TAHUN-TAHUN terakhir kehidupan Karl Marx seringkali diabaikan karena dianggap sebagai periode kemunduran fisik dan intelektual. Namun sejatinya, pemikiran Marx tetaplah hidup hingga akhir hayat karena tanggapan-tanggapannya atas berbagai persoalan politik masih relevan bagi kita hingga hari ini.
Pemikiran Marx tua adalah tema dari karya Marcello Musto yang baru terbit, The Last Years of Karl Marx. Di dalam buku itu, Musto dengan handal merajut detail biografis yang kaya pembacaan seksama atas tulisan-tulisan Marx tua yang seringkali diliputi nada keraguan. Editor Jacobin, Nicolas Allen, bercakap-cakap dengan Musto mengenai kompleksitas studi atas tahun-tahun terakhir kehidupan Marx, tentang mengapa keraguan-keraguan Marx tua lebih bermanfaat bagi kita hari ini alih-alih klaim-klaim penuh keyakinan yang ia buat semasa muda. Wawancara ini adalah bagian pertama. Bagian kedua bisa dilihat di sini.
Nicolas Allen: Khususnya tiga tahun terakhir kehidupan Marx pada 1880-an, “Marx tua” yang menjadi tema tulisan anda, seringkali diabaikan oleh kaum Marxis dan ahli Marx. Selain fakta bahwa Marx tidak menerbitkan karya besar pada tahun-tahun itu, menurut Anda mengapa perhatian pada periode tersebut terbilang kurang?
Marcello Musto: Semua biografi intelektual Marx yang terbit hingga hari ini sedikit sekali menyoroti dekade terakhir kehidupannya; umumnya mereka hanya menyuguhkan beberapa halaman tentang aktivitas Marx setelah bubarnya International Working Men’s Association pada 1872. Bukan kebetulan kalau para peneliti ini hampir selalu menggunakan sebutan “dekade terakhir” untuk bagian yang sangat pendek dalam buku-buku mereka ini. Keterbatasan ini bisa dimaklumi untuk para penulis seperti Franz Mehring (1846-1919), Karl Vorländer (1860-1928), dan David Ryazanov (1870-1938), yang menulis biografi Marx pada masa antara dua perang dunia, dan hanya bisa fokus ke sejumlah naskah yang belum diterbitkan. Namun, masalahnya lebih kompleks bagi karya-karya yang muncul setelah masa pergolakan tersebut.
Dua tulisan Marx yang paling dikenal – Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan The German Ideology (1845-46), keduanya sama-sama belum dituntaskan – diterbitkan pada 1932 dan mulai beredar pada paruh kedua 1940-an. Mengingat Perang Dunia II menerbitkan perasaan cemas akibat kebrutalan Nazi sehingga aliran-aliran filsafat seperti eksistensialisme meraup popularitas, maka tema tentang kondisi individu dalam masyarakat pun naik ke permukaan. Ini menciptakan kondisi sempurna bagi naiknya minat terhadap ide-ide filosofis Marx, seperti keterasingan dan hakikat manusia. Sama seperti kebanyakan karya yang lahir dari dunia akademik, biografi-biografi Marx yang terbit dalam periode ini mencerminkan semangat zamannya (Zeitgeist) dan memberi penekanan pada tulisan-tulisan Marx sewaktu muda. Banyak buku dari 1960-an dan 1970-an yang mengklaim isinya sebagai pengantar pemikiran Marx secara keseluruhan, namun sejatinya cuma fokus pada periode 1843-1848, zaman ketika Marx baru berusia tiga puluh tahun pada waktu penerbitan Manifesto of the Communist Party (1848).
Dalam konteks ini, bukan hanya dekade terakhir kehidupan Marx yang dikesampingkan, namun Capital sendiri juga digeser ke posisi sekunder. Sosiolog liberal Raymond Aron secara tepat menggambarkan sikap ini dalam buku D’une Sainte Famille à l’autre. Essais sur les marxismes imaginaires (1969). Di buku itu ia mengolok-olok betapa kaum Marxis di Paris sepintas saja membaca Capital, karya utama Marx dan hasil dari kerjanya selama bertahun-tahun. Mereka lebih terpikat pada Economic and Philosophic Manuscripts of 1844.
Kita bisa bilang bahwa mitos “Marx Muda” adalah kesalahpahaman utama dalam sejarah studi Marx. Mitos ini dipopulerkan salah satunya oleh Louis Althusser dan mereka yang menyatakan bahwa Marx muda tidak patut dianggap bagian dari Marxisme. Marx tidak menerbitkan karya apapun yang bakal ia anggap sebagai karya “utama” dalam paruh pertama tahun 1840-an. Misalnya, seseorang harus membaca pidato-pidato Marx dan resolusi-resolusinya untuk International Working Men’s Association, jika hendak memahami pemikiran politiknya, bukannya malah membaca artikel-artikel jurnal dari 1844 yang muncul di German-French Yearbook. Bahkan ketika kita menganalisis naskah-naskahnya yang belum tuntas seperti Grundrisse (1857-58) ataupun Theories of Surplus-Value (1862-63), akan tampak bahwa naskah-naskah ini lebih signifikan bagi Marx sendiri ketimbang kritik atas neo-Hegelianisme di Jerman yang “ditinggalkan untuk kritik yang seperti gigitan tikus” pada 1846. Tren untuk memberikan penekanan berlebih pada tulisan-tulisan Marx waktu muda tidak banyak berubah sejak keruntuhan Tembok Berlin. Biografi-biografi yang lebih baru juga tetap mengabaikan periode [Marx tua] ini – meski telah muncul penerbitan naskah-naskah baru Marx dalam Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA²), edisi historis-kritis dari karya lengkap Marx dan Friedrich Engels (1820-1895) yang dilanjutkan pada 1998, dan beberapa studi berboot tentang fase terakhir produksi intelektual Marx.
Alasan lain dari pengabaian ini adalah kerumitan luar biasa pada studi-studi yang dikerjakan oleh Marx di akhir hayatnya. Lebih gampang menulis tentang mahasiswa bau kencur dari kelompok Hegelian Kiri ketimbang mencoba memahami kerumitan naskah-naskah dengan ragam minat intelektual dari awal 1880-an yang ditulis dalam berbagai bahasa; inilah yang mungkin menghambat kemajuan pemahaman tentang capaian-capaian penting Marx. Terlalu banyak penulis biografi dan ahli Marx yang gagal untuk melihat lebih dalam pada apa yang sebenarnya ia kerjakan pada masa itu karena mereka secara keliru menganggap Marx tidak lagi melanjutkan kerja intelektualnya dan menggambarkan sepuluh tahun terakhir kehidupan Marx sebagai “penderitaan yang memuncak secara perlahan,”
Dalam film baru Miss Marx, ada adegan yang muncul segera setelah penguburan Marx yang menunjukkan bagaimana Engels dan Eleanor, putri bungsu Marx, membuka-buka naskah-naskah di meja kerja Marx. Engels memeriksa satu makalah dan mengomentari minat Marx tua terhadap persamaan diferensial. The Last Years of Karl Marx kelihatannya memberikan kesan bahwa pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, cakupan minat Marx lebih luas daripada sebelumnya. Apakah ada garis panduan yang menghubungkan bermacam-macam topik yang digelutinya seperti antropologi, ekologi, matematika, sejarah, gender, dan lain-lain?
Sebelum meninggal, Marx berpesan pada Eleanor untuk mengingatkan Engels agar ia “melakukan sesuatu” terhadap naskah-naskahnya yang belum tuntas. Sebagaimana yang kita tahu, selama dua belas tahun akhir kehidupan Engels sejak Marx meninggal, ia mengambilalih tugas maha berat memeriksa dan mengirim jilid II dan III Capital ke percetakan. Dua karya ini dikerjakan Marx sejak pertengahan 1860-an hingga 1881, namun gagal diselesaikan. Teks-teks lain yang ditulis oleh Engels sendiri, setelah Marx meninggal pada 1883, secara tidak langsung memenuhi permintaan Marx dan terkait erat dengan riset-riset yang ia kerjakan selama tahun-tahun terakhir kehidupannya. Misalnya, Origins of the Family, Private Property, and the State (1884) disebut-sebut oleh penulisnya sebagai “eksekusi wasiat” dan terinspirasi oleh riset Marx tentang antropologi, sebagaimana tampak dalam bagian-bagian yang ia salin pada 1881 dari Ancient Society (1877) karya Henry Morgan (1818-1881) dan komentar-komentar yang ia tambahkan pada rangkuman buku tersebut.
Tidak ada garis panduan tunggal yang dapat menjelaskan tahun-tahun terakhir penelitian Marx. Beberapa studinya semata-mata muncul dari penemuan-penemuan ilmiah terbaru (ia tak mau ketinggalan) , atau dari peristiwa-peristiwa politik yang dianggapnya penting. Sebelumnya Marx telah memahami bahwa tingkat emansipasi suatu masyarakat bergantung pada tingkat emansipasi perempuan. Namun, ia baru punya kesempatan untuk menganalisis penindasan gender dengan lebih mendalam berkat kemunculan studi-studi antropologi pada 1880-an. Dibandingkan dua dekade sebelumnya, Marx kurang mencurahkan perhatian untuk isu-isu ekologis. Namun, di sisi lain ia sekali lagi menenggelamkan diri dalam tema-tema sejarah. Di antara musim gugur 1879 dan musim panas 1880, ia mengisi buku catatan berjudul Notes on Indian History (664-1858). Sementara itu, antara musim gugur 1881 dan musim dingin 1882, ia menggarap secara intensif Chronological Extracts, pembabakan sejarah beranotasi per tahun sepanjang 550 halaman yang dikerjakan dengan tulisan tangan yang lebih kecil daripada biasanya. Catatan ini mencakup rangkuman peristiwa-peristiwa dunia dari abad pertama sebelum masehi hingga Perang Tiga Puluh Tahun pada 1648. Di situ ia merangkum sebab-sebab dan ciri-ciri utamanya. Mungkin saja Marx hendak menguji apakah konsepsi-konsepsinya punya dasar yang kuat dalam konteks perkembangan-perkembangan penting di bidang politik, militer, ekonomi, dan teknologi pada masa-masa sebelumnya. Yang jelas, kita harus ingat bahwa ketika Marx mengerjakan semua ini, ia sangat menyadari kondisi kesehatannya yang lemah menjadi penghalang untuk menuntaskan jilid kedua Capital. Ia berharap mampu menyelesaikan koreksi untuk edisi ketiga dalam bahasa Jerman dari jilid pertama. Namun tetap saja ia tidak berdaya mengerjakan itu.
Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa topik-topik penelitian selama tahun-tahun terakhir kehidupan Marx lebih luas dari sebelumnya. Mungkin keluasan cakupan riset Marx lebih tampak jelas dalam periode ini karena tidak dilakukan secara paralel dengan penulisan buku atau naskah-naskah persiapan yang signifikan. Akan tetapi, beberapa ribu halaman catatan yang disusun oleh Marx dalam delapan bahasa, sejak ia masih mahasiswa, mulai dari tentang filsafat, seni, sejarah, agama, politik, hukum, sastra, ekonomi-politik, hubungan internasional, teknologi, matematika, fisiologi, geologi, mineralogi, agronomi, antropologi, kimia, dan fisika, menjadi saksi rasa haus Marx akan pengetahuan dalam beragam disiplin ilmu. Yang mengejutkan, Marx tidak mampu meninggalkan kebiasaan ini, bahkan di saat kondisi fisiknya merosot. Rasa ingin tahu Marx yang besar dan semangat otokritiknya mengalahkan pertimbangan bahwa ia harus mengelola karya-karyanya dengan lebih “bijak” dan fokus.
Namun, obrolan seputar “apa yang seharusnya Marx lakukan” biasanya lahir dari orang-orang ‘sakit’ yang berharap Marx menjadi individu yang tak mengerjakan apapun kecuali menulis Capital – bahkan tidak membela diri di tengah kontroversi-kontroversi politik yang melibatkannya. Marx tetaplah seorang manusia, meski pernah menyebut dirinya “mesin yang dikutuk untuk melahap buku lalu membuangnya ke tumpukan tahi sejarah”. Minat Marx pada matematika dan kalkulus diferensial, misalnya, bermula sebagai stimulus intelektual saat menjajaki metode analisis sosial. Kelak minat ini malah menjadi klangenan, pelarian di masa-masa sulit, “kesibukan untuk menjaga ketenangan pikiran,” sebagaimana ia ceritakan pada Engels.
Studi-studi sebelumnya tentang tulisan-tulisan Marx tua cenderung berfokus pada riset Marx tentang masyarakat non-Eropa. Dengan mengakui bahwa ada be rbagaijalur perkembangan masyarakat di luar “model Barat”, sebagaimana yang diyakini Marx juga, tepatkah jika kita mengatakan bahwa Marx menggeser posisinya menjadi Marx yang “non-Eurosentris” seperti yang diklaim oleh beberapa penafsir? Ataukah lebih akurat jika apa yang dilakukan Marx adalah penegasan bahwa karyanya tidak pernah dimaksudkan untuk diterapkan begitu saja tanpa pertama-tama memperhatikan realitas konkret masyarakat-masyarakat yang secara historis berbeda?
Kunci pertama dan terutama untuk memahami minat geografis yang luas dalam riset Marx pada dekade terakhir kehidupannya terletak pada rencananya untuk menyiapkan penjelasan yang lebih solid tentang dinamika corak produksi kapitalis dalam skala global. Inggris adalah objek pengamatan utama dalam Capital, Volume I; setelah penerbitan volume tersebut, Marx hendak memperluas riset-riset sosio-ekonomi dalam dua jilid Capital yang akan ditulisnya. Alasan inilah yang membuat Marx memutuskan untuk belajar bahasa Rusia pada 1870 dan terus membutuhkan literatur dan statistik tentang Rusia dan Amerika Serikat. Ia percaya bahwa analisis tentang perubahan ekonomi di negara-negara tersebut akan sangat berguna untuk memahami kemungkinan bentuk-bentuk perkembangan kapitalisme dalam periode dan konteks yang berbeda-beda. Unsur krusial ini diabaikan dalam literatur sekunder mengenai topik – yang sekarang ini trendi – “Marx dan Eurosentrisme.”
Pertanyaan kunci lainnya dalam riset Marx mengenai masyarakat-masyarakat non-Eropa adalah apakah kapitalisme adalah prasyarat mutlak bagi kelahiran masyarakat komunis dan pada titik mana masyarakat komunis ini harus berkembang secara internasional. Konsepsi multilinear yang dipegang Marx pada tahun-tahun terakhir hidupnya, membuatnya lebih memperhatikan kekhasan sejarah dan ketimpangan perkembangan ekonomi dan politik di berbagai negara dan konteks sosial. Marx menjadi sangat skeptis mengenai transfer kategori-kategori penafsiran di antara konteks yang sangat berbeda secara historis dan geografis. Sebagaimana yang ditulis Marx, ia juga menyadari bahwa “peristiwa-peristiwa yang sangat mirip, yang terjadi di konteks historis yang berbeda, mengarah pada hasil yang sangat berbeda.” Pendekatan ini jelas menambah kesulitan yang harus ia hadapi saat menyelesaikan Capital serta menambah persepsi dalam diri Marx bahwa karya utamanya itu takkan sempat ia tuntaskan. Tapi jelas hal ini membuka harapan-harapan revolusioner yang baru.
Tak seperti apa yang diyakini secara naif oleh beberapa penulis, Marx tidak secara tiba-tiba menyadari bahwa ia selama ini berpandangan Eurosentris, lalu mengerahkan perhatiannya pada tema-tema studi baru karena merasa perlu mengoreksi pandangan-pandangan politiknya. Ia telah lama menjadi “warga dunia,” sebagaimana Marx menyebut dirinya sendiri, dan terus mencoba untuk menganalisis perubahan ekonomi dan sosial dalam implikasi globalnya. Sebagaimana para pemikir lain yang sekaliber dengannya, Marx menyadari superioritas Eropa modern dibanding benua-benua lainnya dalam hal produksi industrial dan organisasi sosial. Namun, ia tidak pernah menganggap fakta ini sebagai faktor permanen ataupun bersifat niscaya. Dan tentu saja ia selalu menjadi musuh bebuyutan kolonialisme. Pertimbangan-pertimbangan itu semestinya jelas bagi siapapun yang membaca Marx.
Marcello
Musto