yang layak!’ [tetapi] slogan revolusioner: ‘Penghapusan sistem perupahan!’
Lebih jauh lagi, Kritik Program Gotha dengan tepat menunjukkan bahwa dalam moda produksi kapitalis, ‘kondisi-kondisi material produksi ada di tangan non-pekerja dalam bentuk kapital dan kepemilikan tanah, sementara massa rakyat hanyalah pemilik syarat produksi yang personal, yakni tenaga kerja’. Karenanya, adalah esensial untuk menjungkirbalikkan relasi kepemilikan yang mendasari moda produksi borjuis. Dalam Grundrisse, Marx menyebut bahwa ‘hukum-hukum kepemilikan pribadi – kemerdekaan, kesetaraan, kepemilikan – kepemilikan atas kerja sendiri dan kemampuan untuk menyerahkannya secara bebas – dibalik menjadi ketakbermilikan pekerja dan alienasi kerjanya, relasi dengan hasil kerjanya sebagai properti asing dan sebaliknya’. Dan pada tahun 1989, dalam laporan pada Dewan Umum Perserikatan Pekerja Internasional, ia menegaskan bahwa ‘kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi’ memberikan pada kelas borjuis ‘kekuatan untuk hidup tanpa bekerja, dari kerja orang lain’. Ia mengulangi poin ini dalam tulisan politik pendek lainnya, ‘Pendahuluan untuk Program Partai Pekerja Perancis’, dengan menambahkan bahwa ‘para produsen tidak mungkin merdeka kecuali mereka memiliki alat-alat produksi’ dan bahwa tujuan perjuangan proletar haruslah ‘mengembalikan seluruh alat produksi ke dalam kepemilikan kolektif’.
Dalam Kapital, Volume III, Marx mengamati bahwa ketika para pekerja telah menegakkan moda produksi komunis ‘kepemilikan pribadi atas bumi oleh individu-individu tunggal [akan] tampak sama absurdnya seperti halnya kepemilikan pribadi satu orang oleh orang lain’. Ia mengarahkan kritiknya yang paling radikal terhadap kepemilikan paling destruktif yang inheren dalam kapitalisme, dengan menekankan bahwa ‘bahkan seluruh masyarakat, bangsa, atau bahkan seluruh masyarakat yang ada yang digabungkan secara simultan, bukanlah pemilik bumi’. Bagi Marx, manusia ‘hanyalah penghuninya, penggunanya, dan mereka harus meninggalkannya [planet bumi] dalam keadaan yang lebih baik untuk generasi-generasi selanjutnya, seperti kepala keluarga yang baik’.
Marcello
Musto