Categories
Journalism

Wajah-wajah Kapital Marx

MESKI sebagian orang menganggapnya kuno, Kapital Karl Marx adalah karya klasik yang masih saja menjadi pusat perdebatan. Usianya kini 157 tahun (pertama kali terbit pada 14 September 1867) dan mengandung semua keutamaan karya klasik raksasa; ia merangsang pemikiran baru setiap kali dibaca ulang, serta mampu menggambarkan aspek-aspek penting dari zaman ini maupun masa lalu.

Sebuah karya, kata penulis Italia Italo Calvino, menjadi klasik karena kemampuannya membantu pembaca untuk “membawa peristiwa-peristiwa terkini mundur perlahan ke masa lalu.” Karya semacam ini memberi kita daftar pertanyaan dan hal penting yang sering muncul, sehingga kita mampu memahami peristiwa terkini dengan benar dan menemukan jalan keluarnya. Inilah sebabnya mengapa karya klasik selalu menarik minat para pembaca muda. Karya klasik tetap tak tergantikan meskipun waktu terus melenggang.

Kapital adalah karya klasik unggulan untuk membantu kita memahami perkembangan situasi terkini, termasuk orang-orang penting di masa kini yang ngawur, lewat perspektif sejarah yang tepat. Itulah yang dapat kita katakan tentang Kapital; satu setengah abad sejak pertama kali terbit, Kapital semakin kuat seiring persebaran kapitalisme ke setiap sudut planet ini—dan meluas ke semua bidang kehidupan kita.

Wajah-wajah Kapital Marx
11 Oktober 2024
Marcello Musto
Print Friendly, PDF & Email
Ilustrasi: Getty Images/Jacobin

MESKI sebagian orang menganggapnya kuno, Kapital Karl Marx adalah karya klasik yang masih saja menjadi pusat perdebatan. Usianya kini 157 tahun (pertama kali terbit pada 14 September 1867) dan mengandung semua keutamaan karya klasik raksasa; ia merangsang pemikiran baru setiap kali dibaca ulang, serta mampu menggambarkan aspek-aspek penting dari zaman ini maupun masa lalu.

Sebuah karya, kata penulis Italia Italo Calvino, menjadi klasik karena kemampuannya membantu pembaca untuk “membawa peristiwa-peristiwa terkini mundur perlahan ke masa lalu.” Karya semacam ini memberi kita daftar pertanyaan dan hal penting yang sering muncul, sehingga kita mampu memahami peristiwa terkini dengan benar dan menemukan jalan keluarnya. Inilah sebabnya mengapa karya klasik selalu menarik minat para pembaca muda. Karya klasik tetap tak tergantikan meskipun waktu terus melenggang.

Kapital adalah karya klasik unggulan untuk membantu kita memahami perkembangan situasi terkini, termasuk orang-orang penting di masa kini yang ngawur, lewat perspektif sejarah yang tepat. Itulah yang dapat kita katakan tentang Kapital; satu setengah abad sejak pertama kali terbit, Kapital semakin kuat seiring persebaran kapitalisme ke setiap sudut planet ini—dan meluas ke semua bidang kehidupan kita.

Kembali ke Marx
Setelah Krisis Ekonomi Global 2007–2008, menengok kembali karya raksasa Marx ini merupakan kebutuhan mendesak—bagaikan semua respons atas peringatan darurat. Meski sempat terlupakan setelah keruntuhan Tembok Berlin, Kapital masih menyediakan kunci yang jitu untuk memahami penyebab hakiki dari kegilaan dan daya rusak Kapitalisme. Jadi, sementara indeks pasar saham dunia menghabiskan ratusan miliar dolar dan banyak lembaga keuangan dinyatakan bangkrut, oplah Kapital dalam beberapa bulan saja melonjak ketimbang jumlah yang terjual selama dua dasawarsa sebelumnya.

Sayang sekali, laris manisnya Kapital tak berkelindan dengan sisa-sisa kekuatan politik kiri. Kita sedang menipu diri ketika berpikir mampu mengotak-atik sistem yang masih mungkin direformasi. Ketika benar-benar masuk pemerintahan, mereka sekadar jadi pereda nyeri yang tak berdampak apa pun dalam mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dan krisis ekologi yang sedang berlangsung. Hasil dari pilihan-pilihan tersebut dapat dilihat oleh semua orang.

Namun, “kebangkitan” Kapital ini sekaligus menanggapi kebutuhan lain: menentukan secara definitif—juga dibantu banyaknya penelitian mutakhir—versi yang paling dapat diandalkan dari teks yang menjadi fokus Marx dalam sebagian besar kerja intelektualnya. Niat awal Sang Revolusioner Jerman itu, saat menyusun naskah persiapan pertama karya tersebut (Grundrisse tahun 1857–58), adalah membagi karyanya ke dalam enam jilid. Tiga jilid pertama akan membahas kapital, kepemilikan tanah, dan upah buruh; jilid-jilid berikutnya membahas negara, perdagangan luar negeri, dan pasar dunia.

Kesadaran Marx yang semakin kuat selama bertahun-tahun, bahwa rencana yang begitu luas itu tak mungkin terlaksana, memaksanya untuk mengembangkan proyek yang lebih praktis. Ia berpikir untuk menghilangkan tiga jilid terakhir dan mengintegrasikan beberapa bagian yang membahas kepemilikan tanah dan upah buruh ke dalam buku tentang kapital. Buku yang terakhir terbit tersusun dalam tiga bagian: Jilid I membahas Proses Produksi Kapital, Jilid II membahas Proses Sirkulasi Kapital, dan Jilid III membahas Proses Keseluruhan Produksi Kapitalis. Selain itu, ditambahkan pula Volume IV—yang membahas sejarah teori tersebut—yang, bagaimanapun, tidak pernah dimulai dan sering kali keliru disamakan dengan teori nilai lebih.

Lima Draf Volume I
Sebagaimana diketahui, Marx sebenarnya hanya menyelesaikan Jilid I Kapital. Jilid II dan III baru terbit setelah kematiannya; keduanya terbit masing-masing pada 1885 dan 1894, berkat upaya penyuntingan besar-besaran oleh Friedrich Engels.

Para intelektual dengan telaten berulang kali mempertanyakan keterandalan kedua jilid ini, yang disusun berdasarkan naskah-naskah belum rampung dan berserakan yang ditulis dalam rentang waktu bertahun-tahun, mengandung banyak masalah teoretis yang belum terpecahkan pula. Namun, hanya sedikit yang mengabdikan diri pada pertanyaan lain yang tidak kalah pelik: apakah pada kenyataannya ada versi final dari Jilid I?

Perselisihan ini kembali menjadi pusat perhatian para penerjemah dan penerbit, dan dalam beberapa tahun terakhir banyak edisi baru yang cukup penting dari Kapital. Di tahun 2024 ini saja, beberapa di antaranya terbit di Brasil, Italia, dan Amerika Serikat, di mana Princeton University Press menerbitkan terjemahan bahasa Inggris baru pertama dalam lima puluh tahun (dan keempat secara keseluruhan) berkat Paul Reitter dan editor Paul North.

Diterbitkan pada tahun 1867, setelah lebih dari dua dekade penelitian persiapan, Marx tidak sepenuhnya puas dengan struktur volume tersebut. Ia lantas membaginya menjadi hanya enam bab yang sangat panjang. Yang terpenting pula: ia tidak senang dengan caranya sendiri menguraikan teori nilai, yang memaksanya membuat dua bagian bahasan: satu di bab pertama, yang lain di lampiran yang ditulisnya tergesa-gesa, setelah naskah diserahkan. Penulisan Volume I ini dengan demikian menguras tenaga Marx bahkan setelah dicetak.

Dalam persiapan untuk edisi kedua, yang dijual secara bertahap antara tahun 1872 dan 1873, Marx menulis ulang bagian penting tentang teori nilai, menyisipkan beberapa tambahan mengenai perbedaan antara modal konstan dan variabel, nilai lebih, serta penggunaan mesin dan teknologi. Ia juga merombak seluruh susunan buku, membaginya menjadi tujuh bagian, yang terdiri dari 25 bab, yang pada gilirannya dibagi dengan hati-hati menjadi beberapa bagian.

Marx mengikuti dengan saksama proses penerjemahan Kapital ke bahasa Rusia (1872) dan mencurahkan lebih banyak perhatian untuk versi bahasa Prancisnya, yang muncul—juga secara bertahap—antara tahun 1872 dan 1875. Ia harus menghabiskan lebih banyak waktu dari yang diharapkan untuk memeriksa terjemahan tersebut. Tak puas dengan teks penerjemah yang terlalu harfiah, Marx menulis ulang seluruh halaman untuk membuat bagian-bagian yang sarat dengan eksposisi dialektis lebih mudah dicerna oleh pembaca berbahasa Prancis, sekalian untuk membuat apa yang ia anggap perlu diubah.

Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar menyangkut bagian akhir, yang dikhususkan untuk “Proses Akumulasi Kapital”. Ia juga membagi teks tersebut menjadi lebih banyak bab. Dalam catatan tambahan untuk edisi bahasa Prancis, Marx menulis bahwa versi bahasa Prancis memiliki “nilai ilmiah yang independen dari aslinya” dan mencatat bahwa versi tersebut “juga harus dirujuk oleh pembaca yang akrab dengan bahasa Jerman.”

Tidak mengherankan, ketika edisi bahasa Inggris diusulkan pada tahun 1877, Marx menunjukkan bahwa penerjemah “harus membandingkan edisi Jerman kedua dengan edisi Prancis,” karena dalam edisi terakhir ini ia telah “menambahkan sesuatu yang baru dan … menggambarkan banyak hal dengan lebih baik.” Oleh karena itu, edisi yang satu ini bukan sekadar perubahan gaya. Perubahan yang ia tambahkan pada berbagai edisi juga merangkum hasil studinya yang sedang berlangsung dan perkembangan pemikiran kritis yang terus berkembang.

Marx meninjau kembali versi Prancis, menyoroti pro dan kontranya, lagi-lagi pada tahun berikutnya. Ia menulis kepada penerjemah Rusia dari Kapital, Nikolai Danielson, bahwa teks Prancis memuat “banyak variasi dan tambahan penting,” tetapi mengakui bahwa ia “juga dipaksa, khususnya pada bab pertama, untuk ‘meratakan’ penjelasan.” Karena itu, ia merasa perlu mengklarifikasi bahwa bab-bab tentang “Komoditas dan Uang” dan “Transformasi Uang Menjadi Kapital” harus “diterjemahkan secara eksklusif mengikuti teks Jerman.” Bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa versi Prancis merupakan lebih dari sekadar terjemahan.

Marx dan Engels memiliki ide yang berbeda mengenai masalah ini. Marx sebagai penulis merasa senang dengan versi baru tersebut, menganggapnya, dalam banyak hal, sebagai perbaikan dari versi sebelumnya. Namun Engels, meskipun memuji beberapa perbaikan teoretis yang dilakukan, skeptis terhadap gaya sastra yang dipaksakan oleh bahasa Prancis. Ia menulis bahwa “Saya akan menganggapnya sebagai kesalahan besar untuk menjadikan versi ini sebagai dasar terjemahan bahasa Inggris.” Jadi, ketika diminta menyiapkan edisi Jerman ketiga (1883) dari Jilid I Kapital—tak lama setelah kematian teman baiknya itu, Engels mengubah “hanya hal-hal yang paling penting.”

Kata pengantar Engels untuk versi itu memberi tahu para pembaca bahwa Marx bermaksud untuk “mengerjakan ulang teks tersebut secara besar-besaran,” tetapi kesehatannya yang buruk telah mencegahnya untuk melakukannya. Engels memanfaatkan salinan bahasa Jerman, yang telah dikoreksi di beberapa tempat oleh penulisnya, serta salinan terjemahan bahasa Prancis yang di dalamnya Marx telah menunjukkan perubahan yang perlu. Engels berhati-hati dalam campur tangannya, melaporkan bahwa “dalam edisi ketiga ini tidak ada kata yang berubah yang saya tidak tahu dengan pasti, bahwa penulisnya sendiri akan mengubahnya.” Akan tetapi, ia tidak menyertakan semua perubahan yang ditunjukkan oleh Marx.

Terjemahan bahasa Inggris (1887), yang diawasi penuh oleh Engels, didasarkan pada edisi Jerman ketiga. Ia menegaskan bahwa teks ini, seperti edisi Jerman kedua, lebih unggul daripada terjemahan Prancis—paling tidak karena struktur babnya. Ia mengklarifikasi dalam kata pengantar teks bahasa Inggris bahwa edisi Prancis telah digunakan terutama untuk menguji “seberapa besar penulis sendiri siap berkorban, di mana pun dalam penerjemahan harus dikorbankan sesuatu dari makna penuh aslinya.”

Dua tahun sebelumnya, dalam artikel “How Not to Translate Marx”, Engels dengan tajam mengkritik terjemahan John Broadhouse yang suram dari beberapa halaman Kapital. Kata dia, “Bahasa Jerman yang kuat membutuhkan bahasa Inggris yang kuat untuk menerjemahkannya; istilah-istilah Jerman yang baru diciptakan membutuhkan penciptaan istilah-istilah baru yang sesuai dalam bahasa Inggris.”

Edisi Jerman keempat terbit pada tahun 1890; edisi kali ini menjadi edisi terakhir yang disiapkan Engels. Dengan lebih banyak waktu luang, ia berhasil memadukan beberapa koreksi yang dibuat Marx ke versi Prancis, sambil mengecualikan beberapa koreksi lainnya. Engels menyatakan dalam kata pengantarnya, “Saya telah membandingkan lagi edisi Prancis dengan catatan-catatan dalam tulisan tangan Marx sendiri dan memasukkan beberapa tambahan lain dari edisi tersebut ke dalam teks Jerman.” Ia sangat puas dengan hasil akhirnya, dan hanya edisi populer yang disiapkan Karl Kautsky pada tahun 1914 yang mengalami perbaikan lebih lanjut.

Wajah-wajah Kapital Marx
11 Oktober 2024
Marcello Musto
Print Friendly, PDF & Email
Ilustrasi: Getty Images/Jacobin

MESKI sebagian orang menganggapnya kuno, Kapital Karl Marx adalah karya klasik yang masih saja menjadi pusat perdebatan. Usianya kini 157 tahun (pertama kali terbit pada 14 September 1867) dan mengandung semua keutamaan karya klasik raksasa; ia merangsang pemikiran baru setiap kali dibaca ulang, serta mampu menggambarkan aspek-aspek penting dari zaman ini maupun masa lalu.

Sebuah karya, kata penulis Italia Italo Calvino, menjadi klasik karena kemampuannya membantu pembaca untuk “membawa peristiwa-peristiwa terkini mundur perlahan ke masa lalu.” Karya semacam ini memberi kita daftar pertanyaan dan hal penting yang sering muncul, sehingga kita mampu memahami peristiwa terkini dengan benar dan menemukan jalan keluarnya. Inilah sebabnya mengapa karya klasik selalu menarik minat para pembaca muda. Karya klasik tetap tak tergantikan meskipun waktu terus melenggang.

Kapital adalah karya klasik unggulan untuk membantu kita memahami perkembangan situasi terkini, termasuk orang-orang penting di masa kini yang ngawur, lewat perspektif sejarah yang tepat. Itulah yang dapat kita katakan tentang Kapital; satu setengah abad sejak pertama kali terbit, Kapital semakin kuat seiring persebaran kapitalisme ke setiap sudut planet ini—dan meluas ke semua bidang kehidupan kita.

Kembali ke Marx
Setelah Krisis Ekonomi Global 2007–2008, menengok kembali karya raksasa Marx ini merupakan kebutuhan mendesak—bagaikan semua respons atas peringatan darurat. Meski sempat terlupakan setelah keruntuhan Tembok Berlin, Kapital masih menyediakan kunci yang jitu untuk memahami penyebab hakiki dari kegilaan dan daya rusak Kapitalisme. Jadi, sementara indeks pasar saham dunia menghabiskan ratusan miliar dolar dan banyak lembaga keuangan dinyatakan bangkrut, oplah Kapital dalam beberapa bulan saja melonjak ketimbang jumlah yang terjual selama dua dasawarsa sebelumnya.

Sayang sekali, laris manisnya Kapital tak berkelindan dengan sisa-sisa kekuatan politik kiri. Kita sedang menipu diri ketika berpikir mampu mengotak-atik sistem yang masih mungkin direformasi. Ketika benar-benar masuk pemerintahan, mereka sekadar jadi pereda nyeri yang tak berdampak apa pun dalam mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dan krisis ekologi yang sedang berlangsung. Hasil dari pilihan-pilihan tersebut dapat dilihat oleh semua orang.

Namun, “kebangkitan” Kapital ini sekaligus menanggapi kebutuhan lain: menentukan secara definitif—juga dibantu banyaknya penelitian mutakhir—versi yang paling dapat diandalkan dari teks yang menjadi fokus Marx dalam sebagian besar kerja intelektualnya. Niat awal Sang Revolusioner Jerman itu, saat menyusun naskah persiapan pertama karya tersebut (Grundrisse tahun 1857–58), adalah membagi karyanya ke dalam enam jilid. Tiga jilid pertama akan membahas kapital, kepemilikan tanah, dan upah buruh; jilid-jilid berikutnya membahas negara, perdagangan luar negeri, dan pasar dunia.

Kesadaran Marx yang semakin kuat selama bertahun-tahun, bahwa rencana yang begitu luas itu tak mungkin terlaksana, memaksanya untuk mengembangkan proyek yang lebih praktis. Ia berpikir untuk menghilangkan tiga jilid terakhir dan mengintegrasikan beberapa bagian yang membahas kepemilikan tanah dan upah buruh ke dalam buku tentang kapital. Buku yang terakhir terbit tersusun dalam tiga bagian: Jilid I membahas Proses Produksi Kapital, Jilid II membahas Proses Sirkulasi Kapital, dan Jilid III membahas Proses Keseluruhan Produksi Kapitalis. Selain itu, ditambahkan pula Volume IV—yang membahas sejarah teori tersebut—yang, bagaimanapun, tidak pernah dimulai dan sering kali keliru disamakan dengan teori nilai lebih.

Lima Draf Volume I
Sebagaimana diketahui, Marx sebenarnya hanya menyelesaikan Jilid I Kapital. Jilid II dan III baru terbit setelah kematiannya; keduanya terbit masing-masing pada 1885 dan 1894, berkat upaya penyuntingan besar-besaran oleh Friedrich Engels.

Para intelektual dengan telaten berulang kali mempertanyakan keterandalan kedua jilid ini, yang disusun berdasarkan naskah-naskah belum rampung dan berserakan yang ditulis dalam rentang waktu bertahun-tahun, mengandung banyak masalah teoretis yang belum terpecahkan pula. Namun, hanya sedikit yang mengabdikan diri pada pertanyaan lain yang tidak kalah pelik: apakah pada kenyataannya ada versi final dari Jilid I?

Perselisihan ini kembali menjadi pusat perhatian para penerjemah dan penerbit, dan dalam beberapa tahun terakhir banyak edisi baru yang cukup penting dari Kapital. Di tahun 2024 ini saja, beberapa di antaranya terbit di Brasil, Italia, dan Amerika Serikat, di mana Princeton University Press menerbitkan terjemahan bahasa Inggris baru pertama dalam lima puluh tahun (dan keempat secara keseluruhan) berkat Paul Reitter dan editor Paul North.

Diterbitkan pada tahun 1867, setelah lebih dari dua dekade penelitian persiapan, Marx tidak sepenuhnya puas dengan struktur volume tersebut. Ia lantas membaginya menjadi hanya enam bab yang sangat panjang. Yang terpenting pula: ia tidak senang dengan caranya sendiri menguraikan teori nilai, yang memaksanya membuat dua bagian bahasan: satu di bab pertama, yang lain di lampiran yang ditulisnya tergesa-gesa, setelah naskah diserahkan. Penulisan Volume I ini dengan demikian menguras tenaga Marx bahkan setelah dicetak.

Dalam persiapan untuk edisi kedua, yang dijual secara bertahap antara tahun 1872 dan 1873, Marx menulis ulang bagian penting tentang teori nilai, menyisipkan beberapa tambahan mengenai perbedaan antara modal konstan dan variabel, nilai lebih, serta penggunaan mesin dan teknologi. Ia juga merombak seluruh susunan buku, membaginya menjadi tujuh bagian, yang terdiri dari 25 bab, yang pada gilirannya dibagi dengan hati-hati menjadi beberapa bagian.

Marx mengikuti dengan saksama proses penerjemahan Kapital ke bahasa Rusia (1872) dan mencurahkan lebih banyak perhatian untuk versi bahasa Prancisnya, yang muncul—juga secara bertahap—antara tahun 1872 dan 1875. Ia harus menghabiskan lebih banyak waktu dari yang diharapkan untuk memeriksa terjemahan tersebut. Tak puas dengan teks penerjemah yang terlalu harfiah, Marx menulis ulang seluruh halaman untuk membuat bagian-bagian yang sarat dengan eksposisi dialektis lebih mudah dicerna oleh pembaca berbahasa Prancis, sekalian untuk membuat apa yang ia anggap perlu diubah.

Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar menyangkut bagian akhir, yang dikhususkan untuk “Proses Akumulasi Kapital”. Ia juga membagi teks tersebut menjadi lebih banyak bab. Dalam catatan tambahan untuk edisi bahasa Prancis, Marx menulis bahwa versi bahasa Prancis memiliki “nilai ilmiah yang independen dari aslinya” dan mencatat bahwa versi tersebut “juga harus dirujuk oleh pembaca yang akrab dengan bahasa Jerman.”

Tidak mengherankan, ketika edisi bahasa Inggris diusulkan pada tahun 1877, Marx menunjukkan bahwa penerjemah “harus membandingkan edisi Jerman kedua dengan edisi Prancis,” karena dalam edisi terakhir ini ia telah “menambahkan sesuatu yang baru dan … menggambarkan banyak hal dengan lebih baik.” Oleh karena itu, edisi yang satu ini bukan sekadar perubahan gaya. Perubahan yang ia tambahkan pada berbagai edisi juga merangkum hasil studinya yang sedang berlangsung dan perkembangan pemikiran kritis yang terus berkembang.

Marx meninjau kembali versi Prancis, menyoroti pro dan kontranya, lagi-lagi pada tahun berikutnya. Ia menulis kepada penerjemah Rusia dari Kapital, Nikolai Danielson, bahwa teks Prancis memuat “banyak variasi dan tambahan penting,” tetapi mengakui bahwa ia “juga dipaksa, khususnya pada bab pertama, untuk ‘meratakan’ penjelasan.” Karena itu, ia merasa perlu mengklarifikasi bahwa bab-bab tentang “Komoditas dan Uang” dan “Transformasi Uang Menjadi Kapital” harus “diterjemahkan secara eksklusif mengikuti teks Jerman.” Bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa versi Prancis merupakan lebih dari sekadar terjemahan.

Marx dan Engels memiliki ide yang berbeda mengenai masalah ini. Marx sebagai penulis merasa senang dengan versi baru tersebut, menganggapnya, dalam banyak hal, sebagai perbaikan dari versi sebelumnya. Namun Engels, meskipun memuji beberapa perbaikan teoretis yang dilakukan, skeptis terhadap gaya sastra yang dipaksakan oleh bahasa Prancis. Ia menulis bahwa “Saya akan menganggapnya sebagai kesalahan besar untuk menjadikan versi ini sebagai dasar terjemahan bahasa Inggris.” Jadi, ketika diminta menyiapkan edisi Jerman ketiga (1883) dari Jilid I Kapital—tak lama setelah kematian teman baiknya itu, Engels mengubah “hanya hal-hal yang paling penting.”

Kata pengantar Engels untuk versi itu memberi tahu para pembaca bahwa Marx bermaksud untuk “mengerjakan ulang teks tersebut secara besar-besaran,” tetapi kesehatannya yang buruk telah mencegahnya untuk melakukannya. Engels memanfaatkan salinan bahasa Jerman, yang telah dikoreksi di beberapa tempat oleh penulisnya, serta salinan terjemahan bahasa Prancis yang di dalamnya Marx telah menunjukkan perubahan yang perlu. Engels berhati-hati dalam campur tangannya, melaporkan bahwa “dalam edisi ketiga ini tidak ada kata yang berubah yang saya tidak tahu dengan pasti, bahwa penulisnya sendiri akan mengubahnya.” Akan tetapi, ia tidak menyertakan semua perubahan yang ditunjukkan oleh Marx.

Terjemahan bahasa Inggris (1887), yang diawasi penuh oleh Engels, didasarkan pada edisi Jerman ketiga. Ia menegaskan bahwa teks ini, seperti edisi Jerman kedua, lebih unggul daripada terjemahan Prancis—paling tidak karena struktur babnya. Ia mengklarifikasi dalam kata pengantar teks bahasa Inggris bahwa edisi Prancis telah digunakan terutama untuk menguji “seberapa besar penulis sendiri siap berkorban, di mana pun dalam penerjemahan harus dikorbankan sesuatu dari makna penuh aslinya.”

Dua tahun sebelumnya, dalam artikel “How Not to Translate Marx”, Engels dengan tajam mengkritik terjemahan John Broadhouse yang suram dari beberapa halaman Kapital. Kata dia, “Bahasa Jerman yang kuat membutuhkan bahasa Inggris yang kuat untuk menerjemahkannya; istilah-istilah Jerman yang baru diciptakan membutuhkan penciptaan istilah-istilah baru yang sesuai dalam bahasa Inggris.”

Edisi Jerman keempat terbit pada tahun 1890; edisi kali ini menjadi edisi terakhir yang disiapkan Engels. Dengan lebih banyak waktu luang, ia berhasil memadukan beberapa koreksi yang dibuat Marx ke versi Prancis, sambil mengecualikan beberapa koreksi lainnya. Engels menyatakan dalam kata pengantarnya, “Saya telah membandingkan lagi edisi Prancis dengan catatan-catatan dalam tulisan tangan Marx sendiri dan memasukkan beberapa tambahan lain dari edisi tersebut ke dalam teks Jerman.” Ia sangat puas dengan hasil akhirnya, dan hanya edisi populer yang disiapkan Karl Kautsky pada tahun 1914 yang mengalami perbaikan lebih lanjut.

Mencari Versi Final
Edisi Jilid I Kapital suntingan Engels tahun 1890 itu menjadi versi kanonik yang menjadi sumber terjemahan terbanyak di seluruh dunia. Hingga saat ini, Jilid I telah terbit dalam 66 bahasa, dan dalam 59 proyek ini Jilid II dan Jilid III juga telah diterjemahkan. Kecuali Manifesto Komunis, yang ditulis bersama Engels dan kemungkinan dicetak lebih dari 500 juta eksemplar, serta Buku Merah Kecil karya Mao Zedong, yang sirkulasinya bahkan lebih besar—tidak ada karya klasik politik, filsafat, atau ekonomi lain yang sirkulasinya sebanding dengan Jilid I Kapital.

Namun, perdebatan tentang versi terbaik tidak pernah berakhir. Manakah dari kelima edisi ini yang menyajikan struktur terbaik? Versi mana yang mencakup perolehan teoretis Marx selanjutnya? Meskipun Volume I tidak menyajikan kesulitan editorial Volume II dan III, yang mencakup ratusan perubahan yang dilakukan oleh Engels, hal itu juga cukup merepotkan.

Beberapa penerjemah memutuskan untuk mengandalkan versi 1872–73, yakni edisi Jerman terakhir yang direvisi oleh Marx. Versi Jerman tahun 2017 suntingan Thomas Kuczynski, dengan klaim kesetiaan yang lebih besar pada maksud Marx sendiri, baru-baru ini mengusulkan varian yang mencakup perubahan tambahan yang disiapkan untuk terjemahan Prancis tetapi diabaikan oleh Engels. Pilihan pertama memiliki keterbatasan karena mengabaikan bagian-bagian versi Prancis yang lebih unggul daripada versi Jerman, sedangkan pilihan kedua menghasilkan teks yang membingungkan dan sulit dibaca. Masih lebih baik edisi yang menyertakan lampiran dengan varian yang dibuat Engels untuk setiap versi dan juga beberapa manuskrip persiapan penting Marx, yang sejauh ini hanya diterbitkan dalam bahasa Jerman dan beberapa bahasa lainnya.

Akan tetapi, tidak ada versi definitif dari Volume I. Perbandingan sistematis revisi yang dibuat oleh Marx dan Engels masih bergantung pada penelitian lebih lanjut oleh murid-murid mereka yang telaten. Marx memang kerap disebut kuno dan lawan-lawan pemikiran politiknya gemar membahas “kekalahannya”. Namun, sekali lagi, generasi pembaca, aktivis, dan intelektual baru mulai mengkritik kapitalisme. Di masa-masa sulit seperti sekarang, inilah pertanda baik bagi masa depan.

 

Categories
Reviews

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, Floresa.co. Kritis, Independen

Pemikiran Karl Marx, filsuf yang lahir di kota Trier, Jerman pada 5 Mei 1818 masih sangat berpengaruh sampai hari ini.

Gagasannya yang merambah ke berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, sosiologi, ekonomi, politik dan lain-lain terus dibicarakan, sekaligus diperdebatkan.

Para pengkritik Marx memang menilai sejumlah gagasannya sudah ketinggalan zaman. Salah satunya adalah ketika ia meramalkan keruntuhan sistem kapitalis yang memang kemudian tidak terbukti hingga kini.

Kapitalisme, dalam beragam bentuk, terus mengakarkan diri dan memperluas cengkeramannya.

Namun, apakah gagasan dasarnya sudah berarti gagal dan tak lagi relevan?

Pada titik di mana kapitalisme semakin mengindividualisasikan dan menciptakan kesengsaraan di satu pihak [pekerja], sementara di pihak lain terjadi akumulasi kekayaan di tangan segelintir pihak [borjuis], pemikiran Marx masih relevan untuk mengambil sikap kritis pada berbagai macam ketimpangan, sekaligus mencari cara untuk memperbaikinya.

Kehidupan Marx

Sebelum masuk lebih jauh ke soal argumen tetap relevannya pemikiran Marx itu, termasuk dalam membaca konteks terkini di Flores, saya tertarik untuk melihat sosok Marx, terkait kehidupan dan pergulatannya, yang tentu berdampak pada gagasan-gagasannya.

Saya mempelajari hal ini dari salah satu buku yang penting untuk mengenal Marx, yaitu Another Marx: Early Manuscripts to the International, yang ditulis Marcello Musto, profesor sosiologi di Universitas New York, Toronto, Kanada.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana, dengan judul Marx: Biografi Intelektual dan Politik dan diterbitkan oleh Marjin Kiri.

Dalam buku ini, Musto menulis banyak informasi penting seputar perjalanan kehidupan Marx.

Ia mengambil inspirasi dari surat Marx kepada kolega-koleganya, karya seperti Grundrisse dan Das Kapital serta tulisan orang lain tentang Marx.

Kehidupan Marx sebagaimana ditulis oleh Musto, tak hanya berkutat di wilayah teori, tetapi juga memilih terlibat aktifnya dalam gerakan sosial.

Salah satunya adalah dalam serikat buruh. Marx bahkan menjadi salah satu anggota Dewan Umum pada serikat buruh terbesar di Eropa, Internasional. yang terdiri dari berbagai organisasi buruh dari Jerman, Perancis, Swiss, Belgia, Italia dan Inggris.

Di Internasional, Marx kerap berpolemik gagasan dengan para pemikir lain.

Salah satunya adalah Proudhon, pemikir yang Marx sebut sebagai “kaum mutualis.” Marx juga berhadapan dengan pemikir lain di Internasional yakni Bakunin, yang ia sebut “berusaha merebut kendali organisasi.” [hlm.259].

Jauh sebelum berpolemik dengan Proudhon dan Bakunin, Marx juga terlibat dalam polemik cukup keras dengan Carl Vogt, adalah profesor ilmu alam di Jenewa, Swiss. [hlm. 157]. Ia bahkan menulis buku khususHerr Vogt untuk menyerang Vogt.

Karya-karya Marx, seperti Grundrisse dan Das Kapital lahir dari perjuangan yang panjang. Marx bergulat dengan banyak pemikir filsafat, seperti Ludwig Feuerbach, G. W. Friedrich Hegel, Aristoteles dan para pemikir di bidang ekonomi, seperti Adam Smith, David Ricardo dan lain-lain.

Ia tak hanya membaca karya-karya mereka, tetapi menulis berbagai nukilan berisi kritiknya, lalu membangun tesis sendiri.

Proses penulisan karya-karya itu, seperti Grundrisse dan Das Kapital, membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Sebagaimana ditulis oleh Musto, sikap teliti dan sikap kritis Marx membuat karya-karya itu tak pernah terburu-buru diterbitkan.

Bahkan, ketika sahabat karibnya, Engels, terus mendesak Marx sesegera mungkin menerbitkan karyanya, Marx terus menunda-nunda, yang membuat sebagian dari karya itu tak diterbitkan.

Baru pada tahun 1867, buku Das Kapital diterbitkan di Jerman. Terbitnya buku ini tak membuat Marx puas dengan apa yang telah dihasilkan.

Sebagaimana ditulis Musto, Marx terus meninjaunya lagi dengan merevisi sejumlah bagian.

Musto menulis, “tidak puas dengan cara ia menguraikan teori nilai, ia menghabiskan Desember 1871 dan Januari 1872 menulis ulang lampiran 1867, dan hal ini menggiringnya untuk merombak bab pertama itu sendiri”, maksudnya Das Kapital jilid 1. [hlm. 219 – 220].

Dalam proses penulisan Grundrisse dan Das Kapital, Marx juga harus menghadapi banyak tantangan. Ada dua hal yang menyerang kehidupan pribadinya sehingga membuat proses penulisan berjalan sangat lambat.

Pertama, kemiskinan. Marx dan istrinya, Jenny Von Westphalen serta anak-anak mereka mengalami beban hidup yang begitu besar.

Keluarga mereka tak punya apa-apa, selain rumah kontrakan di “Maitland Park No. 41, di London Utara” [hlm. 329].

Kehidupan keluarga Marx bergantung pada utang di tempat gadai dan Engels yang memberi dukungan finansial.

Dalam kondisi seperti ini, Marx menghadapi kematian putranya Guido pada 1850, putrinya Franziska pada April 1852 dan putranya Edgar yang berusia 8 tahun pada April 1855.

Ketika hendak berangkat ke Jerman untuk mengantarkan karya jilid 1 Das Kapital ke penerbit, Marx sebagaimana dikutip Musto kepada Engels meminta tolong “agar bisa menebus pakaian dan arloji dari rumah mereka di rumah gadai, jika tidak, ia tidak akan pergi” [hlm. 213].

Kedua, kesehatan Marx yang semakin menurun. Proses penulisan Das Kapital seringkali terhambat karena kesehatan Marx, yang banyak diserang penyakit seperti liver, inas [semacam bisul] dan beberapa penyakit lain.

Namun, ia tidak menyerah dengan kondisi itu. Bahkan, sebagaimana ditulis Musto, istrinya Jenny menulis surat kepada Engels pada 1870, memberitahu kondisi Marx yang dalam kendati terkena bisul, menekuni minat baru.

Alih-alih menjaga diri, tulis Jenny, Marx “mulai belajar Bahasa Rusia sekuat tenaga, jarang keluar, jarang makan, dan baru menunjukan bisul di bawah lengannya ketika sudah sangat bengkak dan mengeras” [hlm. 219].

Dua hal di atas, tentu sangat mengganggu pikiran siapapun yang berada dalam situasi semacam itu.

Namun, Marx justru menunjukan sikap yang sangat jelas. Ia tidak ingin kalah dalam masalah itu. Ia melewatinya dengan prinsip untuk terus berjuang.

Warisan sikap kritis dan prinsip hidup untuk terus berjuang adalah ciri khas Marx sebagai seorang pemikir.

Dalam kondisi berada di titik terendah, ia tetap berada dalam prinsip perjuangan menuntaskan karya Das Kapital, untuk menciptakan apa yang ia sebut sebagai “emansipasi kelas pekerja di bawah moda produksi kapitalis.”

Apa yang Bisa Dipelajari?

Marx tak hanya mewarisi karya dan pemikirannya lewat buku Grundrisse, Das Kapital dan karya-karya lain.

Komitmen dan prinsip untuk berjuang adalah landasan bagi Marx yang mampu menghasilkan magnus opus-nya.

Selain tentu saja dari pemikiran-pemikirannya, menimbah spirit dari perjuangan hidup Marx juga merupakan sesuatu yang penting.

Di sisi lain, warisan pemikiran Marx masih amat relevan dengan konteks kita hari ini, termasuk di Flores, di mana kapitalisme eksis dengan caranya sendiri.

Salah satu bentuk ekspansinya mewujud dalam sektor agraria. Di banyak tempat di Flores, mulai dari ujung timur sampai ujung barat, kapitalisme berusaha menundukan sektor agraria ke dalam rantai moda produksi kapitalis.

Ekspansi kapitalisme juga menyata dalam proyek geotermal dan industri pariwisata.

Meskipun kapitalisme menciptakan pasar yang terbuka, ia serentak mengakselerasi peralihan kepemilikan tanah dari petani ke para borjuasi lokal yang punya modal. Mereka membeli dengan harga murah dari petani, lalu menjualnya dengan harga tinggi.

Fenomena seperti ini perlu dibaca sebagai satu kondisi bahwa kapitalisme yang pernah dikritik Marx tak pernah selesai dibicarakan.

Lewat karyanya Das Kapital [vol. 1, hlm. 733], Marx telah mengingatkan bahwa “semakin cepat kapital berakumulasi di suatu kota industri atau perdagangan, semakin cepat arus mengalirnya bahan manusia yang dapat dieksploitasi, semakin menyedihkan tempat-tempat hunian darurat para pekerja itu.”

Selama tak ada ruang untuk kritik, tak ada upaya dari kaum muda untuk membongkar dan menggugat sisi-sisi gelap kapitalisme yang terus menancapkan pengaruhnya di Flores, ia akan terus menggelinding seperti bola panas yang meratakan dan membumihanguskan kehidupan sosial.

Seperti semboyan Marx, de omnibus dubitandum, semua harus diragukan, perlu ada sikap untuk mempertanyakan sesuatu yang baru, menguliti klaim-klaimnya, serentak membangun narasi tandingan atasnya.

Kapitalisme memang tak mungkin ditolak, tapi seperti Marx, lewat kritik dan gugatan-gugatannya, kita bisa memastikan hidup sosial kita di Flores tak dihancurkan oleh kapitalisme.

Marx telah menunjukkan itu lewat hidupnya, di tengah berbagai tantangan dan pergulatan yang mengiringi perjuangannya. Kita bisa belajar spirit dan komitmennya.

Categories
Journalism

Karl Marx: Anti-Kolonialis Pendukung Pembebasan Rakyat Arab

KETIKA tinggal di Aljazair, Karl Marx habis-habisan menyerang tindak kekerasan orang-orang Prancis, provokasi yang terus dilakukan, kesombongan tak tahu malu, praduga, dan obsesi mereka untuk membalas dendam bak Moloch tiap kali menghadapi pemberontakan warga Arab setempat.

“Polisi menerapkan penyiksaan untuk memaksa orang Arab ‘mengaku’, seperti yang dilakukan Inggris di India,” tulisnya. Ia melanjutkan, “Tujuan para penjajah sama belaka: memusnahkan kepemilikan kolektif masyarakat setempat dan mengubahnya menjadi barang yang bebas diperjualbelikan.”

Apa yang Marx Lakukan di Maghreb (Afrika Utara)?

Pada musim dingin 1882, tahun terakhir hidupnya, Karl Marx menderita bronkitis akut. Dokter menyarankannya beristirahat di tempat yang hangat. Gibraltar tidak masuk hitungan karena Marx perlu paspor untuk sampai ke sana–sebagai orang tanpa kewarganegaraan, ia tak memilikinya. Imperium Bismarck yang berselimut salju masih terlarang baginya. Italia juga bukan pilihan karena, seperti yang dikatakan Friedrich Engels, ”syarat pertama untuk pulih adalah tidak boleh ada gangguan dari polisi.”

Paul Lafargue (menantu Marx) dan Engels meyakinkan agar sang pasien melancong  ke Aljazair, yang saat itu tersohor di kalangan orang Inggris sebagai tempat tetirah musim dingin. Menurut putrinya, Eleanor Marx, Karl Marx terdorong melakukan perjalanan yang tidak biasa karena satu hal: menyelesaikan Das Kapital.

Karl Marx menyeberangi Inggris dan Prancis via kereta api lalu lautan Mediterania dengan kapal. Dia tinggal di ibu kota Aljir selama 72 hari, satu-satunya momen dalam hidupnya di luar Eropa. Seiring waktu, kesehatan Marx tidak kunjung membaik. Penderitaannya bukan hanya fisik. Ia juga sangat kesepian setelah kematian istrinya. Dalam satu suratnya kepada Engels, ia mengaku “…didera melankoli akut bak Don Quixote.” Karena kondisi kesehatannya itu pula Marx melewatkan aktivitas intelektual serius, yang selalu penting baginya.

Dampak Pemberlakuan Kepemilikan Pribadi di Bawah Rezim Penjajah Prancis

Perkembangan berbagai kejadian yang kurang menguntungkan itu membuat Marx sulit memahami realitas Aljazair. Nyaris mustahil juga baginya mempelajari karakteristik kepemilikan komunal di masyarakat Arab–sebuah topik yang sangat menarik perhatiannya beberapa tahun sebelumnya. Pada 1879, di dalam salah satu buku catatan studinya, Marx menyalin beberapa bagian dari buku karangan sosiolog Rusia Maksim Kovalevsky, Communal Landownership: Causes, Course and Consequences of its Decline. Bagian-bagian buku Kovalevsky ini khusus membahas pentingnya kepemilikan bersama di Aljazair sebelum kehadiran kolonialisme Prancis, berikut perubahan-perubahan di bawahnya.

Yang disalin Marx dari buku Kovaleskyz: “Pembentukan kepemilikan pribadi atas tanah–di mata kaum borjuis Prancis–adalah syarat yang diperlukan untuk semua kemajuan di bidang politik dan sosial.” Pemeliharaan lebih lanjut atas properti komunal, “sebagai corak penyokong tendensi komunis dalam pikiran, berbahaya baik bagi koloni maupun tanah air.” Marx juga tertarik pada pernyataan berikut: “pengalihan kepemilikan tanah dari tangan penduduk asli ke tangan penjajah telah dilakukan oleh Prancis di bawah semua rezim. (…) Tujuannya tetap sama: penghancuran kepemilikan kolektif masyarakat adat dan mengubahnya menjadi objek jual beli bebas, dan dengan demikian memuluskan penyerahan terakhir ke tangan penjajah Prancis.”

Mengenai Undang-Undang Aljazair, yang diusulkan oleh Jules Warnier dari Partai Republikan Kiri dan disahkan pada 1873, Marx mendukung klaim Kovalevsky bahwa satu-satunya tujuan legislasi tersebut adalah “perampasan tanah penduduk asli oleh penjajah dan spekulan Eropa.” Tindakan kurang ajar Prancis adalah “perampokan langsung,” atau konversi seluruh tanah yang belum digarap untuk digunakan penduduk asli menjadi “milik pemerintah.” Proses ini dirancang untuk menghasilkan kreasi penting lainnya: melenyapkan perlawanan penduduk lokal.

Sekali lagi, melalui kata-kata Kovalevsky Marx mencatat: “Fondasi kepemilikan pribadi dan pendudukan kaum kolonis Eropa di antara klan-klan Arab akan menjadi jalan paling ampuh yang mempercepat proses pembubaran persatuan-persatuan klan. (…) Perampasan terhadap orang-orang Arab yang dimaksudkan oleh undang-undang tersebut mempunyai dua tujuan: 1) memberikan tanah seluas-luasnya kepada Prancis; dan 2) melepaskan orang-orang Arab dari ikatan alami mereka dengan tanah air untuk mematahkan kekuatan terakhir dari persatuan klan yang kemudian dibubarkan, sehingga melenyapkan bahaya pemberontakan.”

Marx berkomentar bahwa individualisasi kepemilikan tanah seperti ini tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi para agresor tetapi juga mencapai “tujuan politik: menghancurkan fondasi masyarakat tersebut.”

Refleksi Dunia Arab

Pada Februari 1882, ketika Marx berada di Aljir, sebuah artikel di harian lokal The News mendokumentasikan ketidakadilan dalam sistem yang baru terbentuk. Di atas kertas, setiap warga negara Prancis saat itu bisa memperoleh konsesi atas lebih dari 100 hektare tanah di Aljazair, bahkan tanpa harus meninggalkan negaranya,  kemudian dapat menjualnya kembali kepada penduduk asli seharga 40.000 franc. Rata-rata, orang-orang Prancis itu menjual setiap tanah yang mereka beli seharga seharga 20-30 franc dengan harga 300 franc.

Karena kesehatan yang buruk, Marx tidak dapat mempelajari persoalan ini. Namun, dari enam belas surat yang masih ada (jumlah surat yang ditulisnya lebih banyak, tapi banyak yang hilang), ia mencatat sejumlah pengamatan menarik dari tepi selatan Mediterania. Yang paling mencolok adalah catatan yang berhubungan dengan hubungan sosial antar umat Islam.

Marx sangat terkesan dengan beberapa karakteristik masyarakat Arab. Bagi seorang “muslim sejati”, dia berkomentar: “Kecelakaan, baik atau buruk, tidak membedakan anak-anak Muhammad. Kesetaraan mutlak dalam pergaulan sosial mereka tidak terpengaruh. Sebaliknya, hanya ketika mengalami kerusakan, mereka baru menyadarinya. Secara adil, politisi mereka menganggap perasaan dan praktik kesetaraan absolut ini sebagai hal yang penting. Namun demikian, tanpa gerakan revolusioner, mereka akan mengalami kehancuran.”

Dalam surat-suratnya yang bernada mencemooh, Marx menyerang tindakan kekerasan dan provokasi berantai orang-orang Eropa, terutama “kesombongan dan keangkuhan mereka yang tidak berdasar terhadap ‘ras yang lebih rendah’, [dan] obsesi Moloch yang mengerikan terhadap penebusan dosa” terkait tindak pemberontakan apa pun. Ia juga menekankan, dalam perbandingan sejarah pendudukan kolonial, “Inggris dan Belanda mengalahkan Prancis.” Di Aljir sendiri, ia melaporkan kepada Engels bahwa hakim progresif Fermé yang sering ia temui sepanjang kariernya menyaksikan “suatu bentuk penyiksaan (…) untuk menggali ‘pengakuan’ dari orang-orang Arab, yang lumrah dilakukan (seperti halnya oleh orang Inggris di India) oleh polisi.”

Fermé juga menuturkan kepada Marx: “Jika, misalnya, suatu pembunuhan dilakukan oleh geng Arab, biasanya dengan tujuan perampokan, dan penjahat sesungguhnya dalam jangka waktu tertentu telah ditangkap, diadili, dan dieksekusi, maka itu belum dianggap cukup sebagai penebusan dosa di mata keluarga penjajah yang dirugikan. Mereka menuntut agar setidaknya setengah lusin orang Arab yang tidak bersalah juga ‘dilibatkan’. (…) Ketika seorang pendatang Eropa tinggal di lingkungan orang-orang yang mereka anggap ‘ras yang lebih rendah’, baik sebagai pemukim atau sekadar berbisnis, ia umumnya menganggap dirinya lebih kebal ketimbang raja.”

Melawan Kolonialisme Inggris di Mesir

Beberapa bulan berselang, Marx pun tak segan-segan mengkritik keras rezim Inggris di Mesir. Perang 1882 yang dilancarkan pasukan Inggris berhasil menghabisi pemberontakan Urabi yang dimulai pada 1879. Tindakan ini memungkinkan Inggris memasukkan Mesir sebagai daerah protektoratnya. Marx murka terhadap kaum progresif yang terbukti gagal mempertahankan posisi kelas yang otonom. Ia memperingatkan wajib hukumnya bagi kaum pekerja untuk menentang lembaga-lembaga dan retorika negara.

Ketika Joseph Cowen, anggota parlemen dan presiden Kongres Koperasi–yang dianggap Marx sebagai “anggota parlemen Inggris terbaik”–membenarkan invasi Inggris ke Mesir, Marx langsung mengecamnya.

Yang lebih penting lagi, ia mencerca pemerintah Inggris: “Bagus ya! Tak ada contoh kemunafikan Kristen yang lebih mencolok selain ‘penaklukan’ Mesir–penaklukan di tengah perdamaian!” Namun Cowen, dalam pidatonya pada 8 Januari 1883 di Newcastle, mengungkapkan kekagumannya atas “eksploitasi heroik” Inggris dan “pesona parade militer kita”; dia juga tak dapat “menahan senyum atas prospek kecil-kecilan dari semua posisi ofensif nan tangguh. Semua itu membentang antara Samudera Atlantik dan Samudera Hindia, serta sebuah ‘Imperium Afrika-Britania’ dari Delta ke Cape.”

Itulah “gaya Inggris” yang dicirikan “tanggung jawab” terhadap “kepentingan dalam negeri”. Dalam hal kebijakan luar negeri, Marx menyimpulkan Cowen sebagai contoh tipikal “kaum borjuis Inggris yang malang, yang mengeluh ketika semakin banyak memikul ‘tanggung jawab’ menjalankan misi bersejarah mereka, seraya sia-sia memprotesnya.”

Marx melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap masyarakat di luar Eropa dan terang-terangan menentang kerusakan akibat kolonialisme. Mengatakan sebaliknya adalah suatu kekeliruan, meski ada skeptisisme instrumental yang hari ini sangat populer di lingkungan akademis liberal tertentu.

Sepanjang hayatnya, Marx mencermati peristiwa-peristiwa penting di panggung politik internasional. Seperti yang bisa kita lihat dari tulisan-tulisan dan surat-suratnya, ia pada 1880-an tegas menolak penindasan kolonial Inggris di India dan Mesir, serta mengecam kolonialisme Prancis di Aljazair. Dia sama sekali bukan eurosentris, tidak pula hanya terpaku pada konflik kelas. Marx berpendapat bahwa studi tentang konflik-konflik politik baru dan kawasan-kawasan pinggiran merupakan hal mendasar dalam kritiknya yang berkelanjutan terhadap sistem kapitalis. Yang terpenting, ia selalu memihak kaum tertindas untuk melawan penindas mereka.

Categories
Reviews

Dwi Rezki Hardianto, Tribun-Timur

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Pengkaji ulung sosiologi pasti tak asing dengan nama Marcello Musto. Ia adalah Profesor Sosiologi York University, Toronto, Kanada.

Bagi Etienne Balibar, Filsuf Kontemporer Prancis Musto adalah pemikir besar yang berkontribusi pada pengkajian kehidupan Marx.

Selama 25 tahun, dirinya bersenggama dengan Marx.

Perjumpaan awal saya dengan beliau melalui dua bukunya Another Marx: Early Manuscripts to the International (2018) dan The Last Years of Karl Marx: An Intellectual Biography (2020). Perjumpaan itu terjadi pada awal tahun ini.

Kemudian kedua adalah perjumpaan langsung. Dalam perjumpaan ini, saya tentu berterima kasih dengan Ronny Agustinus (Pendiri Marjin Kiri) karena telah menghubungkan kami, sehingga pada 21 Juli 2023, Universitas Sawerigading menjadi kampus yang berkesan bagi Musto.

Dari kedua perjumpaan itu saya mampu memahami Marx dengan arah intelektual lain yang tidak hanya berbicara persoalan perjuangan kelas, determinasi ekonomi, dan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Eropa.

Melainkan berbicara tentang kolonialisme, antropologi, gender, perkembangan kapitalisme di Amerika Serikat, kondisi Rusia, bahkan tentang masyarakat Muslim (Arab).

Studi Marx dengan beberapa topik itu dapat ditemui pada rentan tahun 1879-1882 atau 3 tahun terakhir dari hidup Marx melalui buku-buku, catatan-catatan, dan surat-suratnya, baik yang terpublikasi maupun yang tidak terpublikasi.

Tentang Kolonialisme

Studi Marx tentang kolonialisme berkutat pada tahun 1879-1881.

Kajiannya meliputi kolonialisasi Spanyol di Amerika Latin, Inggris di India, dan Prancis di Aljazair.

Marx melihat bahwa bentuk kolonialisasi tersebut dilakukan atas kepentingan penguasaan tanah penduduk setempat.

Bagi Marx, bentuk pendudukan tersebut sangat beragam. Spanyol, misalnya, langkah pertama adalah menaklukkan orang indian (Redskins) dan selanjutnya mempekerjakan mereka untuk mengeruk emas di tanahnya sendiri.

Di India, masyarakat kolektif tetap diberikan kebebasan untuk mengelolah tanahnya, tetapi kepemlikan tersebut diatur melalui regulasi Inggris, seperti pembayaran sewa atas tanahnya sendiri.

Kemudian di Aljazair, langkah utama yang ditempuh oleh Prancis adalah melemahkan kolektivitas masyarakat. kedua, mengalihkan tanah mereka menjadi objek perdagangan bebas melalui regulasi dan mengoversinya menjadi tanah pemerintah.

Dari ketiga lokasi geografis tersebut, Marx lebih condong membahas persoalan India melalui bukunya Notebooks on Indian History (664-1858) yang disusun pada 1879-1880. Dan dari India, Marx dalam suratnya kepada Nikolai Danielson pada Februari 1881 melihat bahwa persoalan yang disebabkan oleh Inggris, justru melahirkan kolektivitas kuat (antara hindu dan muslim) di India untuk melawannya.

Ketiga lokasi geografis itu, sama sekali belum terjamah oleh kapitalisme Eropa, sehingga sangat memungkinkan revolusi terjadi tanpa kehadiran kapitalisme.

Namun, ramalan kaum Marxis generasi justru melihatnya sangat mekanik dan bertahap. Pandangan ini dikutuk oleh Marx.

Menolak Historisisme: Marx Melampaui Zaman Post?

Dalam studi Antropologi Marx, melalui buku The Ethnological Notebooks, Ia mengkritik dengan lantang para antropolog dan etnolog abad 19 dan yang mendaku sebagai Marxis.

Bagi Marx, tatapan mereka terhadap sejarah sangat kaku dan mekanis, mereka seolah-olah menjadikan dunia kapitalis sebagai tujuan yang seragam.

Mereka menggap bahwa sejarah memiliki rentetan tahapan yang tak terhindarkan. Bagi Marx, pandangan seperti ini justru melahirkan kenaifan dan kepasifan. Hal tersebut justru melemahkan gerakan sosial dan politik masyarakat.

Marx dengan tegas menolak seruan historisisme satu arah dan dirinya justru mempertahankan pandangannya bahwa sejarah berlaku fleksibel dan plural.

Dalam posisi ini, Marx kemudian berupaya mendekonstruksi sejarah yang kompleks dari perjalanan zaman primitif hingga kapitalisme. Bahwa kehadiran kapitalisme sebagai tahapan belum tentu hadir di belahan dunia lain.

Pandangan Marx yang seperti itu mengingatkan saya dengan Michel Foucault Filsuf Poststrukturalisme, yang melihat sejarah secara diskontinuitas. Sebab, setiap sejarah memiliki pengetahuan dan rezim kekuasannya masing-masing.

Selain itu, Marx juga menolak adanya hubungan yang mapan (pasti) antara perubahan sosial dengan transformasi ekonomi saja.

Menurut Musto, Marx pada saat itu melepaskan dirinya dari jebakan determinisme ekonomi.

Pandangan itu, mengingatkan saya dengan Antonio Gramsci—sebagai postmarxisme, yang menolak determinisme sturkutur ekonomi dalam mengubah sejarah manusia.

Selain ini, ketika saya berdiskusi dengan Musto, Ia mengatkan bahwa konsep yang digagas oleh Baudrillard soal ekonomi tanda, juga ada di zaman Marx.

Menurutnya, saat itu Marx melihat bahwa mayoritas masyarakat tidak lagi membeli produk karena nilai guna dan nilai tukarnya, tetapi nilai tanda yang melekat pada produk tersebut.

Dari fakta-fakta tersebut, saya menyimpulkan, Marx melampaui zamannya.

Marx di Aljazair: Mengagumi Hubungan Sosial Umat Muslim

Banyak yang mengatakan bahwa Marx sangat membenci agama. Namun, pandangan itu dinegasi melalui perjalanan Marx di Aljazair pada tahun 1882.

Perjalanan itu memiliki dua tujuan: mengobati penyakit Bronkitis akutnya, dan melihat langsung realitas masyarakat muslim. Selama 72 hari Marx bermukim di tepi selatan Mediterania.

Marx melihat bahwa kepemilikan kolektif sangat kuat di kalangan orang-orang arab, pembawaannya yang rendah hati, dan kesetaraan mutlak di antara mereka.

Dalam surat menyuratnya dengan Engels pada 22-25 Februari 1882, Marx mengagumi konsep masyarakat kaum muslim, “Bagi Kaum Muslim tidak ada yang namanya subordinasi, mereka bukan subjek atau warga negara, tidak ada otoritas kecuali dalam politik, sesuatu yang gagal dipahami oleh orang Eropa”.

Marx dalam hal ini justru menyerang pandangan orang-orang Eropa yang sangat angkuh di hadapan kaum Muslim.

Ketika saya berdiskusi dengan Musto, Ia lebih tegas mengatakan bahwa Marx sebenarnya tidak membenci agama. Ia berupaya agar agama tidak dijadikan sebagai sebagai opium, dan biarlah agama menjadi hal privat bagi seseorang.

Objek kritik dari Marx adalah ketika masyarakat sangat konservatif dengan agamanya. Marx berharap agama menjadi alat yang sangat progresif, sebagaiaman yang terjadi di Aljazair.

Sejalan dengan harapan Marx dalam bukunya A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843), masyarakat yang beragama seharusnya menjadikan kritik surga menjadi kritik bumi, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik. Inilah harapan Marx.

Dan Aljazair menjadi perjalanan terakhir Marx. Subhanallah! (*)

 

Categories
Reviews

Anindita S Thayf, Kompas

Sosok Karl Marx kerap dikaitkan dengan kata komunis dan ateis. Dunia mengenalnya karena memperjuangkan kepentingan kelas proletar. Sosok Marx memang kerap diselimuti prasangka buruk. Pemikiran kritis Marx kerap dianggap berbahaya dan terlarang.

Siapa sesungguhnya Karl Marx? Buku Marx: Biografi Intelektual dan Politik karya Marcello Musto ini bisa membantu kita mengenali sosoknya lebih mendalam, setidaknya memperkaya studi pemikiran kritis.

Ekonomi politik

Sebagaimana anjuran ayahnya, Marx memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar hukum sebelum bergeser ke filsafat dan sastra. Peralihan ini memperlihatkan ketertarikan intelektual Marx yang berubah. ”Sedikit demi sedikit, filsafat mengambil alih studi hukum,” tulis Musto (hlm 35).

Marx adalah tipe mahasiswa kutu buku yang sangat rajin mencatat apa pun yang ditemukannya dari setiap bacaan. Pada suatu hari bertemulah dia dengan ajaran Friedrich Hegel, yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bagian dari kelompok ”Hegelian Kiri”.

Kala itu, di Jerman, sosok Hegel merupakan magnet bagi mahasiswa yang serius mempelajari filsafat. Namun, bagi Marx, filsafat hanyalah salah satu persinggahan.

Ketika tinggal di Paris, Marx mulai tertarik mempelajari ekonomi politik. Ketertarikan ini berawal dari masalah hukum yang pernah dipelajarinya.

Ketika mempelajari hukum, Marx menemukan persoalan dalam hukum dan politik yang tak bisa dipecahkan secara terpisah. Ada keterkaitan hukum dengan politik, begitu pula masalah-masalah di dua bidang ini. Marx mendapati ekonomi dan politik pun ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Saat mendalami masalah-masalah ekonomi dan politik, ia menemukan kelemahan dari kajian ekonom borjuis terkait perkembangan corak produksi kapitalisme. Tampak perkembangan corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang alamiah dan tak selalu seragam di setiap waktu dan tempat.

Maka, penindasan terhadap kelas proletar dan alienasi yang terjadi kepada mereka tidak terjadi alamiah, melainkan produk masyarakat kapitalis. Dari sinilah Marx mendapatkan landasan bahwa corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang tak bisa diubah.

Selain ekonomi dan politik, sejarah juga dipelajari Marx. Dari bidang ini, dia sampai pada kesimpulan, sebagaimana tertulis dalam Manifesto Komunis, bahwa ”sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”.

Dari situasi semacam itulah corak produksi masyarakat berubah dan berkembang: berawal dari komune primitif, lalu perbudakan, feodalisme, hingga lahirlah kapitalisme.

Lewat buku karya Musto ini, pembaca diajak melihat kegigihan Marx memperdalam kajian ekonomi politik. Teori, argumen, dan ujaran ekonom besar dunia, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan Pierre-Joseph Proudhon, dipelajari Marx dengan tekun. Sebelum menulis Das Kapital, sebagai fondasi kajiannya, Marx melahirkan buku, antara lain, Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1884, Ideologi Jerman, dan Grundrisse.

Sebagai karya babon, buku teori ekonomi politik Das Kapital memaparkan dan menelaah perkembangan masyarakat kapitalis kapan saja dan di mana saja. Lewat berbagai contoh, yang sebagian besar diambil dari perkembangan ekonomi kapitalis Inggris yang dianggap paling maju kala itu, Marx menguraikan hukum-hukum pokok ekonomi politik kapitalisme, mulai dari komoditas, pertukaran, sirkulasi komoditas, produksi nilai absolut, hari kerja, nilai lebih, upah, hingga akumulasi kapital.

Hukum-hukum itu bisa digunakan guna melihat penindasan yang dilakukan kapitalisme terhadap rakyat jelata dan proletar. Di titik ini, terlihat proletariat dirampok dan diasingkan oleh borjuasi.

Intelektual dan aktivis

Kisah Marx tak melulu perkara Das Kapital, tetapi juga keterlibatannya dalam gerakan politik. Julien Benda menyatakan, posisi intelektual semestinya tak hanya terpisah dari kehidupan ekonomi politik, tetapi lebih daripada itu: posisinya sebaiknya berada di luar semua itu. Dengan kata lain, intelektual adalah orang yang berumah di atas angin.

Namun, Marx berada di luar kategori intelektual sebagaimana yang diinginkan Benda. Dia lebih seperti apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai bagian dari ”intelektual organik”.

Kepada pembacanya, Musto menggambarkan Marx tidak berumah di atas angin. Dia tak terpisah dari tempatnya berpijak. Dialah soko guru perjuangan kelas pekerja Eropa.

Bersama tokoh-tokoh sosialis yang lain, Marx terlibat dalam pembentukan Asosiasi Kelas Pekerja Internasional. Ia bukan anggota pasif yang enggan turun ke lapangan. Dia aktif terlibat dalam berbagai pertemuan, penyusunan naskah politik, perdebatan, dan aksi politik.

Sikap Marx sebagai intelektual yang tak hanya berteori merupakan upayanya untuk membumikan pemikirannya. Sebagai materialis, Marx tak berjarak dengan realitas. Dia merasakan langsung setiap upaya kebangkitan, kehancuran, dan pertentangan, sebagai dinamika gerakan politik demi mewujudkan sebuah cita-cita.

Selain sebagai intelektual dan aktivis, Marx juga penulis yang pantang menyerah. Musto menggambarkan Marx berjuang keras untuk terus menulis di tengah kondisi hidupnya yang sangat miskin dan kesehatannya yang buruk.

Kemelaratan hidup Marx diperparah dengan penyakit yang bergantian menderanya, seperti cacar, sakit gigi, hingga peradangan hati yang membuatnya ”tersiksa seperti Ayub, walaupun tidak taat”, yang menyebabkannya dilarang menulis oleh dokter (hlm 172).

Buku-buku Marx hingga detik ini menjadi bahan studi di berbagai perguruan tinggi di dunia. Ketika seorang wartawan Amerika bertanya tentang arti dari eksistensi manusia, ”Apakah itu ada?”, Marx tegas menjawab, ”Berjuang!”

Sesungguhnya, itulah Marx yang sejati. Manusia yang terus berjuang sebagai intelektual, aktivis politik, dan penulis.

Categories
Journalism

Yang Terjadi Ketika Karl Marx Menerjemahkan Kapital ke Dalam Bahasa Prancis

PADA Februari 1867, setelah lebih dari dua dekade melakukan kerja-kerja maha berat, Karl Marx akhirnya bisa mengirimkan Friedrich Engels sebuah kabar yang telah lama dinanti: bagian pertama dari kritik atas ekonomi politik telah selesai. Setelah itu, Marx melancong dari London ke Hamburg untuk mengirimkan manuskrip magnum opus-nya, Jilid I (“Proses Produksi Kapital”). Dalam persetujuan dengan editornya Otto Meissner, diputuskan bahwa Kapital akan muncul dalam tiga bagian. Marx yang bungah menulis bahwa penerbitan bukunya “tanpa diragukan lagi adalah misil paling mengerikan yang pernah diluncurkan ke kepala borjuasi.”

Terlepas dari kerja-kerja penyusunan Kapital yang sangat lama sebelum 1867, struktur buku ini kelak akan mengalami perluasan besar-besaran. Kapital jilid pertama juga menyedot energi Marx, bahkan setelah penerbitannya. Salah satu contoh paling nyata adalah Kapital terjemahan Prancis yang diterbitkan dalam 44 seri sejak 1872 hingga 1875. Edisi ini bukan hanya terjemahan, tetapi juga “direvisi sepenuhnya oleh penulis.” Marx memperdalam bagian tentang proses akumulasi kapital dan mengembangkan ide-idenya dengan lebih baik tentang perbedaan antara “konsentrasi” dan “sentralisasi” kapital.

Mencari Versi Definitif

Setelah beberapa kali terinterupsi karena gangguan kesehatan dan melewati masa-masa intens dalam aktivitas politik Asosiasi Pekerja Internasional, Marx mengerjakan edisi baru Kapital jilid pertama pada awal 1870-an. Tak puas dengan cara yang sudah ditempuh untuk menjelaskan teori nilai, Marx menghabiskan bulan-bulan Desember 1871 dan Januari 1872 untuk menuliskan ulang sesuatu yang telah ia terbitkan pada 1867. Edisi baru Kapital yang menyertakan perubahan-perubahan tersebut terbit pada 1872.

Tahun 1872 juga bernilai penting karena penerbitan Kapital dalam bahasa Rusia. Pengerjaan edisi terjemahan Prancis dipercayakan kepada Joseph Roy, yang sebelumnya telah menerjemahkan sejumlah teks filsuf Jerman Ludwig Feuerbach. Kapital jilid pertama pun dirilis oleh penerbit Maurice Lachâtre dalam beberapa seri. Seri pertama diterbitkan pada 17 September 150 tahun lalu.

Marx menyepakati pentingnya “edisi populer yang dibanderol dengan harga murah.” “Saya sungguh salut dengan ide Anda untuk menerbitkan terjemahan […] secara berkala,” tulis Marx. “Dalam corak terbitan ini Kapital akan lebih mudah diakses oleh kelas pekerja dan buat saya pertimbangan itu melebihi pertimbangan-pertimbangan lain,” demikian sikap Marx di hadapan penerbit.

Di sisi lain, Marx menyadari ada dampak lain dari pendekatan ini; ia sudah menduga “metode analisis” yang ia gunakan akan “mempersulit pembacaan di bab-bab awal.” Ia juga menduga pembaca akan “kehilangan selera” ketika “sejak awal tidak mendapat kejelasan.” Dia merasa tidak bisa berbuat apa-apa tentang “kerugian” ini selain memperingatkan para pembaca yang peduli dengan kebenaran. “Tidak ada jalan mulus untuk belajar dan satu-satunya yang memiliki kesempatan untuk mencapai puncak pembelajaran yang terang benderang matahari adalah mereka yang tidak takut lelah saat mendaki jalan menanjak nan curam.”

Pada akhirnya, Marx harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk terjemahan daripada yang sebelumnya dia rencanakan untuk mengoreksi bahan pra-cetak. Marx menyurati ekonom Rusia Nikolai Danielson bahwa terjemahan Roy “sering terlalu harfiah” dan ini memaksa dirinya “menuliskan ulang seluruh bagian dalam bahasa Prancis agar lebih cocok untuk publik Prancis.” Awal bulan itu, putri Marx, Jenny, memberi tahu Ludwig Kugelmann (teman keluarga Marx) bahwa ayahnya “wajib membuat koreksi yang tak terhitung banyaknya,” menuliskan ulang “tidak hanya seluruh kalimat tetapi seluruh halaman.” Selanjutnya, Engels menulis dengan nada mirip Kugelmann bahwa terjemahan bahasa Prancis terbukti menjadi “batu sandungan” untuk Marx dan dia “kurang lebih harus menuliskan ulang semuanya dari awal.”

Selain itu, dalam revisi terjemahan, Marx memutuskan untuk menambah dan mengubah beberapa pokok. Dalam post-scriptum untuk Le Capital, dia tidak ragu menyatakan bahwa edisi Prancis memiliki “bobot ilmiah tersendiri yang berbeda dari versi aslinya” dan versi baru ini “harus dirujuk bahkan oleh pembaca yang akrab dengan bahasa Jerman.”

Hal paling menarik dalam edisi Prancis, terutama secara politis, berkaitan dengan kecenderungan historis produksi kapitalis. Di dalam Kapital edisi sebelumnya Marx menulis bahwa “negara yang industrinya lebih maju akhirnya akan menunjukkan kepada negeri-negeri yang kurang berkembang gambaran masa depannya sendiri.” Di dalam edisi Prancis kata-kata yang dicetak miring tersebut diganti dengan “negeri-negeri yang mengekornya menapaki tangga industri.” Klarifikasi ini membatasi kecenderungan perkembangan kapitalis hanya pada negara-negara Barat yang sudah terindustrialisasi.

Marx kini sepenuhnya menyadari bahwa skema kemajuan linier yang berlangsung dalam rentetan skema “moda produksi Asiatik, kuno, feodal, dan modern” yang ia ilustrasikan di bagian Kata Pengantar tulisan A Contribution to the Critique of Political Economy (1859) rupanya tidak memadai untuk memahami gerak sejarah. Di titik ini Marx juga menyadari pentingnya menghindari filsafat sejarah apa pun. Dia tidak lagi melihat perkembangan sejarah dalam kerangka kemajuan linier tak tergoyahkan menuju sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Konsepsi multilinear yang lebih menonjol dan dikembangkan Marx selama tahun-tahun terakhir membuatnya lebih memperhatikan kekhususan historis dan ketidakrataan perkembangan politik dan ekonomi di berbagai negeri dan konteks sosial. Pendekatan ini tentu saja menambah kesulitan yang sudah ia hadapi dalam proses jilid kedua dan ketiga Kapital.

Dalam dekade terakhir hidupnya, Marx melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap masyarakat di luar Eropa dan terang-terangan menyatakan penentangannya terhadap kerusakan-kerusakan akibat kolonialisme—adalah suatu kesalahan untuk mengatakan sebaliknya. Marx mengkritik para pemikir yang menyoroti dampak-dampak destruktif kolonialisme namun menggunakan kategori-kategori untuk konteks Eropa saat menganalisis wilayah-wilayah pinggiran dunia. Ia beberapa kali memperingatkan mereka yang gagal mengamati perbedaan-perbedaan penting di antara satu fenomena dengan lainnya. Terutama setelah mengalami kemajuan teoretis pada 1870-an, ia sangat berhati-hati mentransfer kategori interpretatif ke ranah kajian sejarah atau geografi yang jelas berbeda. Semua ini lebih terang berkat Le Capital .

Dalam sebuah surat bertarikh 1878, Marx menimbang sisi positif dan negatif dari edisi Prancis. Dalam surat yang tertuju kepada Danielson, Marx menyatakan edisi Prancis mengandung “banyak perubahan dan tambahan penting.” Namun, edisi Prancis ini juga membuatnya merasa “terkadang diwajibkan—terutama dalam bab pertama—untuk menyederhanakan bahasan.” Engels memiliki pendapat yang sama dan tidak memasukkan semua perubahan yang dibuat oleh Marx ke dalam Kapital edisi Jerman cetakan keempat yang ia terbitkan pada 1890, tujuh tahun setelah kematian sobatnya itu. Marx tidak dapat menyelesaikan revisi akhir Kapital, Jilid I yang mencakup pokok-pokok perbaikan dan penambahan sebagai penyempurna. Faktanya, baik edisi Prancis 1872-75 maupun edisi Jerman cetakan ketiga—yang terbit pada 1881—tidak bisa dipandang sebagai versi definitif yang didambakan Marx.

Le Capital

Le Capital sangat penting bagi penyebaran karya Marx ke seluruh dunia. Ia digunakan untuk menerjemahkan banyak kutipan ke dalam berbagai bahasa—yang pertama dalam bahasa Inggris, misalnya. Secara lebih umum, Le Capital adalah pintu masuk pertama ke karya-karya Marx bagi pembaca di berbagai negara. Terjemahan Italia pertama—diterbitkan antara 1882 dan 1884—dikerjakan langsung dari edisi Prancis. Demikian pula terjemahan yang muncul di Yunani pada 1927. Dalam kasus bahasa Spanyol, Le Capital memungkinkan penerbitan beberapa edisi parsial dan dua terjemahan lengkap: satu di Madrid (1967) dan satu lagi di Buenos Aires (1973).

Karena bahasa Prancis lebih dikenal daripada bahasa Jerman, berkat versi inilah kritik ekonomi politik Marx dapat menjangkau lebih banyak negara di Amerika Latin dengan cepat. Hal yang sama juga berlaku untuk negeri-negeri penutur bahasa Portugis. Di Portugal sendiri, Kapital hanya beredar dalam oplah yang sangat terbatas dalam bahasa Prancis. Barulah menjelang kejatuhan kediktatoran Salazar versi singkatnya muncul dalam bahasa. Secara umum, para aktivis politik dan peneliti di Portugal dan Brasil merasa lebih mudah mengakses karya Marx melalui terjemahan Prancis ketimbang bahasa aslinya. Beberapa karya yang masuk ke negara-negara Afrika berbahasa Portugis juga dicetak dalam bahasa Prancis.

Kolonialisme pun turut membuat Kapital tersedia di dunia Arab. Di Mesir dan Irak, bahasa Inggris memainkan peranan terdepan dalam penyebaran budaya Eropa. Edisi Prancis punya peran yang lebih menonjol di sejumlah tempat lain, terutama Aljazair, yang pada 1960-an menjadi pusat penyebaran ide-ide Marxis di negara-negara Non-Blok. Arti penting Le Capital juga bergaung ke Asia, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa terjemahan Vietnam pertama Jilid I—yang diterbitkan antara 1959 dan 1960—bersandar pada edisi Prancis.

Dengan demikian, selain sering dirujuk oleh para penerjemah mancanegara dan dicocokkan dengan edisi 1890 terbitan Engels (versi standar Kapital), terjemahan bahasa Prancis pun telah menjadi dasar untuk terjemahan lengkap Kapital ke dalam delapan bahasa. Seratus lima puluh tahun sejak publikasi pertamanya, buku ini terus menjadi sumber perdebatan yang menggairahkan di kalangan peneliti dan aktivis yang tertarik pada kritik Marx terhadap kapitalisme.

Dalam sebuah surat kepada kawan lamanya Friedrich Adolph Sorge, Marx mengatakan bahwa Le Capital telah “menguras begitu banyak waktu[nya] sehingga [ia] tidak akan mengerjakan kolaborasi terjemahan macam mana pun.” Dan itulah yang terjadi. Kerja keras Marx untuk menghasilkan Kapital edisi Prancis terbaik memang luar biasa. Bisa dibilang semua kerja keras itu terbayar. Le Capital memiliki sirkulasi yang signifikan. Pokok-pokok yang ditambahkan atau diubah oleh Marx selama revisi terjemahan juga menambah dimensi anti-kolonial dan universal kepada Kapital, yang kini diakui secara luas berkat sejumlah kontribusi terbaru dan paling mumpuni dalam studi Marx.

Categories
Journalism

Apa Kata Marx tentang Pemerintahan Teknokrat

HANYA segelintir orang yang tahu bahwa di belantara topik yang menjadi perhatian Marx, ia juga sempat menulis kritik terhadap apa yang disebut-sebut “pemerintahan teknis” (atau pemerintahan teknokrat). Sebagai kontributor New York Tribune, salah satu suratkabar dengan sirkulasi terluas pada masanya, Marx mengamati arah perkembangan politik dan institusional yang kelak melahirkan satu di antara pemerintahan teknokrat pertama dalam sejarah: kabinet Earl of Aberdeen, yang berlangsung sejak Desember 1852 hingga Januari 1855.

Laporan-laporan Marx menonjol karena ketajaman dan sarkasmenya. Harian The Times merayakan momen-momen 1852 itu sebagai tanda bahwa Inggris berada di fajar ‘ketika ruh partai politik lenyap dari bumi, digantikan kejeniusan, pengalaman, industri, dan patriotisme yang menjadi satu-satunya kualifikasi untuk menduduki jabatan’. Suratkabar London ini menyerukan ‘orang-orang dari semua kubu politik’ untuk bersatu menyokong pemerintah baru karena ‘prinsip-prinsipnya yang didukung dan bisa diterima semua kalangan’. Argumen serupa dikemukakan pada Februari 2021, ketika Mario Draghi, mantan Presiden Bank Sentral Eropa, menjadi Perdana Menteri Italia.

Dalam artikel bertajuk “A Superannuanted Administration: Prospect of the Coalition Ministry” (1853), Marx mencemooh sudut pandang The Times. Hal-hal yang dianggap modern dan memikat bagi suratkabar terdepan Inggris itu sangat rupanya sekadar lelucon di mata Marx. Ketika The Times mendeklarasikan “sebuah kabinet yang terdiri dari sosok-sosok baru, muda, dan menjanjikan”, Marx menyatakan bahwa “dunia pastinya tidak akan kaget menyaksikan era baru dalam sejarah Inggris Raya ini diresmikan oleh orang-orang kepala delapan yang sudah bau tanah”. Di samping menyoroti orang-orang di kabinet tersebut, Marx juga menyoroti kepentingan yang lebih besar dan kebijakan-kebijakan dalam kabinet ini: “Kita dijanjikan bahwa konflik antar partai—bahkan partai itu sendiri—akan lenyap,” kata Marx. “Lalu apa artinya The Times?”

Sayangnya isu yang diangkat Marx sangat penting buat hari ini, ketika kuasa kapital atas pekerja semakin liar persis seperti yang terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pemisahan antara ekonomi dan politik—yang membedakan kapitalisme dari mode produksi sebelumnya—telah mencapai puncak. Tak hanya mendominasi politik dan mendikte agenda beserta keputusan-keputusannya, kuasa ekonomi bahkan berada di luar yurisdiksi politik dan kontrol demokratik—sampai-sampai perubahan pemerintahan tidak lagi mengubah arah kebijakan sosial dan ekonomi, yang tidak bergeser sama sekali.

Selama tiga puluh tahun terakhir, kewenangan dalam pengambilan keputusan telah berpindah dari ranah politik ke ekonomi. Opsi-opsi kebijakan yang sesungguhnya partisan kini sudah menjadi imperatif ekonomi yang menutup-nutupi proyek politik dan reaksioner ini dengan topeng ideologis kepakaran yang seolah apolitis. Diopernya unsur-unsur politik ke ekonomi, sebagai ranah khusus yang tahan perubahan, turut memunculkan ancaman terbesar terhadap demokrasi di zaman kita. Parlemen—yang marwah perwakilannya sudah terkikis oleh sistem pemilu yang berat sebelah dan campur tangan otoriter terhadap hubungan eksekutif-legislatif—mendapati kekuasaannya dirampas dan dioper ke ‘pasar’. Pemeringkatan oleh Standard & Poor’s dan indeks Wall Street—jimat sakti masyarakat dewasa ini—dianggap lebih lebih besar bobotnya ketimbang kehendak rakyat. Paling banter, pemerintah hanya mampu ‘mengintervensi’ ekonomi. Kelas penguasa terkadang memang perlu mengurangi anarki kapitalisme beserta krisis-krisisnya yang merusak. Namun, pemerintah tidak akan bisa menggugat aturan dan pilihan-pilihan mendasar di bidang ekonomi.

Seorang wakil terkemuka dari fenomena ini adalah mantan Perdana Menteri Italia Draghi. Selama 17 bulan, ia memimpin koalisi yang sangat luas. Isinya termasuk Partai Demokrat, Silvio Berlusconi (musuh bebuyutan Draghi), hingga Five Star Movement yang populis dan partai kanan Lega Nord. Kita bisa menyaksikan ditangguhkannya politik di balik kedok istilah “pemerintahan teknis”—atau dalam bahasa mereka: “pemerintah yang terdiri dari orang-orang terbaik” atau “pemerintahan yang diisi orang-orang berbakat’ Dalam beberapa tahun terakhir, pendapat bahwa tidak boleh ada pemilu baru setelah krisis politik kian santer; politik harus menyerahkan seluruh kendali kepada ekonomi. Dalam sebuah artikel yang terbit pada April 1853, “Achievements of the Ministry”, Marx menulis bahwa “Kabinet Koalisi (‘teknis’) adalah simbol ketidakberdayaan politis”. Pemerintah tidak lagi membahas haluan ekonomi mana yang akan diambil. Sekarang haluan ekonomilah yang melahirkan pemerintahan.

Sebuah mantra neoliberal terus didengungkan beberapa tahun terakhir di Eropa: guna memulihkan ‘kepercayaan’ pasar, diperlukan percepatan ‘reformasi struktural’, sebuah ungkapan yang kini sama artinya dengan kehancuran sosial: pemotongan upah, serangan terhadap hak-hak kelas pekerja terkait perekrutan dan pemecatan, kenaikan usia pensiun, dan privatisasi berskala besar. Jalan ‘reformasi struktural’ ini telah ditempuh “pemerintahan-pemerintahan teknokratik” baru pimpinan orang-orang yang CV-nya penuh pengalaman pernah bekerja di institusi-institusi ekonomi yang paling bertanggung jawab atas krisis ekonomi. Mereka mengaku harus mengambil kebijakan-kebijakan tersebut “demi kemaslahatan negara” dan “generasi mendatang”. Tak hanya itu, kuasa ekonomi dan media arus utama pun mati-matian membungkam siapapun yang bersuara kritis.

Per hari ini Draghi tidak lagi menjadi Perdana Menteri Italia. Koalisinya telah ambruk karena ekstremnya perbedaan kebijakan-kebijakan dari partai-partai pendukungnya. Pemilu Italia akan diadakan lebih awal pada 25 September. Jika kaum Kiri tidak ingin lenyap, mereka harus berani mengusulkan kebijakan radikal yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kekinian yang paling mendesak, dimulai dari krisis lingkungan. Orang-orang yang tidak mampu menjalankan program transformasi sosial dan redistribusi kekayaan adalah para ‘teknokrat’—yang sebenarnya sangat politis—seperti bankir Mario Draghi.

Dan Draghi tidak akan dirindukan.***

Categories
Journalism

Agresi Rusia, Ekspansi NATO dan Skenario Perang di Ukraina: Percakapan dengan Étienne Balibar, Silvia Federici, dan Michael Löwy

PERANG di Ukraina dimulai empat bulan lalu. Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, perang ini telah menewaskan lebih dari 4.500 warga sipil dan menciptakan hampir lima juta pengungsi. Angka-angka ini tidak termasuk kematian personel militer—setidaknya 10.000 orang Ukraina dan mungkin lebih banyak lagi di pihak Rusia—serta jutaan orang yang telah mengungsi di dalam perbatasan Ukraina.

Invasi ke Ukraina telah melumat kota-kota dan infrastruktur sipil. Butuh beberapa generasi untuk membangunnya kembali. Invasi juga menimbulkan kejahatan perang berskala besar, seperti yang dilakukan selama pengepungan Mariupol oleh pasukan Rusia.

Saya menggelar diskusi roundtable bersama tiga pemikir Marxis: Étienne Balibar, Profesor Filsafat Eropa Kontemporer di Kingston University (London, Inggris Raya), Silvia Federici, Profesor Emeritus Filsafat Politik di Universitas Hofstra (Hempstead, Amerika Serikat) dan Michael Löwy, Direktur Riset Emeritus di Centre national de la recherche scientifique (Paris, Prancis). Diskusi ini digelar untuk meninjau apa yang terjadi sejak perang meletus, merefleksikan peran NATO, dan menimbang kemungkinan-kemungkinan skenario masa depan.

Rangkuman pembicaraan di bawah ini lahir dari serangkaian komunikasi selama beberapa pekan terakhir melalui email dan telepon.

Marcello Musto (MM): Invasi Rusia ke Ukraina telah mengembalikan Eropa ke kebrutalan perang dan menghadapkan dunia pada dilema bagaimana merespons serangan terhadap kedaulatan Ukraina.

Michael Löwy (ML): Selama Putin ingin melindungi minoritas penutur bahasa Rusia di wilayah Donetsk, ada rasionalitas tertentu dalam kebijakannya. Ini juga berlaku pada sikapnya yang menentang ekspansi NATO di Eropa Timur. Namun, invasi brutal ke Ukraina—dengan serangkaian pengeboman kota dan ribuan korban sipil termasuk lansia dan anak-anak—tidak memiliki pembenaran.

Étienne Balibar (EB): Perang di depan mata kita ini adalah perang “total”. Ini perang teror dan bumi hangus oleh tentara negeri jiran yang lebih kuat. Pemerintahan negara ini ingin militernya terlibat petualangan imperialis yang tak berujung. Sikap penting dan mendesak yang harus diambil adalah bahwa perlawanan Ukraina harus dipertahankan. Untuk itulah perlawanan ini harus benar-benar didukung oleh tindakan, bukan sekadar perasaan. Tindakan apa? Pada titik inilah bermula perdebatan taktik, kalkulasi efektivitas tindakan, serta risiko “defensif” dan “ofensif”. Yang jelas, pilihannya bukan “wait and see”.

MM: Di samping perlawanan balik Ukraina yang sah dilakukan, ada persoalan yang sama pentingnya, soal bagaimana Eropa bisa menghindari citra sebagai sebagai aktor dalam perang ini alih-alih sebagai pihak yang sekuat mungkin berkontribusi untuk diplomasi demi mengakhiri konflik bersenjata. Terlepas dari retorika permusuhan tiga bulan terakhir, itulah yang tampak dalam sebagian besar opini publik: Eropa tidak boleh ambil bagian dalam perang. Pokok terpenting dalam opini publik ini adalah bagaimana agar penduduk yang menderita tidak semakin banyak. Karena bahayanya adalah bangsa ini [Ukraina] akan dianggap bangsa yang menjadi martir di tangan Rusia. Ukraina akan berubah menjadi kamp militer yang menerima senjata dari NATO dan mengobarkan perang panjang untuk kepentingan Washington yang ingin menyaksikan Rusia lemah secara permanen dan Eropa bergantung secara ekonomi dan militer kepada Amerika Serikat.

Jika ini terjadi, konflik akan melebar keluar dari isu pertahanan kedaulatan Ukraina. Mereka yang sejak awal mengecam bahaya beruntun perang pasca-pengiriman senjata berat ke Ukraina tentu bukannya tidak menyadari kekerasan harian di sana dan tidak pula ingin menyerahkan penduduk Ukraina ke kuasa militer Rusia. “Non-blok“ tidak berarti netralitas atau kesetaraan, seperti yang muncul dalam berbagai karikatur. Ini bukan soal pasifisme abstrak sebagai prinsip; ini alternatif diplomatik yang konkret. Artinya, menimbang secara hati-hati setiap tindakan atau ujaran bisa mendekatkan kita ke tujuan pokok dalam situasi saat ini, yaitu membuka keran negosiasi yang kredibel demi memulihkan perdamaian.

Silvia Federici (SF): Tidak ada dilema di sini. Perang Rusia di Ukraina harus dikecam. Penghancuran kota, pembunuhan orang-orang tak berdosa, teror yang harus dialami ribuan warga—semua ini tidak bisa dibenarkan. Bukan cuma kedaulatan yang dilanggar dalam tindakan agresi ini. Tapi saya setuju kita juga harus mengutuk manuver-manuver AS dan NATO untuk mengobarkan perang ini, mengutuk keputusan Amerika Serikat dan Uni Eropa mengirim senjata ke Ukraina, yang akan memperpanjang perang entah sampai kapan. Tidak pantas mengirim senjata mengingat invasi Rusia bisa dihentikan seandainya AS menjamin NATO tidak melakukan ekspansi ke perbatasan Rusia.

MM: Salah satu hal utama yang dibicarakan sejak awal perang adalah jenis bantuan apa yang bisa diberikan ke Ukraina untuk mempertahankan diri dari agresi Rusia tanpa harus menggiring situasi ke kehancuran lebih besar di dalam negeri dan memperluas konflik secara global. Di antara isu-isu yang diperdebatkan beberapa bulan terakhir adalah permintaan Zelensky untuk pemberlakuan zona larangan terbang di langit Ukraina, taraf sanksi ekonomi untuk Rusia, dan yang lebih penting, tepat atau tidaknya mengirimkan senjata ke pemerintah Ukraina. Menurut Anda, apa keputusan yang harus diambil agar jumlah korban tidak bertambah dan eskalasi lebih lanjut bisa dicegah?

ML: Banyak kritik yang bisa dilontarkan terhadap Ukraina saat ini: kurangnya demokrasi, penindasan terhadap minoritas berbahasa Rusia, ‘oksidentalisme’, dan banyak lagi yang lainnya. Tapi ini tidak membatalkan hak rakyat Ukraina untuk membela diri melawan invasi Rusia ke wilayah mereka, melawan serbuan yang disertai penghinaan luar biasa terhadap hak bangsa-bangsa dunia untuk menentukan nasib sendiri.

EB: Saya akan bilang bahwa perang Ukraina melawan invasi Rusia adalah “perang yang adil” (just war) dalam artian yang paling tegas. Saya sangat sadar “just war” adalah kategori yang bisa dipertanyakan. Saya juga sadar bahwa di Barat, istilah ini punya riwayat panjang yang mustahil dilepaskan dari manipulasi dan kemunafikan, atau ilusi-ilusi yang akhirnya melahirkan bencana. Tapi saya tidak melihat ada istilah lain yang cocok. Jadi, saya mengapropriasi istilah ini sekaligus menekankan bahwa perang “adil” adalah situasi di mana pengakuan atas legitimasi pihak yang melakukan pembelaan diri dalam agresi—kriteria dalam hukum internasional—tidak cukup, namun kita perlu berkomitmen terhadap pihak yang satu ini.

Ini perang yang menempatkan orang-orang seperti saya—yang menganggap semua perang di seluruh dunia dalam situasi hari ini tidak bisa dibenarkan atau membawa malapetaka—tidak punya pilihan untuk bersikap pasif karena akibatnya akan lebih buruk lagi. Jadi, saya tidak merasa antusias, tetapi saya memilih melawan Putin.

MM: Saya paham apa saja yang melatarbelakangi amatan-amatan ini, tapi saya akan lebih menyoroti apa saja yang dibutuhkan untuk mencegah malapetaka besar. Karena itu, saya akan fokus pada kebutuhan mencapai kesepakatan damai yang sangat mendesak ini. Semakin lama waktu yang diperlukan, semakin besar potensi perang terus meluas. Tak seorang pun berniat memalingkan diri dan mengabaikan apa yang terjadi di Ukraina. Tapi kita harus sadar ketika negeri adidaya berkekuatan nuklir seperti Rusia terlibat, sementara tidak ada gerakan pro-perdamaian yang cukup besar yang aktif di sana, maka anggapan bahwa perang melawan Putin dapat “dimenangkan” adalah ilusi.

EB: Saya sangat takut terjadi eskalasi militer—termasuk nuklir. Ini menakutkan dan kelihatannya bukan mustahil. Tapi pasifisme bukanlah pilihan. Kebutuhan paling mendesak adalah membantu Ukraina melawan agresi. Jangan sampai kita memainkan kartu “non-intervensi” lagi. Uni Eropa juga sudah terlibat dalam perang. Kalaupun tidak mengirim pasukan, Uni Eropa mengirimkan senjata—dan saya pikir itu tindakan yang tepat. Itu bentuk intervensi.

MM: 9 Mei lalu pemerintahan Biden menyetujui Ukraine Democracy Defense Lend-Lease Act of 2022. Isinya paket bantuan militer dan keuangan lebih dari 40 miliar dolar AS untuk Ukraina. Ini jumlah yang sangat besar—yang belum mencakup bantuan dari berbagai negara Uni Eropa—dan tampaknya dirancang untuk mendanai perang berkepanjangan. Biden sendiri menegaskan kesan ini pada 15 Juni, ketika ia mengumumkan AS akan mengirimkan bantuan militer senilai satu miliar dolar lagi. Pasokan senjata yang semakin besar dari AS dan NATO mendorong Zelensky untuk terus menunda perundingan yang sangat dibutuhkan dengan pemerintah Rusia. Selain itu, mengingat senjata yang dikirim dalam banyak perang di masa lalu akhirnya digunakan oleh pihak lain untuk tujuan yang berbeda, tampaknya masuk akal untuk bertanya-tanya apakah pengiriman senjata ini semata bertujuan untuk mengusir pasukan Rusia dari Ukraina.

SF: Saya pikir langkah terbaik adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan jaminan kepada Rusia bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO. Pokok ini telah dijanjikan kepada Mikhail Gorbachev saat runtuhnya Tembok Berlin, meskipun tidak tertulis. Sayangnya, tidak ada minat mencari solusi. Banyak orang di struktur militer dan politik AS yang selama bertahun-tahun mendukung dan mempersiapkan konfrontasi dengan Rusia. Perang hari ini dengan mudah digunakan untuk membenarkan peningkatan besar dalam ekstraksi minyak bumi dan mengesampingkan semua isu pemanasan global. Biden sudah gagal menepati janji kampanyenya untuk menghentikan pengeboran di tanah-tanah warga asli Amerika. Kita juga menyaksikan pengalihan dana miliaran dolar—yang semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup ribuan orang Amerika—ke military industrial complex AS, salah satu pemenang utama dalam perang ini. Perdamaian tidak akan terwujud melalui eskalasi militer.

MM: Mari kita bahas reaksi kaum kiri terhadap invasi Rusia. Meskipun hanya segelintir organisasi membuat kesalahan politik yang besar ketika menolak untuk secara tegas mengutuk “operasi militer khusus” Rusia. Di luar kesalahan-kesalahan lain, ini kesalahan yang bisa mempersulit mereka—atau membuat mereka tidak kredibel—ketika mereka ingin mengecam tindakan agresi NATO kelak. Ini mencerminkan pandangan yang sempit ideologis yang mereduksi pemahaman politik menjadi satu dimensi belaka: seolah-olah semua isu geopolitik harus dinilai bobotnya semata-mata dalam upaya melemahkan AS.

Pada saat bersamaan, terlalu banyak orang kiri yang menyerah pada godaan untuk terlibat perang baik langsung maupun tidak. Saya tidak kaget dengan posisi Sosialis Internasional, Partai Hijau di Jerman, atau beberapa anggota parlemen progresif dari Partai Demokrat di AS—meskipun sikap pro-militerisme dadakan orang-orang yang sehari sebelumnya mendaku diri pasifis ini terasa tetap menghujam dan mengejutkan. Banyak kekuatan kiri “radikal” yang beberapa pekan ini bersuara segendang sepenarian dengan kubu pro-Zelensky. Saya percaya ketika kubu progresif tidak menentang perang, mereka akan kehilangan bagian penting dari alasan kenapa mereka harus ada dan akhirnya mereka akan menelan mentah-mentah ideologi kubu lawan.

ML: Saya akan mulai dengan mengingat bahwa argumen anti-komunis dipakai dalam salah satu “justifikasi” Putin atas invasi ke Ukraina. Dalam pidato Putin sebelum perang, pada 21 Februari, dia menyatakan Ukraina “sepenuhnya diciptakan oleh Bolshevik dan Komunis Rusia” dan bahwa Lenin adalah “pengarang dan arsitek” negeri ini. Putin menyatakan ambisinya untuk merestorasi “Rusia yang ada dalam sejarah” pra-Bolshevik—yaitu Rusia era Tsar—dengan cara mencaplok Ukraina.

EB: Putin menyatakan Lenin telah sembrono menyerah pada nasionalisme Ukraina. Menurut Putin, jika Lenin tidak melakukan itu, maka tidak akan ada pula Ukraina merdeka, karena penduduk Ukraina akan menganggap tanahnya sendiri sebagai bagian dari Rusia. Argumen ini seperti memakai posisi Stalin untuk melawan Lenin. Tentu saja, saya pikir Lenin benar dalam penyikapannya atas isu “kebangsaan” yang tersohor itu.

MM: Lenin menulis bahwa kendati perjuangan suatu bangsa untuk merdeka dari kekuatan imperialis dapat dimanfaatkan oleh imperialis lain daya untuk kepentingannya sendiri, seharusnya ini tidak mengubah kebijakan kaum kiri untuk mendukung hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri. Dalam sejarahnya, kaum progresif selalu mendukung prinsip ini, membela hak negara-negara untuk menegakkan perbatasan atas dasar kehendak rakyat.

ML: Bukan kebetulan jika sebagian besar partai kiri “radikal” dunia, termasuk yang paling suka bernostalgia dengan sosialisme Soviet, misalnya partai komunis Yunani dan Chili, mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Sayangnya, kekuatan-kekuatan kiri terdepan di Amerika Latin dan pemerintah seperti Venezuela memihak Putin, atau membatasi diri dengan sekadar mengambil sikap “netral”—seperti yang ditunjukkan oleh Lula, pemimpin Partai Buruh di Brasil. Pilihan kaum kiri adalah antara hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri—seperti yang dikatakan Lenin—dan hak imperium untuk menyerang dan mencaplok negara lain. Anda tidak bisa memilih dua-duanya, karena ini dua opsi yang tidak dapat didamaikan.

SF: Di AS, juru bicara gerakan-gerakan keadilan sosial dan organisasi feminis seperti Code Pink telah mengutuk agresi Rusia. Tapi perlu dicatat bahwa pembelaan AS dan NATO terhadap demokrasi cukup selektif, mengingat rekam jejak mereka di Afghanistan, Yaman, operasi Africom di Sahel. Rekornya panjang. Kemunafikan dalam pembelaan AS atas demokrasi di Ukraina juga terlihat jelas jika kita menimbang bagaimana pemerintah AS tutup mata atas pendudukan brutal Israel di Palestina dan penghancuran kehidupan rakyat Palestina yang tidak ada habis-habisnya. Perlu dicatat juga bahwa AS telah membuka pintu untuk Ukraina tepat setelah menutup akses imigran dari Amerika Latin, sementara bagi banyak imigran ini, menyelamatkan diri ke negeri asing adalah perkara hidup-mati. Sementara itu, kaum kiri yang kini bercokol di lembaga negara—dimulai dengan Ocasio-Cortez—sudah mendukung pengiriman senjata ke Ukraina.

Saya juga berharap media-media radikal bisa lebih dalam mempertanyakan pengetahuan yang kita terima dari para pejabat negara. Misalnya, kenapa “Afrika kelaparan” karena perang di Ukraina? Kebijakan internasional apa yang membuat negara-negara Afrika bergantung pada biji-bijian Ukraina? Mengapa tidak menyebut perampasan tanah besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan internasional, yang kini membuat banyak orang membicarakan “penjajahan gaya baru di Afrika”? Saya ingin bertanya sekali lagi: nyawa siapa yang dianggap berharga? Kenapa hanya kematian tertentu yang bisa membangkitkan amarah?

MM: Terlepas dari meningkatnya dukungan untuk NATO setelah invasi Rusia ke Ukraina—yang sangat gamblang dalam permintaan formal Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO—kita perlu bekerja lebih keras untuk memastikan agar publik tidak melihat NATO—mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia—sebagai solusi keamanan global. NATO telah menampilkan jati dirinya sebagai organisasi maut penyulut ketegangan yang bisa memicu perang dunia dalam misinya memperluas dan memperkokoh dominasi unipolar. Tapi ada paradoks di sini. Hampir empat bulan setelah perang dimulai, kita tentu dapat mengatakan bahwa Putin tidak hanya keliru mengambil strategi militer, tetapi juga akhirnya memperkuat—bahkan jika dilihat dari konsensus internasional—musuh yang lingkup pengaruhnya (sphere of influence) ingin ia batasi: NATO.

EB: Saya termasuk orang yang berpikir bahwa NATO seharusnya lenyap bersama Pakta Warsawa ketika Perang Dingin berakhir. Di sisi lain, NATO tidak hanya punya fungsi eksternal, tetapi juga—dan ini mungkin sebagian besar fungsinya—mendisiplinkan alias menjinakkan siapa pun yang berada di kubu Barat. Semua itu pasti ada kaitannya dengan imperialisme: NATO adalah bagian dari instrumen yang agar menjamin Eropa secara umum tidak memiliki otonomi geopolitik sejati di hadapan imperium Amerika. Inilah salah satu alasan kenapa NATO terus dipertahankan usai Perang Dingin. Dan saya setuju dampaknya amat buruk bagi seluruh dunia. NATO mengkonsolidasikan beberapa kediktatoran di dalam teritori pengaruhnya. NATO memfasilitasi—atau menoleransi—segala macam perang, beberapa di antaranya sangat mematikan dan melibatkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pendapat saya tentang NATO tidak berubah dengan kejadian baru-baru ini yang disebabkan Rusia.

ML: NATO adalah organisasi imperialis yang didominasi Amerika Serikat dan bertanggung jawab atas agresi yang tak terhitung banyaknya. Penghancuran monster politik dan militer yang lahir dari Perang Dingin ini adalah syarat mendasar demokrasi. Melemahnya NATO dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan presiden neoliberal Prancis Emmanuel Macron untuk menyatakan bahwa NATO sudah “mati otak” pada 2019. Sayangnya, invasi kriminal Rusia ke Ukraina malah memberi angin untuk NATO. Beberapa negara netral—seperti Swedia dan Finlandia—sekarang sudah memutuskan masuk NATO. Pasukan AS diposkan di Eropa dalam jumlah besar. Jerman, yang dua tahun lalu menolak menaikkan anggaran militernya meski ada tekanan keras dari Trump, baru-baru ini memutuskan untuk menginvestasikan 100 miliar euro untuk pemersenjataan kembali (rearmament). NATO semestinya mengalami kemunduran perlahan—bahkan mungkin lenyap. Tapi Putin malah menyelamatkannya.

SF: Yang juga mengkhawatirkan, perang Rusia di Ukraina sudah membuat banyak orang lupa akan ekspansionisme NATO beserta dukungannya untuk kebijakan imperialis Uni Eropa dan Amerika Serikat. Saatnya kembali membaca NATO’s Secret Armies karya Danielle Ganser untuk menyegarkan ingatan kita tentang pemboman NATO di Yugoslavia, peran NATO di Irak, serta kepemimpinan NATO dalam aksi pemboman dan pecah-belah Libya baru-baru ini. Sudah terlalu sering NATO menginjak-injak demokrasi, dan kini ia berpura-pura membela demokrasi. Saya tidak percaya anggapan bahwa NATO hampir mati sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Masuknya NATO ke Eropa Timur dan kehadirannya di Afrika menunjukkan hal sebaliknya.

MM: Amnesia ini sepertinya telah mempengaruhi banyak kaum kiri di pemerintahan. Mayoritas anggota parlemen dari Aliansi Kiri di Finlandia berpaling dari prinsip-prinsip historisnya dan memilih bergabung dengan NATO. Di Spanyol, sebagian besar anggota Unidas Podemos menyepakati suara seluruh kubu parlemen yang menyokong pengiriman senjata ke tentara Ukraina dan mendukung kenaikan anggaran belanja militer besar-besaran di KTT NATO yang akan diadakan di Madrid pada 29-30 Juni. Jika sebuah partai tidak memiliki keberanian berbicara lantang menentang kebijakan semacam itu, maka ia telah terlibat dalam perluasan militerisme AS di Eropa. Padahal, partai-partai kiri di masa lalu sudah berkali-kali dihukum secara politik, termasuk di bilik suara, karena politik rendahan semacam ini.

EB: Yang terbaik adalah agar Eropa cukup kuat melindungi wilayahnya sendiri, dan agar ada sistem keamanan internasional yang efektif—yaitu agar PBB dirombak secara demokratis dan hak veto permanen anggota Dewan Keamanan ditiadakan. Tapi semakin NATO mencuat sebagai sistem keamanan, semakin lemah pula PBB. Di Kosovo, Libya dan Irak pada 2013, misi Amerika Serikat dan NATO adalah melemahkan kapasitas PBB untuk menyelenggarakan mediasi, regulasi, dan pengadilan internasional.

MM: Cerita yang kami dengar dari media benar-benar beda: NATO digambarkan sebagai satu-satunya penyelamat dunia dari kekerasan dan ketidakstabilan politik. Di sisi lain, sentimen anti-Rusia telah menyebar ke seluruh Eropa. Warga Rusia dimusuhi dan didiskriminasi.

EB: Bahaya besar—mungkin bahaya utama yang berkaitan dengan apa disebut Clausewitz sebagai “faktor moral” dalam perang—terletak pada godaan untuk memobilisasi opini publik yang bersimpati pada warga Ukraina melalui sentimen anti-Rusia. Media mendukung upaya ini lewat kabar-kabar setengah benar tentang sejarah Rusia dan Soviet. Sengaja atau tidak, media membuat rakyat Rusia gamang di hadapan ideologi rezim oligarki hari ini. Menyerukan sanksi atau boikot terhadap seniman, dan lembaga-lembaga kebudayaan atau akademik yang terbukti punya hubungan dengan rezim dan para pentolannya adalah satu hal. Tapi, jika benar bahwa opini publik Rusia adalah salah satu dari sedikit pintu peluang untuk keluar dari bencana ini, maka menstigmatisasi budaya Rusia adalah tindakan keblinger.

MM: Beberapa sanksi terhadap individu sangat keras dan kontraproduktif. Ada orang-orang yang tidak pernah menyatakan dukungan untuk kebijakan pemerintah Rusia disasar hanya karena kebetulan lahir di Rusia, terlepas dari apa pun pendapat mereka tentang perang ini. Langkah-langkah semacam ini akan mengompori propaganda nasionalis Putin dan dapat menggiring warga Rusia untuk mendukung pemerintah mereka.

EB: Terus terang, tidak elok rasanya menuntut warga negara sebuah kediktatoran polisi ala rezim Putin untuk “mengambil sikap” jika mereka ingin terus diterima di “demokrasi” kita.

ML: Saya setuju. Sentimen anti-Rusia wajib ditolak. Ini ideologi yang sangat reaksioner seperti halnya semua bentuk nasionalisme chauvinistik. Saya ingin menambahkan bahwa penting bagi kaum kiri internasionalis, yang mendukung perlawanan rakyat Ukraina melawan invasi Rusia, untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada warga Rusia—individu, surat kabar, atau organisasi—yang telah menentang perang kriminal Putin di Ukraina. Ada, kok, kelompok-kelompok dan partai-partai politik Rusia yang mendaku kiri dan baru-baru ini merilis pernyataan sikap mengutuk agresi ke Ukraina.

MM: Mari kita akhiri diskusi ini dengan apa yang Anda pikirkan soal jalannya perang dan kemungkinan skenario-skenario masa depan.

EB: Orang hanya akan sangat pesimistis menatap perkembangan ke depan. Saya sendiri percaya peluang untuk mencegah malapetaka sangat kecil. Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, eskalasi mungkin terjadi, terutama jika perlawanan terhadap invasi terus berlanjut dan tidak cukup hanya menggunakan senjata “konvensional”—yang batasannya dengan “senjata pemusnah massal” kian kabur. Kedua, jika perang berakhir dengan “hasil” tertentu, segala kemungkinan akan mengarah pada bencana. Tentu akan celaka jika Putin mencapai misi-misinya dengan mengkremus rakyat Ukraina dan akhirnya memancing tindakan-tindakan serupa. Mungkin juga, jika dia dipaksa berhenti dan mundur, dengan kembali ke politik blok di mana dunia akan membeku. Apa pun pilihannya, hal ini akan memancing gejolak nasionalisme dan kebencian yang bakal berlangsung lama. Ketiga, perang dan episode-episode lanjutannya akan memukul mundur mobilisasi planet bumi dalam melawan bencana iklim. Bahkan kenyataannya perang telah mempercepat bencana iklim. Terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia.

ML: Saya punya kegelisahan yang sama, terutama soal tertahannya perang melawan perubahan iklim, yang sekarang benar-benar terpinggirkan oleh perlombaan senjata semua negara yang berurusan dengan perang.

SF: Saya juga pesimis. AS dan negara-negara NATO lainnya tidak beritikad meyakinkan Rusia bahwa NATO tidak akan memperluas jangkauannya ke perbatasan Rusia. Walhasil, perang akan berlanjut dengan dampak-dampak mematikan bagi Ukraina, Rusia dan sekitarnya. Kita akan melihat dalam beberapa bulan mendatang bagaimana negara-negara Eropa lainnya akan terpengaruh. Saya tidak bisa membayangkan skenario masa depan selain perluasan situasi perang permanen yang sudah menjadi kenyataan di begitu banyak belahan dunia. Saya juga tidak bisa membayangkan skenario selain—lagi-lagi—bahwa sumber-sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk mendukung reproduksi sosial dialihkan ke tujuan-tujuan yang destruktif. Bagi saya, perih rasanya kita tidak punya gerakan feminis yang turun ke jalan ramai-ramai, melakukan pemogokan, dan bertekad mengakhiri semua perang.

MM: Saya juga merasa perang tidak akan reda dalam waktu dekat. Perdamaian yang “tidak sempurna” tetapi lekas diwujudkan tentu akan lebih baik daripada memperpanjang permusuhan. Tapi, ada banyak sekali kekuatan di lapangan dengan tujuan-tujuan yang berbeda pula. Setiap kali seorang kepala negara menyatakan “kami akan mendukung Ukraina sampai menang”, prospek perundingan semakin jauh. Namun, saya kira prospek yang lebih besar adalah bahwa situasi kita kini mengarah ke perang yang tidak ada habisnya, di mana pasukan Rusia berhadapan dengan militer Ukraina yang disuplai dan didukung secara tak langsung oleh NATO.

Kaum kiri harus berjuang keras mendukung solusi diplomatik dan melawan kenaikan anggaran belanja militer. Kenaikan anggaran ini niscaya dibebankan pada kelas pekerja dan niscaya menyulut krisis ekonomi dan sosial lebih lanjut. Jika ini kejadian, maka pihak yang akan diuntungkan adalah kaum kanan yang hari ini semakin agresif dan reaksioner dalam mempengaruhi perdebatan politik di Eropa.

EB: Demi mengedepankan cara-cara pandang yang positif, kita harus memiliki tujuan untuk merombak ulang Eropa—demi kepentingan Rusia, Ukraina, dan kepentingan kita sendiri—sedemikian rupa sehingga soal-soal negara dan bangsa benar-benar kembali dipikirkan. Tujuan yang lebih ambisius lagi adalah menciptakan dan mengembangkan Eropa Raya yang multibahasa, multikultural, dan membuka diri untuk dunia—alih-alih meletakkan militerisasi Uni Eropa ke dalam horizon masa depan kita, meski dalam jangka pendek ini pendek ini tidak terhindarkan. Tujuannya untuk menghindari “benturan peradaban” di mana kita akan menjadi pusatnya.

ML: Saya ingin mengusulkan tujuan yang lebih ambisius dalam artian positif; saya akan bilang bahwa kita harus membayangkan corak Eropa yang lain dan Rusia yang lain, menyingkirkan oligarki parasit kapitalis mereka. Pepatah Jean Jaurès “Kapitalisme menyeret perang seperti awan menyeret badai” terdengar lebih relevan dari sebelumnya. Hanya di Eropa yang lain itu, dari Atlantik hingga Ural—Eropa yang sosial, ekologis, dan pasca-kapitalis—perdamaian dan keadilan dapat terjamin. Apakah ini skenario yang mungkin? Tergantung kita masing-masing.

Categories
Journalism

Kaum Kiri dan Perang: Sampai Jumpa di Zimmerwald?

KETIKA ilmu politik telah mengeksplorasi motif ideologi, politik, ekonomi, dan bahkan psikologi di balik dorongan berperang, kontribusi paling menarik dari teori-teori sosialis adalah penjelasannya tentang hubungan perkembangan kapitalisme dan penyebaran perang.

Dalam debat-debat di Internasional Pertama (1864-1872), salah satu tokoh utamanya yang bernama César de Paepe menyusun rumusan yang kelak menjadi posisi klasik gerakan buruh: di bawah rezim produksi kapitalis, perang tak terhindarkan. Dalam masyarakat modern, perang tidak disebabkan oleh ambisi raja atau hasrat perorangan lainnya, tetapi oleh model sosial-ekonomi yang dominan. Gerakan sosialis juga menunjukkan segmen populasi mana yang paling terpukul oleh dampak-dampak perang yang mengerikan. Dalam kongres Internasional pada 1868, para delegasi menerima mosi yang menyerukan kepada kaum pekerja untuk memperjuangkan “penghapusan seluruh perang seutuhnya,” karena buruhlah yang pada akhirnya berkorban—baik harta maupun nyawa, terlepas dari menang atau kalah—untuk keputusan kelas penguasa dan pemerintah yang mewakili mereka. Ihwal yang dipelajari buruh dari sejarah panjang peradaban manusia ini bersumber dari keyakinan bahwa setiap perang harus dianggap sebagai “perang saudara”, sebuah bentrokan sengit para pekerja yang merampas sumber-sumber penghidupan yang mereka perlukan guna melangsungkan hidup. Kaum pekerja harus mengambil sikap tegas terhadap perang apapun, dengan menolak wajib militer dan menggelar aksi mogok. Internasionalisme pun menjadi kiblat masyarakat masa depan. Dalam masyarakat itu, perang akan lenyap karena sebab-sebab utamanya—kapitalisme dan persaingan antar negara borjuis di ranah ekonomi dunia—juga menghilang.

Claude Henri de Saint-Simon adalah salah seorang tokoh pendahulu sosialisme yang mengambil sikap tegas terhadap perang dan konflik sosial. Bagi Saint-Simon, perang dan konflik sosial adalah penghalang bagi kemajuan-kemajuan fundamental dalam industri. Soal perang, Karl Marx tidak mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri, yang sifatnya fragmentatif dan kadang saling bertolak belakang. Ia juga tidak menelurkan panduan untuk mengambil sikap yang tepat guna merespons perang. Tiap kali harus mendukung salah satu kubu dalam perang, satu-satunya sikap yang selalu ia ambil adalah menentang rezim Tsar Rusia yang menurutnya adalah garda terluar kontra-revolusi dan salah satu batu penghalang emansipasi kelas pekerja. Dalam Kapital (1867), Marx berpendapat bahwa kekerasan adalah daya penggerak ekonomi, “bidan setiap masyarakat lama yang tengah mengandung janin masyarakat baru.” Namun, Marx tidak pernah memikirkan perang sebagai jalan pintas yang perlu dipertimbangkan bagi perubahan revolusioner dalam masyarakat, dan tujuan besar yang disasar oleh aktivitas-aktivitas Marx adalah menghimpun kelas pekerja berdasarkan asas solidaritas internasional. Sebagaimana juga dikemukakan Engels, kelas pekerja di tanah air masing-masing harus tegas melawan upaya-upaya pengerdilan terhadap perjuangan kelas yang dilakukan negara melalui propaganda “ancaman musuh dari luar” merebak tiap kali perang meletus. Dalam surat-suratnya kepada para tokoh gerakan buruh, Engels selalu memperingatkan betapa chauvinisme bisa mengakibatkan patriotisme yang bercokol secara ideologis dan tertundanya revolusi proletar. Dalam Anti-Dühring (1878), Engels menyatakan bahwa sosialisme mengemban tugas untuk “menghapuskan militerisme dan seluruh tentara reguler.” Pernyataan ini berpijak pada analisis tentang efek senjata-senjata dalam perang yang kian mematikan.

Bagi Engels, pembahasan mengenai perang sangatlah penting. Karib Marx ini pun mencurahkan perhatian yang besar–tentang perang ini–dalam salah satu tulisan terakhirnya. Dalam ”Bisakah Eropa Melucuti Bedil?” (1893), Engels mencatat bahwa tiap negeri adidaya saling berlomba secara militer dan memupuk persiapan perang dalam 25 tahun terakhir. Dalam perlombaan ini, produksi senjata meroket setinggi langit dan menggiring Eropa lebih dekat ke “perang bumi hangus yang belum pernah disaksikan dunia.” Menurut salah satu penulis Manifesto Komunis (1848) ini, “Model tentara reguler (standing armies) telah diterapkan sedemikian ekstrem di seantero Eropa sampai-sampai ia berpotensi menghancurkan ekonomi rakyat saking hebatnya beban militer yang harus ditanggung, atau berkembang menjadi perang pemusnahan massal.” Analisis Engels juga menekankan bagaimana keberadaan angkatan bersenjata terus dipertahankan khususnya demi kepentingan politik domestik dan operasi-operasi militer di luar negeri. Dengan memperhebat kekuatan untuk menindas perjuangan proletariat dan buruh, militer dirancang “bukan untuk melindungi negeri dari musuh eksternal alih-alih dari musuh internal.” Oleh karena rakyat menanggung ongkos terbesar perang lewat pungutan pajak dan rekrutmen pasukan, maka gerakan buruh harus memperjuangkan “pengurangan secara bertahap masa dinas [di militer] melalui perjanjian internasional” serta mendukung pelucutan senjata sebagai satu-satunya “jaminan damai” yang efektif.

Ujian dan keruntuhan
Tak lama berselang, debat teoretis di masa damai berkembang menjadi isu politik teratas pada zamannya. Gerakan pekerja harus menghadapi situasi-situasi riil dan para wakil mereka pada mulanya menentang segala dukungan untuk perang. Dalam konflik Prancis-Prusia (1870) yang kelak mengawali Komune Paris, anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat Jerman, Wilhelm Liebknecht and August Bebel, mengutuk misi aneksasi Imperium Jerman di bawah Kanselir Bismarck. Setelah “menolak RUU pendanaan tambahan untuk melanjutkan perang” dalam pemungutan suara, keduanya diganjar dua tahun hukuman penjara dengan dakwaan berkhianat terhadap negara. Namun, sikap yang diambil Liebknecht dan Bebel menunjukkan kepada kelas pekerja sebuah cara alternatif untuk membangun momentum politik di kala krisis.

Perang semakin menjadi isu kontroversial dalam debat-debat Internasional Kedua (1889-1916) seiring negeri-negeri adidaya Eropa terus melangsungkan ekspansi imperialis mereka. Dalam kongres pendiriannya, Internasional Kedua telah menetapkan resolusi perdamaian sebagai ”prasyarat wajib setiap emansipasi pekerja.” Kebijakan perdamaian ala borjuasi diolok-olok sebagai wujud lain dari ”perdamaian bersenjata”. Pada 1895, pemimpin Partai Sosialis Prancis (SFIO) Jean Jaurès memberikan pidato di parlemen yang kelak diingat sebagai cermin kegelisahan kaum kiri dalam merespons perang. “Bahkan ketika menginginkan perdamaian, bahkan dalam suasana tenang,” demikian Jaurès, “perang masih berkecamuk di dalam masyarakatmu yang kacau dan penuh kekerasan ini bak awan yang terlelap menanggung badai.”

Ketika Weltpolitik—kebijakan agresif Imperium Jerman untuk memperluas kekuasaannya di ranah internasional—mengubah percaturan geopolitik, prinsip-prinsip anti-militerisme semakin mengakar dalam gerakan kelas pekerja dan mempengaruhi diskusi-diskusi tentang konflik bersenjata. Perang tak lagi semata dilihat sebagai gerbang menuju revolusi dan pemicu kehancuran sistem (sebuah gagasan kiri yang berakar pada slogan Robespierre, “Tak ada revolusi tanpa revolusi”). Bagi kaum kiri saat itu, perang adalah marabahaya karena dampak-dampaknya yang luar biasa destruktif bagi proletariat: kelaparan, kemelaratan dan pengangguran. Perang, dengan demikian, menjadi ancaman serius bagi kekuatan progresif. Dalam situasi perang, tulis Karl Kautsky dalam Revolusi Sosial (1902), kaum pekerja akan “dibebani tugas-tugas tidak esensial” yang akan membuat kemenangan final proletariat kian jauh alih-alih mendekat.

Resolusi “Tentang Militerisme dan Konflik Internasional” yang diadopsi Internasional Kedua dalam Kongres Stuttgart (1907), merangkum seluruh pokok yang kelak menjadi warisan bersama gerakan buruh, di antaranya: voting menolak peningkatan anggaran belanja militer, antipati terhadap sistem tentara reguler, dukungan terhadap sistem milisi rakyat dan rencana pembentukan peradilan arbitrase untuk menyelesaikan konflik internasional dengan cara-cara damai. Yang tidak terkandung dalam resolusi ini adalah aksi-aksi pemogokan umum menentang segala jenis perang, sebagaimana diusulkan Gustave Hervé; mayoritas peserta kongres menganggap ide ini terlalu radikal dan hitam-putih (Manichaean). Resolusi diakhiri dengan amandemen yang disusun Rosa Luxemburg, Vladimir Lenin, dan Yulii Martov. Amandemen tersebut menyatakan: “jika perang meletus … [kaum sosialis] mengemban tugas untuk menghentikannya secepat mungkin, dan dengan segala daya memanfaatkan krisis ekonomi dan politik yang dipicu perang, untuk membangkitkan massa sehingga mempercepat tumbangnya kekuasaan kelas kapitalis.” Para perwakilan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) mendukung amandemen ini karena di dalamnya tidak ada tuntutan bagi partai untuk mengubah garis politik. Resolusi dalam bentuknya yang telah diamandemen ini adalah dokumen terakhir tentang perang yang mendapat suara bulat dari Internasional Kedua.

Gambaran umum perang kian merisaukan seiring kian ketatnya persaingan ekonomi antar negara kapitalis yang dibarengi merebaknya konflik-konflik global. Pada 1911, Jaurès menerbitkan Tentara Baru (1911) yang memancing percakapan tentang isu lain yang menjadi buah bibir kala itu: perbedaan antara perang ofensif (perang dalam rangka menyerbu negara lain) dan defensif (perang yang dilancarkan untuk mempertahankan diri), serta bagaimana perang defensif harus disikapi, termasuk dalam kasus-kasus dimana kemerdekaan suatu negara terancam. Bagi Jaurès, satu-satunya tugas militer adalah membela negara dari invasi atau dari pihak agresor manapun yang menampik penyelesaian perselisihan dengan jalan mediasi. Semua tindakan militer yang tergolong dalam kategori ini harus dianggap sah. Namun, kritik jernih Luxemburg terhadap posisi Jaurès menunjukkan bahwa “fenomena-fenomena sejarah seperti perang modern tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ’keadilan’, atau melalui skema ideal pertahanan dan agresi.” Luxemburg memperingatkan betapa sulitnya memastikan apakah sebuah perang betul-betul berwatak ofensif atau defensif, atau apakah negara yang memulainya sengaja menyerbu atau terpaksa menyerang karena terjebak siasat negara-negara yang penentang. Oleh sebab itu, bagi Luxemburg, perbedaan ofensif-defensif itu harus dibuang. Ia pun mengkritik usulan Jaurès tentang “bangsa yang dipersenjatai”, dengan alasan bahwa ide seperti ini akhirnya hanya akan menyuburkan militerisasi di masyarakat.

Seiring waktu komitmen Internasionale Kedua untuk mendukung kebijakan damai semakin kendur. Organisasi ini tidak terlihat serius menentang kebijakan pemersenjataan kembali (rearmament) dan persiapan perang. Sebuah faksi SPD yang kian moderat dan bertendensi legalistik malah mendukung obligasi perang—bahkan kelak menyepakati ekspansi kolonial—sebagai imbalan untuk kebebasan politik yang lebih besar di Jerman. Gustav Noske, Henry Hyndman dan Antonio Labriola terhitung sebagai tokoh dan teoritikus terkemuka yang pertama-tama mengambil posisi ini. Akhirnya, sebagian besar kaum Sosial Demokrat Jerman, Sosialis Prancis, para pemimpin Partai Buruh Inggris dan kaum reformis Eropa lainnya mendukung Perang Dunia Pertama (1914-1918). Rangkaian peristiwa ini berujung malapetaka. Berkat iming-iming bahwa “manfaat kemajuan” tak semestinya dimonopoli oleh kaum kapitalis, gerakan kelas pekerja malah menyepakati misi ekspansionis kelas yang berkuasa. Mereka terbuai dalam dekapan ideologi nasionalis. Internasional Kedua, yang terbukti tak berdaya menghadapi perang, gagal mewujudkan salah satu misinya: melestarikan perdamaian.

Dalam Konferensi Zimmerwald (1915), Lenin dan delegasi lainnya—termasuk Leon Trotsky yang menulis draf akhir Manifesto Zimmerwald—meramalkan: “Untuk beberapa dekade ke depan, anggaran belanja perang akan menguras energi terbaik rakyat, merusak upaya-upaya perbaikan sosial, dan menghambat kemajuan apapun.” Bagi Lenin dkk., perang menelanjangi “kapitalisme modern yang semakin sulit didamaikan tak hanya dengan kepentingan massa pekerja […] tetapi juga dengan syarat-syarat mendasar kehidupan bersama umat manusia.” Peringatan itu hanya diindahkan oleh segelintir orang dalam gerakan pekerja. Seruan kepada seluruh buruh Eropa di Konferensi Kienthal (1916) juga bernasib sama. Seruan Kienthal berbunyi: “Pemerintah kalian dan koran-koran mereka sudah mengumumkan bahwa perang harus berlanjut agar militerisme mampus! Mereka membohongi kalian! Perang tidak pernah membunuh perang. Perang memang memicu perasaan dan keinginan balas dendam. Dengan menandai kalian agar berkorban, mereka menjerumuskan kalian ke lingkaran setan.” Dokumen final Kienthal—yang akhirnya pisah jalan dengan Kongres Stuttgart yang menyerukan penyelenggaraan peradilan arbitrase internasional—menyatakan bahwa “ilusi pasifisme borjuis” tidak akan memutus mata rantai perang alih-alih sekadar ikut melanggengkan tatanan sosial-ekonomi yang ada. Penaklukkan kekuasaan oleh massa-rakyat dan penggulingan sistem hak milik kapitalis adalah satu-satunya jalan untuk mencegah konflik bersenjata di masa depan.

Rosa Luxemburg dan Vladimir Lenin adalah dua penentang perang di garis terdepan. Karya-karya Luxemburg memperluas pemahaman teoretis di kubu kiri dan menunjukkan bagaimana militerisme berperan sebagai tulang punggung negara. Luxemburg, dengan iman baja dan daya tutur yang nyaris tak tertandingi pemimpin komunis lainnya, menegaskan bahwa slogan “Perang melawan perang!” harus menjadi “landasan politik kelas pekerja.” Internasional Kedua, tulis Luxemburg dalam Krisis Demokrasi Sosial (1916)—yang kelak dikenal sebagai Pamflet Junius—bubar karena gagal “menyepakati taktik dan aksi bersama proletariat di seluruh dunia.” Sejak itulah “memerangi imperialisme dan mencegah perang, baik dalam situasi damai maupun perang” menjadi “misi utama” yang wajib diemban proletariat.

Jasa besar Lenin—sebagaimana terlihat dalam Sosialisme dan Perang (1915) dan banyak tulisan lainnya yang terbit selama Perang Dunia I—adalah mengidentifikasi dua persoalan fundamental. Persoalan pertama menyangkut “falsifikasi sejarah” yang dilakukan kaum borjuasi tiap kali mereka mengait-ngaitkan “sentimen progresif pembebasan nasional” dengan apa yang sebenarnya merupakan perang “penjarahan”—sebuah perang yang dilancarkan demi satu tujuan: memutuskan kubu mana yang bakal mendapat giliran untuk menindas bangsa-bangsa yang dianggap paling asing seraya meningkatkan taraf ketimpangan kapitalisme. Persoalan kedua yang diangkat Lenin adalah pengaburan kontradiksi oleh kaum reformis sosial—atau “chauvinis sosial”, demikian sebut Lenin—yang pada akhirnya mendukung justifikasi perang sekalipun mereka sudah mendefinisikan perang sebagai aktivitas “kriminal” dalam resolusi-resolusi Internasional Kedua. Di balik klaim kaum reformis untuk “membela tanah air”, terkandung privilese negara-negara adikuasa untuk “menjarah tanah jajahan dan menindas bangs-bangsa asing.” Perang tidak dilakukan untuk menjaga “eksistensi bangsa-bangsa”, melainkan untuk “ mempertahankan privilese, dominasi, penjarahan dan kekerasan” yang melekat pada berbagai spesies “borjuasi imperialis”. Kaum sosialis yang tunduk pada patriotisme telah menggantikan perjuangan kelas dengan perjuangan untuk berebut “jatah keuntungan yang diperoleh borjuasi nasional lewat penjarahan negeri-negeri lain.” Maka dari itu, Lenin mendukung “perang untuk mempertahankan diri” (defensive wars)—bukan “pertahanan nasional negara-negara Eropa ala Jaurès, melainkan “perang yang adil” (just wars) yang dilancarkan “bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan ditindas,” yang telah “dijarah dan dirampas hak-haknya” oleh “negeri-negeri adikuasa pemilik budak.” Tesis paling tersohor dari pamflet ini—bahwa kaum revolusioner harus berusaha “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara”—menyiratkan bahwa siapapun yang benar-benar mendambakan “perdamaian demokratis nan langgeng” harus mengobarkan “perang saudara melawan borjuasi dan pemerintah mereka sendiri.” Lenin memiliki keyakinan—yang kelak dibantah oleh sejarah—bahwa setiap perjuangan kelas yang konsisten dilancarkan pada masa perang “niscaya” akan menciptakan spirit revolusioner di tengah massa.

Menarik garis pemisah
Perang Dunia I melahirkan perpecahan tidak hanya di Internasional Kedua tetapi juga di tubuh gerakan anarkis. Tak lama setelah perang meletus, Kropotkin menulis sebuah artikel yang menyatakan bahwa “menghentikan invasi Jerman di Eropa Barat adalah tugas setiap orang yang mencintai gagasan kemajuan umat manusia.” Membaca artikel ini, banyak pihak beranggapan Kropotkin telah mencampakkan prinsip-prinsip yang telah ia perjuangkan seumur hidupnya. Namun, pernyataan ini merupakan upaya Kropotkin untuk melampaui slogan “pemogokan umum melawan perang”—yang tak diacuhkan massa pekerja—dan untuk menghindari kemunduran umum dalam politik Eropa yang akan terjadi jika Jerman menang. Dalam pandangan Kropotkin, jika kaum anti-militer tetap berpangku tangan, maka secara tak langsung mereka telah membantu misi penaklukan para agresor, dan hambatan yang muncul dari sana akan lebih sulit diatasi oleh siapapun yang memperjuangkan revolusi sosial.

Menanggapi Kropotkin, anarkis Italia Enrico Malatesta berargumen bahwa meskipun dirinya bukan pasifis dan menganggap sah perjuangan bersenjata dalam perang pembebasan, Perang Dunia bukanlah—sebagaimana digaungkan propaganda borjuis—perjuangan demi “kemaslahatan umum melawan musuh bersama” demokrasi. Alih-alih, bagi Malatesta, Perang Dunia adalah sekadar contoh lain dari upaya kelas yang berkuasa untuk menaklukkan massa pekerja. Dia menyadari “kemenangan Jerman niscaya berarti kemenangan militerisme, namun di sisi lain kemenangan bagi pihak Sekutu juga sama saja dengan dominasi Rusia-Inggris di Eropa dan Asia.”

Dalam Manifesto Enam Belas (1916), Kropotkin bersikukuh akan pentingnya “melawan agresor yang menjadi wajah kehancuran seluruh harapan pembebasan kita.” Kemenangan Triple Entente terhadap Jerman akan mendatangkan keburukan yang lebih kecil (lesser evil) dan lebih minim efeknya untuk pelemahan kebebasan-kebebasan yang ada. Di sisi lain, Malatesta dan para penandatangan manifesto anti-perang dari Anarkis Internasional (1915) menyatakan: “Mustahil perang ofensif dan defensif bisa dibedakan.” Mereka juga menambahkan bahwa “Tak satu pun dari kubu dalam perang berhak mengklaim peradaban, sebagaimana mereka juga tak berhak mendaku melakukan pembelaan diri secara sah.” Perang Dunia I, tegas mereka, adalah episode lanjutan dalam pusaran konflik antar kapitalis dari berbagai negeri imperialis, sebuah perang yang dilancarkan dengan mengorbankan kelas pekerja. Malatesta, Emma Goldman, Ferdinand Nieuwenhuis dan sebagian besar aktivis gerakan anarkis yakin bahwa mendukung pemerintah borjuis adalah kesalahan yang tak termaafkan. Sebaliknya, tanpa terkecuali, mereka berakhir dengan slogan “tolak kirim orang dan uang untuk tentara,” dan bahkan secara tegas menolak memberikan dukungan tak langsung dalam upaya-upaya perang.

Penyikapan terhadap perang juga menimbulkan perdebatan dalam gerakan feminis. Kaum lelaki direkrut ke medan tempur sehingga kalangan industri menggantikan mereka dengan perempuan di posisi-posisi yang telah lama dimonopoli laki-laki. Namun, pekerja perempuan ini mendapat upah yang jauh lebih rendah dan bekerja dalam kondisi yang sangat eksploitatif. Situasi ini memicu penyebaran ideologi chauvinis di sebagian besar gerakan hak pilih perempuan (suffragette) yang baru lahir. Beberapa pemimpin gerakan melangkah lebih jauh dengan mengajukan petisi untuk penyusunan undang-undang yang bakal mengizinkan perempuan untuk mendaftar sebagai tentara. Ekspos terhadap pemerintah yang bermuka dua—yang memukul mundur capaian-capaian mendasar reformasi sosial dengan cara menggaungkan ketakutan akan “musuh di perbatasan”—adalah salah satu prestasi terpenting tokoh-tokoh terdepan komunis perempuan kala itu. Clara Zetkin, Alexandra Kollontai, Sylvia Pankhurst, dan tentu saja Rosa Luxemburg termasuk dalam golongan pertama yang secara tegas dan berani menapaki jalan yang kelak menjadi teladan bagi generasi mendatang bahwa perlawanan terhadap militerisme amatlah penting bagi perlawanan terhadap patriarki. Kelak, penolakan terhadap perang menjadi unsur tak terpisahkan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, dan kerja-kerja menggugurkan anggaran perang untuk konflik-konflik baru terus mengemuka di banyak panggung gerakan feminis internasional.

Tujuan akhir tidak berarti menghalalkan segala cara dan cara yang salah bisa merusak tujuan
Pasca-kelahiran Uni Soviet dan berkembangnya dogmatisme ideologi pada 1920an dan 1930an, perpecahan mendalam antara kaum revolusioner dan reformis merembet hingga ke perkara strategi, hingga menihilkan aliansi anti-militerisme antara Komunis Internasional (1919-1943) dan partai-partai Sosialis dan Sosial Demokrat Eropa. Setelah mendukung perang, partai-partai yang terlibat dalam pembengtukan Buruh dan Sosialis International (Labour and Socialist International Buruh dan Sosialis Internasional) (1923-1940) kehilangan martabatnya di mata kaum komunis. Gagasan Leninis tentang “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara” masih berlaku di Moskow. Para politisi dan teoretikus terkemuka di Rusia masih berpikir bahwa “1914 Jilid Dua”—alias perang dunia berikutnya—mustahil dihindari. Masing-masing kubu lebih sibuk bicara tentang apa yang harus dilakukan jika perang kembali pecah ketimbang membahas cara-cara mencegah perang baru. Pada dasarnya, slogan-slogan dan pernyataan sikap yang mereka utarakan saat itu berbeda dari apa yang diharapkan, dan berjarak pula dari apa yang kelak menjadi tindakan politik. Pendapat-pendapat kritis di kubu Komunis disuarakan oleh Nikolai Bukharin, seorang pendukung slogan “perjuangan untuk perdamaian.” Pemimpin Rusia lain yang meyakini perdamaian sebagai “salah satu isu utama dunia dewasa ini” adalah Georgi Dimitrov, yang berpendapat bahwa tak semua negara adidaya memikul tanggung jawab yang sama atas ancaman perang. Dimitrov juga menghendaki pemulihan hubungan dengan partai-partai reformis untuk membangun front rakyat guna melawan perang. Kedua pandangan ini kontras dengan mantra-mantra ortodoksi Soviet tidak memperbarui analisis teoretis mereka. Ortodoksi Moskow bersikeras bahwa hasrat berperang telah mengalir di tubuh seluruh kekuatan imperialis tanpa pengecualian, tanpa ada bedanya.

Mao Zedong memiliki pandangan berbeda. Sebagai pemimpin gerakan pembebasan melawan invasi Jepang, ia menulis dalam On Protracted War (1938) bahwa “perang yang adil”—di mana komunis wajib berpartisipasi—“diberkahi kekuatan luar biasa yang dapat mengubah banyak hal atau merintis jalan untuk perubahan-perubahan tersebut. Maka dari itu, Mao mengusulkan strategi “melawan perang yang tidak adil dengan perang yang adil,” kemudian “meneruskan perang hingga tujuan politiknya tercapai.” Argumen-argumen Mao yang mendukung “keperkasaan perang revolusioner” kembali muncul dalam Masalah Perang dan Strategi (1938). Dalam tulisan ini ia bersikukuh bahwa “hanya senjata yang mampu mengubah seluruh dunia,” dan “perampasan kekuasaan oleh militer, penyelesaian masalah dengan perang, adalah tugas utama dan wujud tertinggi revolusi.”

Di Eropa, eskalasi kekerasan aliansi Nazi-Fasis di dalam maupun di luar negeri, serta pecahnya Perang Dunia II (1939-1945) memunculkan skenario yang bahkan lebih jahat daripada perang 1914-18. Setelah pasukan Hitler menyerbu Uni Soviet pada 1941, Perang Patriotik Akbar (The Great Patriotic War) yang berakhir dengan keoknya Nazisme menjadi unsur sentral dalam wacana kebangsaan Rusia yang sukses bertahan dari keruntuhan Tembok Berlin dan terus eksis hingga sekarang.

Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia terbelah menjadi dua blok. Joseph Stalin menegaskan bahwa tugas utama gerakan Komunis internasional adalah melindungi Uni Soviet. Pilar utama kebijakan ini adalah pembentukan zona penyangga (buffer zone) yang terdiri dari delapan negara di kawasan Eropa Timur (setelah keluarnya Yugoslavia menjadi tujuh negara). Pada periode tersebut, Doktrin Truman menandai kemunculan jenis perang baru: Perang Dingin. Selanjutnya, Amerika Serikat berperan penting dalam menghambat kekuatan progresif di Eropa Barat dengan menyokong kekuatan anti-komunis di Yunani, menjalankan program Marshall Plan (1948), dan mendirikan NATO (1949). Uni Soviet merespons langkah-langkah AS dengan mendirikan Pakta Warsawa (1955). Konfigurasi baru ini akhirnya memicu perlombaan senjata besar-besaran, yang juga melahirkan lomba uji coba bom nuklir, terlepas dari fakta bahwa kehancuran Hiroshima dan Nagasaki masih segar dalam ingatan.

Sejak 1961, di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev, Uni Soviet merintis jalan politik baru yang kelak dikenal sebagai “koeksistensi damai”. Perubahan sikap yang menekankan pentingnya prinsip non-intervensi dan penghormatan atas kedaulatan nasional, serta kerjasama ekonomi dengan negara-negara kapitalis ini, dimaksudkan untuk mencegah potensi perang dunia ketiga (seperti yang telah terlihat selama krisis misil Kuba pada 1962) serta menguatkan pandangan bahwa perang bisa dihindari. Namun, upaya kerjasama konstruktif ini hanya terarah ke AS, bukan ke negara-negara yang saat itu telah menjadi bagian dari blok sosialis (actually existing socialism). Pada 1956, Uni Soviet mengkremus pemberontakan rakyat di Hongaria. Alih-alih mengutuk, partai-partai komunis Eropa Barat membenarkan intervensi militer tersebut dengan dalih melindungi blok sosialis. Sekretaris Partai Komunis Italia Palmiro Togliatti, misalnya, menyatakan: “Kami tetap mendukung kubu kami sendiri sekalipun keliru.” Mayoritas pihak yang mengambil posisi yang sama kelak memahami dampak desktruktif intervensi Soviet dan menyesal keputusan mereka.

Nasib serupa menimpa Cekoslowakia pada 1968. Kala itu, koeksistensi damai antara kedua blok tengah berada di puncak. Dihadapkan pada tuntutan demokratisasi dan desentralisasi ekonomi selama Musim Semi Praha, Politbiro Partai Komunis Uni Soviet secara bulat memutuskan untuk mengirim setengah juta tentara dan ribuan tank. Dalam kongres Partai Persatuan Pekerja Polandia 1968, Leonid Brezhnev menjelaskan bahwa intervensi tersebut mengacu pada apa yang disebutnya “kedaulatan terbatas” negara-negara Pakta Warsawa: “Ketika kekuatan-kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba mengubah perkembangan beberapa negara dalam blok sosialis ke arah kapitalisme, ini tidak hanya menjadi perkara negara yang bersangkutan, tetapi juga menjadi urusan dan keprihatinan bersama seluruh negara sosialis.” Menurut logika anti-demokrasi ini, mana yang “sosialis” dan mana yang bukan sosialisme sudah sewajarnya diputuskan oleh para pemimpin Soviet. Namun, kali ini para pengkritik dari kubu kiri mengambil sikap lebih terbuka dan bahkan mewakili mayoritas. Meskipun ketidaksetujuan atas tindakan Soviet diungkapkan tidak hanya oleh gerakan Kiri Baru tetapi juga oleh mayoritas partai Komunis, termasuk Tiongkok, Rusia tetap pantang mundur dan malah melakukan proses yang mereka sebut “normalisasi”. Uni Soviet terus mengalokasikan sebagian besar sumber daya ekonominya untuk belanja militer, dan ini ikut memperkuat budaya otoriter di masyarakat. Walhasil, Uni Soviet kehilangan kepercayaan dari gerakan perdamaian yang saat itu membengkak berkat aksi mobilisasi besar-besaran melawan perang di Vietnam.

Salah satu perang terpenting dalam dekade berikutnya dimulai dengan invasi Soviet ke Afghanistan. Pada 1979, Tentara Merah kembali menjadi instrumen utama kebijakan luar negeri Moskow, yang terus mengklaim hak untuk campur tangan dalam ”zona keamanan” yang ia definisikan sendiri. Keputusan buruk itu berubah menjadi petualangan melelahkan selama lebih dari sepuluh tahun, menyebabkan angka kematian yang besar, dan membuat jutaan orang mengungsi. Dalam kesempatan ini gerakan Komunis internasional jauh lebih berani bersikap ketimbang saat mereka menanggapi invasi Soviet ke Hongaria dan Cekoslowakia. Namun, di mata publik internasional, perang baru ini telah mengungkap perceraian antara blok sosialis dengan alternatif politik yang berpijak pada perdamaian dan perlawanan terhadap militerisme.

Secara keseluruhan, intervensi militer Soviet tidak hanya menciderai inisiatif pengurangan senjata secara umum tetapi juga mendiskreditkan dan melemahkan sosialisme secara global. Uni Soviet semakin dilihat sebagai kekuatan imperial yang tindakannya tidak berbeda dengan Amerika Serikat. Washington sendiri diam-diam telah menyokong kudeta dan upaya penggulingan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di lebih dari 20 negara dunia. Terakhir, “perang sosialis” pada 1977-1979 yang melibatkan Kamboja dan Vietnam serta Tiongkok dan Vietnam—tanpa melupakan latar belakang perpecahan Uni Soviet dan RRC—telah menggerus pengaruh ideologi “Marxis-Leninis”—yang bahkan sudah melenceng jauh dari fondasi asli yang diletakkan oleh Marx dan Engels—yang selama ini terus mengaitkan perang secara eksklusif dengan kekacauan ekonomi dalam sistem kapitalisme.

Menjadi di kiri berarti melawan perang
Berakhirnya Perang Dingin tidak mengurangi frekuensi campur tangan dalam urusan negara lain, tidak pula meningkatkan kebebasan setiap orang untuk memilih rezim politik di mana ia bisa hidup. Banyak perang—tanpa mandat PBB dan bahkan didefinisikan dengan absurdnya sebagai intervensi “kemanusiaan”—yang dilakukan oleh AS dalam dua puluh lima tahun terakhir—plus bentuk-bentuk baru konflik, sanksi politik dan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, dan pengkondisian media—menunjukkan bagaimana pembagian kutub antara dua negara adidaya gagal melapangkan jalan menuju era kebebasan dan kemajuan yang dijanjikan oleh mantra neoliberal “Tatanan Dunia Baru”. Dalam konteks ini, banyak kekuatan politik yang pernah mengklaim nilai-nilai kiri kini terlibat dalam sejumlah perang. Dari Kosovo hingga Irak dan Afghanistan—beberapa contoh perang besar yang dilancarkan NATO sejak runtuhnya Tembok Berlin—kekuatan-kekuatan ini kerap mendukung intervensi bersenjata dan membuat sikap mereka semakin sulit dibedakan dari kubu kanan.

Dalam perang Rusia-Ukraina kaum kiri kembali menghadapi dilema klasik: respons apa yang semestinya diberikan ketika kedaulatan suatu negara diserang? Pemerintah Venezuela, misalnya, tidak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Ini kesalahan politik. Absennya kecaman Caracas bisa mempersulit posisi Venezuela seandainya kelak diserbu oleh Amerika Serikat. Kecaman Venezuela atas invasi AS—jika nanti benar-benar kejadian—akan terdengar kurang kredibel. Memang benar “dalam kebijakan luar negeri, tak banyak yang dapat diperoleh dengan menggunakan jargon populer seperti ’reaksioner’ dan ’revolusioner’”—bahwa apa yang “secara subjektif reaksioner [mungkin terbukti] revolusioner secara objektif dalam kebijakan luar negeri,” demikian isi surat Marx kepada Ferdinand Lassalle pada 1860. Namun, kaum kiri sudah seharusnya belajar dari pengalaman abad ke-20 bahwa aliansi “dengan musuhnya musuh saya” seringkali mengarah pada kesepakatan-kesepakatan kontraproduktif, terutama ketika—seperti yang hari ini terjadi—front progresif lemah secara politik, gagap secara teori, dan miskin mobilisasi massa.

Dalam Revolusi Sosialis dan Hak Bangsa-Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri, Lenin berujar: “Dalam kondisi-kondisi tertentu, perjuangan pembebasan nasional melawan kekuatan imperialis dapat dimanfaatkan oleh kekuatan “adidaya” lain untuk kepentingan yang sama-sama imperialisnya; namun ini tidak berarti bahwa kaum Sosial Demokrat bisa mengabaikan pengakuan atas hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri.” Di luar kepentingan dan intrik geopolitik yang lazim turut bermain, dalam sejarahnya kaum kiri telah lama mendukung prinsip penentuan nasib sendiri dan membela hak masing-masing negeri untuk mendirikan perbatasan atas dasar kehendak warganya. Kaum kiri telah melancarkan perang terhadap perang dan “pencaplokan wilayah” karena mereka sadar bahwa perang dan aneksasi hanya akan memicu konflik besar antara pekerja di negara yang mendominasi dan bangsa-bangsa tertindas, lantas menciptakan kondisi bagi yang bangsa-bangsa terjajah untuk bersatu dengan kelas borjuasi mereka sendiri dan memusuhi buruh-buruh di negara penindas. Dalam Hasil Diskusi Penentuan Nasib Sendiri (1916), Lenin menulis: “Jika revolusi sosialis ingin menang di Petrograd, Berlin dan Warsawa, maka pemerintah sosialis Polandia, seperti halnya pemerintah sosialis Rusia dan Jerman, harus menanggalkan upaya-upaya penuh paksaan untuk mengontrol, misalnya, orang-orang Ukraina di dalam perbatasan Polandia melalui.” Jika demikian, mengapa opsi yang berbeda harus ditawarkan kepada pemerintah nasionalis pimpinan Vladimir Putin?

Di sisi lain, terlalu banyak kaum kiri yang menyerah pada godaan untuk terlibat dalam perang—baik langsung maupun tidak—lantas mengobarkan ‘persekutuan suci’ (union sacrée, sebuah ungkapan yang dicetuskan pada 1914 untuk menyambut dukungan kaum kiri Prancis kepada pemerintah yang memutuskan untuk terjun ke kancah Perang Dunia I). Hari ini, posisi semacam itu semakin mengaburkan perbedaan antara Atlantisisme dan pasifisme. Sejarah menunjukkan, ketika kubu progresif tidak menentang perang, bagian penting dari alasan keberadaan mereka akan hilang dan pada akhirnya mereka pun akan larut dalam ideologi kubu lawan. Ini terjadi tiap kali partai kiri menjadikan eksistensi mereka di pemerintahan sebagai tolok ukur tindakan politik. Itulah yang dilakukan kaum komunis Italia ketika mendukung intervensi NATO di Kosovo dan Afghanistan, atau ketika mayoritas anggota Unidas Podemos hari ini bersama parlemen Spanyol mendukung keputusan pengiriman bantuan senjata ke kubu Ukraina. Perilaku rendahan semacam itu sudah berkali-kali diganjar hukuman, termasuk di bilik-bilik pemungutan suara ketika pemilu digelar.

Bonaparte bukanlah demokrasi
Pada 1853-1856, Marx menulis serangkaian artikel yang cemerlang untuk New-York Daily Tribune. Kumpulan artikel itu menyuguhkan banyak sekali paralel yang menarik dan berguna sebagai pelajaran untuk hari ini. Dalam sebuah artikel bertahun 1853, Marx membahas seorang penguasa besar Moskow dariq abad ke-15 yang dianggap telah menyatukan Rusia dan meletakkan pondasi bagi kekuasaannya yang otokratik. Marx menyatakan: “Orang cukup mengganti deretan nama dan tanggal ini sehingga jelas bahwa kebijakan Ivan III […], dan kebijakan Tsar Rusia sekarang tidak hanya serupa tetapi juga identik.” Namun, pada tahun berikutnya, ketika Marx berseberangan dengan kaum demokrat liberal yang mengusung koalisi anti-Rusia, ia menulis: “Keliru ketika perang melawan Rusia digambarkan sebagai pertempuran antara kebebasan dan despotisme. Bahkan seandainya gambaran itu benar, kebebasan untuk sementara waktu diwakili oleh seorang Bonaparte, seluruh misi yang dipikul perang ini adalah pelestarian … Traktat Wina—perjanjian-perjanjian yang membatalkan kebebasan dan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Jika kita mengganti Bonaparte dengan Amerika Serikat dan Traktat Wina dengan NATO, amatan Marx seakan ditulis untuk hari ini.

Keraguan politik atau kekaburan teori tak terlihat dalam pemikiran mereka yang menentang nasionalisme Rusia dan Ukraina serta ekspansi NATO. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah ahli memberikan penjelasan tentang akar konflik Rusia-Ukraina (tanpa sama sekali mengurangi bobot kebrutalan invasi Rusia); posisi mereka yang mengusung kebijakan untuk tidak berpihak pada kubu-kubu yang bertikai adalah jalan paling efektif untuk mengakhiri perang sesegera mungkin dan memastikan agar jumlah korban jiwa tak bertambah. Ini bukan soal berperilaku bak “jiwa-jiwa molek” yang mabuk idealisme abstrak, yang menurut Hegel tak mampu menghadapi realitas penuh kontradiksi di dunia nyata. Sebaliknya: pokok dari pendekatan ini adalah memberikan basis kenyataan kepada satu-satunya penangkal sejati perang agar tidak merembet ke mana-mana. Di sisi lain, seruan rekrutmen serdadu untuk perang terus bergema. Demikian pula suara-suara yang menekankan bahwa Eropa wajib menyuplai senjata dan amunisi yang dibutuhkan untuk berperang (sikap ini misalnya diambil oleh Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa). Namun, berbeda dengan posisi-posisi tersebut, yang perlu terus digencarkan adalah diplomasi berlandaskan dua tuntutan pokok yang tak bisa ditawar—de-eskalasi konflik dan netralitas Ukraina yang merdeka.

Meskipun dukungan untuk NATO meningkat karena invasi Rusia, diperlukan kerja keras untuk memastikan agar publik tidak memandang NATO—mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia—sebagai solusi untuk masalah-masalah keamanan global. NATO harus diekspos sebagai organisasi berbahaya lagi tidak efektif, sebagai organisasib yang telah menjerumuskan dunia ke dalam ketegangan-ketegangan yang bisa melahirkan perang, sebagai akibat dari upayanya untuk melancarkan ekspansi dan dominasi tatanan dunia unipolar.

Dalam Sosialisme dan Perang, Lenin berpendapat bahwa kaum Marxis berbeda dari pasifis dan anarkis karena mereka “menilai perlunya mempelajari setiap perang secara historis (dari sudut pandang materialisme dialektis Marx) dan secara terpisah.” Selanjutnya ia menegaskan: “Terlepas dari semua kengerian, kekejaman, kesulitan dan penderitaan yang niscaya mengiringi semua perang, ada banyak perang dalam sejarah yang berwatak progresif, yaitu yang menguntungkan perkembangan umat manusia.” Jika benar demikian yang terjadi di masa lalu, sulit rasanya menegaskan pernyataan tersebut dalam konteks masyarakat hari ini, ketika senjata pemusnah massal terus menyebar. Jarang sekali perang—yang tidak semestinya dirancukan dengan revolusi—membuahkan dampak demokratisasi sebagaimana diharapkan oleh para teoritikus sosialisme. Perang memang sering terbukti menjadi cara terburuk untuk melakukan revolusi, baik karena harga nyawa yang harus dibayar maupun karena penghancuran kekuatan produktif yang ditimbulkannya. Pelajaran ini juga tidak boleh dilupakan oleh kaum kiri moderat.

Bagi kaum kiri, perang tidak boleh menjadi—mengutip Clausewitz—“kelanjutan politik dengan cara lain.” Kenyataannya, perang hanya akan memperjelas kegagalan politik. Jika kaum kiri ingin kembali hegemonik dan menunjukkan bahwa dirinya mampu menggali dan menafsirkan sejarahnya untuk tugas-tugas hari ini, mereka perlu menulis “anti-militerisme” dan “Katakan tidak untuk perang!” di spanduk-spanduk.

Categories
Interviews

Merayakan Marx Tua: Wawancara Marcello Musto (Bagian II)

TAHUN-TAHUN terakhir kehidupan Karl Marx seringkali diabaikan karena dianggap sebagai periode kemunduran fisik dan intelektual. Namun sejatinya, pemikiran Marx tetaplah hidup hingga akhir hayat karena tanggapan-tanggapannya atas berbagai persoalan politik masih relevan bagi kita hingga hari ini.

Pemikiran Marx tua adalah tema dari karya Marcello Musto yang baru terbit, The Last Years of Karl Marx. Di dalam buku itu, Musto dengan handal merajut detail biografis yang kaya pembacaan seksama atas tulisan-tulisan Marx tua yang seringkali diliputi nada keraguan. Editor Jacobin, Nicolas Allen, bercakap-cakap dengan Musto mengenai kompleksitas studi atas tahun-tahun terakhir kehidupan Marx, tentang mengapa keraguan-keraguan Marx tua lebih bermanfaat bagi kita hari ini alih-alih klaim-klaim penuh keyakinan yang ia buat semasa muda. Perbincangan ini adalah bagian pamungkas dari dua wawancara. Bagian pertama dapat dilihat di sini.

 

SALAH satu bab yang sentral dalam The Last Years of Karl Marx membahas tentang hubungan Marx dengan Rusia. Seperti Anda tunjukkan, Marx terlibat dalam dialog yang sangat intens dengan beberapa kalangan kiri Rusia, khususnya seputar penerimaan mereka atas volume pertama Capital. Apakah yang menjadi poin-poin utama dalam perdebatan tersebut?

Selama bertahun-tahun, Marx menilai Rusia sebagai salah satu hambatan emansipasi kelas pekerja. Beberapa kali ia menekankan bahwa perkembangan ekonomi Rusia yang lambat dan rezim politiknya yang despotik menjadikan kekuasaan tsar benteng terdepan kontra-revolusi. Namun dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Marx mulai melihat Rusia secara berbeda. Ia menangkap beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial yang besar setelah penghapusan perhambaan pada 1861. Rusia di mata Marx lebih mungkin melahirkan revolusi ketimbang Inggris. Di Inggris, kapitalisme telah melahirkan buruh pabrik dalam jumlah terbesar di dunia. Di sisi lain, gerakan buruh menikmati kondisi hidup yang lebih baik karena kecipratan hasil eksploitasi kolonial sehingga makin lemah dan terkena pengaruh buruk dari reformisme ala serikat buruh.

Dialog-dialog antara Marx dan kaum revolusioner Rusia berciri intelektual dan juga politis. Pada paruh pertama dekade 1870-an, ia mengakrabkan diri dengan literatur-literatur kritis utama tentang masyarakat Rusia dan menaruh perhatian khusus pada karya filsuf sosialis Nikolai Chernyshevsky (1828-1889). Ia percaya fenomena sosial yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi di negara-negara termaju dapat menyebar sangat cepat ke bangsa-bangsa lain dan membuat lonjakan dari tingkat yang lebih rendah menjadi lebih tinggi, melompati fase-fase perantara. Gagasan ini memberikan Marx bahan-bahan pemikiran untuk mempertimbangkan kembali konsepsi materialistiknya tentang sejarah.

Untuk sekian lama, Marx telah menyadari bahwa skema kemajuan linear yang melewati fase corak produksi Asiatik, kuno, feodal, dan borjuis modern, sebagaimana ia jabarkan dalam pengantar untuk A Contribution to the Critique of Political Economy (1859) sangat tidak memadai untuk memahami pergerakan sejarah. Ia paham pentingnya membersihkan diri dari filsafat sejarah. Ia tidak lagi memahami pergantian corak produksi dalam lintasan sejarah sebagai urutan yang pasti.

Marx juga berkesempatan untuk berdiskusi dengan kaum militan dari berbagai tendensi revolusioner di Rusia. Ia mengagumi karakter membumi dari aktivitas politik populisme Rusia – yang pada waktu itu merupakan gerakan sayap kiri anti-kapitalis – khususnya karena mereka tidak jatuh ke dalam sikap ultra-revolusioner yang tak masuk akal ataupun generalisasi-generalisasi yang kontra-produktif. Marx menilai relevansi organisasi-organisasi sosialis yang ada di Rusia dari karakter pragmatis mereka, bukan deklarasi kesetiaan pada teori-teorinya. Bahkan, ia mengamati bahwa seringkali mereka yang mengaku “Marxis” justru adalah pihak yang paling doktriner. Perjumpaannya dengan teori-teori dan aktivitas politik kaum populis Rusia – sama seperti pertemuannya dengan para pejuang Komune Paris satu dekade sebelumnya – mendorong Marx menjadi lebih fleksibel dalam menganalisis peristiwa-peristiwa revolusioner dan kekuatan-kekuatan subjektif pembentuknya. Ini mendekatkan Marx kepada internasionalisme sejati berskala global.

Tema sentral dialog dan pertukaran gagasan antara Marx dan banyak figur kiri Rusia adalah seputar isu kompleks tentang perkembangan kapitalisme, yang jelas mengandung implikasi-implikasi teoretik dan politis. Kerumitan diskusi ini juga terbukti dengan keputusan final Marx untuk tidak jadi mengirimkan suratnya yang berisi kritik atas kesalahan-kesalahan tafsir atas Capital ke jurnal Otechestvennye Zapiski, ataupun merespons “pertanyaan hidup-mati” Vera Zasulich (1849-1919) mengenai masa depan komune pedesaan (obshchina) hanya dengan surat pendek yang penuh kehati-hatian, bukan dengan tulisan panjang yang telah ia siapkan dengan penuh semangat lewat tiga naskah persiapan.


Korespondensi Marx dengan tokoh sosialis Rusia Vera Zasulich adalah topik yang banyak diminati hari ini. Marx menunjukkan komune pedesaan Rusia berpotensi untuk mengadopsi kemajuan-kemajuan terkini masyarakat kapitalis – teknologi, khususnya – tanpa harus melalui pergolakan sosial yang teramat destruktif bagi kaum petani Eropa Barat. Dapatkah Anda menjelaskan dengan lebih detail pemikiran yang mendasari kesimpulan-kesimpulan Marx?

Lewat kebetulan belaka, surat Zasulich tiba di tangan Marx persis ketika minatnya pada bentuk-bentuk masyarakat purba, membuatnya menaruh perhatian lebih seksama pada penemuan-penemuan terbaru para antropolog di masanya. Sebelumnya, minat ini makin dalam pada 1879 lewat studi atas karya sosiolog Maksim Kovalevsky (1851-1916). Teori dan praktik juga menuntunnya ke posisi tersebut. Mengikuti ide-ide yang digagas oleh antropolog Morgan, Marx menulis bahwa kapitalisme dapat digantikan dengan bentuk yang lebih maju dari cara produksi kolektif zaman kuno.

Pernyataan ambigu ini membutuhkan paling tidak dua klarifikasi. Pertama, berbekal apa yang ia pelajari dari Chernyshevsky, Marx berargumen bahwa Rusia tidak bisa mengulangi begitu saja setiap tahapan sejarah Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Pada prinsipnya, transformasi sosialis obshchina dapat terjadi tanpa harus melalui kapitalisme. Namun ini bukan berarti bahwa Marx mengubah pandangan kritisnya tentang komune pedesaan di Rusia, atau bahwa ia percaya bahwa negara-negara yang kapitalismenya masih kurang berkembang sejatinya lebih dekat pada revolusi daripada negara-negara dengan perkembangan kapasitas produktif yang lebih maju. Ia tak sekonyong-koyong meyakini bahwa komune-komune tua di pedesaan merupakan tempat yang lebih mendukung emansipasi individu daripada relasi sosial yang berada di bawah kapitalisme. Kedua, analisisnya mengenai kemungkinan transformasi progresif obshchina tidak dimaksudkan untuk diangkat ke model yang lebih umum. Ini merupakan analisis spesifik atas corak produksi kolektif tertentu pada momen historis tertentu. Dengan kata lain, Marx menunjukkan fleksibilitas teoretik dan kelenturan skema yang gagal diperlihatkan banyak pemikir Marxis setelahnya. Pada akhir hidupnya, Marx menunjukkan keterbukaan teoretik yang lebih luas lagi, yang memungkinkannya mempertimbangkan jalur-jalur alternatif menuju sosialisme yang sebelumnya tidak ia pikirkan secara serius atau yang dianggapnya tidak mungkin berhasil.

Keraguan Marx berubah menjadi keyakinan bahwa kapitalisme merupakan tahap yang tak terelakkan bagi perkembangan ekonomi di setiap negara dan kondisi sejarah. Minat baru ini—yang muncul hari ini terhadap pertimbangan-pertimbangan yang Marx tidak pernah kirimkan kepada Zasulich dan dalam ide-ide serupa yang terekspresikan dengan lebih jelas dalam tahun-tahun terakhir hidup Marx—dimotori oleh konsepsi mengenai masyarakat pasca-kapitalis yang amat jauh dari pemahaman tentang sosialisme berkekuatan produksi—konsepsi yang mengandung nada nasionalis dan simpati pada kolonialisme, yang memengaruhi Internasional Kedua dan partai-partai sosial-demokratik. Ide-ide Marx juga sangat berbeda dengan “metode ilmiah” tentang analisis sosial yang berkembang di Uni Soviet dan satelit-satelitnya.


Meskipun kondisi kesehatan Marx yang buruk sudah menjadi pengetahuan umum, tetap menyakitkan rasanya waktu membaca bab terakhir The Last Years of Karl Marx di mana Anda menceritakan kondisinya yang memburuk. Biografi-biografi intelektual tentang Marx perlu menghubungkan kehidupan dan aktivitas politiknya dengan pemikirannya; namun bagaimana dengan periode belakangan ketika Marx makin tidak aktif karena kondisinya melemah? Bagaimana Anda mendekati periode tersebut sebagai seseorang yang menulis biografi intelektual?

Salah satu pakar Marx terbaik dari yang pernah ada, Maximilien Rubel (1905-1996), pengarang buku Karl Marx: essai de biographie intellectuelle (1957), berargumen bahwa untuk bisa menulis tentang Marx, seseorang harus sedikit menjadi filsuf, sejarawan, ekonom, dan sosiolog pada saat yang sama. Saya mau menambahkan bahwa dengan menulis biografi Marx, seseorang belajar banyak tentang ilmu kedokteran juga. Sepanjang kehidupan dewasanya, Marx berurusan dengan sejumlah masalah kesehatan. Yang paling lama adalah infeksi di kulit yang menemaninya selama penulisan Capital dan termanifestasi dalam nanah dan bisul pada berbagai bagian tubuhnya. Karena alasan inilah, ketika Marx menyelesaikan magnum opus-nya, ia menulis: “Saya harap kaum borjuasi akan mengingat bisul-bisulku hingga akhir hayat mereka!”

Dua tahun terakhir kehidupannya terbilang sulit. Marx amat berduka karena kehilangan istri dan putri sulungnya. Ia juga mengalami radang tenggorokan kronis yang seringkali berkembang menjadi radang paru-paru. Ia berusaha—dan berakhir dengan kesia-siaan—menemukan tempat dengan iklim cocok agar kondisinya membaik. Ia bahkan menjelajahi Inggris seorang sendiri, ke Prancis, dan bahkan ke Aljazair, di mana ia memulai satu periode panjang pengobatan. Aspek paling menarik dari bagian biografi Marx ini adalah kebijaksanaannya, selalu diikuti dengan ironi, yang ia demonstrasikan sewaktu menghadapi kerapuhan tubuhnya. Surat-surat yang ia tuliskan pada putri-putrinya dan kepada Engels, ketika ia merasa bahwa ia telah mencapai ujung jalan kehidupan, menunjukkan sisi intimnya. Surat-surat ini menunjukkan nilai penting apa yang ia sebut sebagai “dunia mikroskopik”, yang dimulai dengan perhatian mendalam Marx terhadap cucu-cucunya. Dunia mikroskopik ini juga menunjukkan seseorang yang telah lama dan intens mengarungi kehidupan dan kini mengevaluasi segala aspeknya.

Para penulis biografi harus memperhitungkan penderitaan-penderitaan Marx di ranah privat, khususnya ketika perihal ini relevan untuk memahami lebih baik lagi kesulitan-kesulitan di balik penulisan buku, atau alasan-alasan mengapa suatu naskah tidak selesai. Namun, para penulis juga harus tahu pada titik mana mereka harus berhenti dan mengabaikan pandangan yang secara khusus tertuju pada urusan-urusan pribadi Marx.


Ada begitu banyak isi pemikiran Marx yang termuat dalam surat-surat dan naskah-naskah yang tak selesai. Haruskah kita memberikan status yang sama pada tulisan-tulisan ini dengan tulisan-tulisan lain Marx yang lebih mapan? Ketika Anda berargumen bahwa tulisan Marx “secara esensial belum tuntas”, apakah Anda punya bayangan seperti ini?

Capital tetaplah tidak tuntas karena kemiskinan yang menggerogoti Marx selama dua dekade kehidupannya dan karena kondisi kesehatannya yang buruk terkait kecemasan sehari-hari. Jelas bahwa tugas yang ia bebankan pada dirinya sendiri – memahami corak produksi kapitalis dalam keadaan idealnya dan mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan umum perkembangannya – luar biasa sulit untuk dicapai. Namun Capital bukanlah satu-satunya proyek yang tidak tuntas. Kritik tanpa ampun yang Marx terapkan pada dirinya sendiri menambahkan kesulita, dan lamanya waktu yang ia habiskan untuk banyak proyek yang hendak ia terbitkan disebabkan oleh ketelitian ekstrem yang ia terapkan pada seluruh pemikirannya.

Ketika Marx masih muda, ia dikenal di antara teman-teman kampusnya karena kecermatannya. Ada kisah-kisah yang menggambarkannya sebagai sosok yang menolak untuk menuliskan sebuah kalimat jika ia tidak mampu membuktikannya dengan sepuluh cara yang berbeda. Inilah alasan mengapa intelektual muda yang sebenarnya paling produktif di kalangan Hegelian Kiri ini menerbitkan lebih sedikit karya dibandingkan banyak anggota lainnya. Keyakinan Marx bahwa informasi yang dimilikinya masih belum cukup, dan penilaiannya belum masak, menghalanginya untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang berakhir sebagai catatan garis besar atau fragmen-fragmen. Namun ini juga menjadi alasan mengapa catatan-catatannya sangatlah bermanfaat dan patut dipertimbangkan sebagai bagian integral dari karya lengkapnya. Hasil jerih lelahnya ini memiliki banyak dampak teoretik yang luar biasa di kemudian hari.

Ini bukan berarti bahwa tulisan-tulisannya yang belum kelar tersebut memiliki bobot yang sama dengan yang telah diterbitkan. Saya akan membedakan lima tipe tulisannya: karya yang telah terbit, naskah-naskah persiapan, artikel-artikel jurnalistik, surat-surat, dan buku-buku catatan. Namun ada pembedaan juga yang harus diterapkan pada kategori-kategori ini. Beberapa tulisan Marx yang diterbitkan tidak boleh dianggap sebagai representasi pandangan finalnya mengenai isu yang dibahas. Misalnya, Manifesto of the Communist Party dianggap Engels dan Marx sebagai dokumen sejarah dari masa muda mereka, dan bukan sebagai naskah definitif yang memuat konsepsi-konsepsi politik utama mereka. Perlu diingat juga bahwa tulisan-tulisan propaganda politik dan saintifik seringkali tidak dapat digabungkan. Sayangnya, kesalahan-kesalahan semacam ini sangat sering muncul dalam literatur sekunder tentang Marx. Belum lagi absennya dimensi kronologis dalam banyak upaya merekonstruksi pemikirannya. Tulisan-tulisan dari 1840an tidak dapat dikutip begitu saja bersama dengan tulisan-tulisan dari 1860an dan 1870an, karena mereka tidak mengandung bobot pengetahuan ilmiah dan pengalaman politik yang sama. Beberapa naskah ditulis oleh Marx hanya untuk dirinya sendiri, sementara naskah-naskah lain adalah materi-materi persiapan untuk buku-buku yang hendak diterbitkan. Beberapa di antaranya direvisi dan diperbarui oleh Marx, sementara yang lainnya ditinggal begitu saja (dalam kategori ini ada jilid III Capital). Beberapa artikel jurnalistik mengandung pertimbangan-pertimbangan yang dapat dianggap sebagai karya final Marx. Namun beberapa yang lainnya ditulis secara tergesa-gesa demi mendapatkan uang untuk membayar sewa tempat tinggal. Beberapa surat mencakup pandangan-pandangan otentik Marx mengenai isu-isu yang didiskusikan. Beberapa yang lainnya hanya mengandung versi yang diperhalus, karena ditujukan pada orang-orang di luar lingkaran pergaulannya, sehingga penting untuk mengekspresikan pandangannya secara diplomatis. Karena semua alasan ini, menjadi jelas bahwa pemahaman yang baik mengenai kehidupan Marx amatlah krusial dalam upaya untuk memahami gagasan-gagasannya secara tepat. Akhirnya, ada lebih dari 200 buku catatan yang mengandung rangkuman-rangkuman (dan kadang-kadang komentar) dari buku-buku terpenting yang dibaca Marx sepanjang 1838 hingga 1882. Buku-buku catatan ini penting untuk memahami asal-usul kelahiran teorinya dan unsur-unsur yang tidak mampu atau belum sempat ia kembangkan.

Ide-ide yang dipikirkan oleh Marx dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya ini terutama termuat dalam buku-buku catatan ini. Buku-buku catatan tersebut memang sulit sekali untuk dibaca, namun mereka memberikan kepada kita akses pada harta karun yang amat berharga: bukan hanya penelitian yang Marx tuntaskan sebelum kematiannya, namun juga pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pada dirinya sendiri. Beberapa keraguannya mungkin malah lebih bermanfaat bagi kita hari ini daripada keyakinannya.

 

Categories
Interviews

Merayakan Marx Tua: Wawancara Marcello Musto (Bagian I)

TAHUN-TAHUN terakhir kehidupan Karl Marx seringkali diabaikan karena dianggap sebagai periode kemunduran fisik dan intelektual. Namun sejatinya, pemikiran Marx tetaplah hidup hingga akhir hayat karena tanggapan-tanggapannya atas berbagai persoalan politik masih relevan bagi kita hingga hari ini.

Pemikiran Marx tua adalah tema dari karya Marcello Musto yang baru terbit, The Last Years of Karl Marx. Di dalam buku itu, Musto dengan handal merajut detail biografis yang kaya pembacaan seksama atas tulisan-tulisan Marx tua yang seringkali diliputi nada keraguan. Editor Jacobin, Nicolas Allen, bercakap-cakap dengan Musto mengenai kompleksitas studi atas tahun-tahun terakhir kehidupan Marx, tentang mengapa keraguan-keraguan Marx tua lebih bermanfaat bagi kita hari ini alih-alih klaim-klaim penuh keyakinan yang ia buat semasa muda. Wawancara ini adalah bagian pertama. Bagian kedua bisa dilihat di sini.


Nicolas Allen: Khususnya tiga tahun terakhir kehidupan Marx pada 1880-an, “Marx tua” yang menjadi tema tulisan anda, seringkali diabaikan oleh kaum Marxis dan ahli Marx. Selain fakta bahwa Marx tidak menerbitkan karya besar pada tahun-tahun itu, menurut Anda mengapa perhatian pada periode tersebut terbilang kurang?

Marcello Musto: Semua biografi intelektual Marx yang terbit hingga hari ini sedikit sekali menyoroti dekade terakhir kehidupannya; umumnya mereka hanya menyuguhkan beberapa halaman tentang aktivitas Marx setelah bubarnya International Working Men’s Association pada 1872. Bukan kebetulan kalau para peneliti ini hampir selalu menggunakan sebutan “dekade terakhir” untuk bagian yang sangat pendek dalam buku-buku mereka ini. Keterbatasan ini bisa dimaklumi untuk para penulis seperti Franz Mehring (1846-1919), Karl Vorländer (1860-1928), dan David Ryazanov (1870-1938), yang menulis biografi Marx pada masa antara dua perang dunia, dan hanya bisa fokus ke sejumlah naskah yang belum diterbitkan. Namun, masalahnya lebih kompleks bagi karya-karya yang muncul setelah masa pergolakan tersebut.

Dua tulisan Marx yang paling dikenal – Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan The German Ideology (1845-46), keduanya sama-sama belum dituntaskan – diterbitkan pada 1932 dan mulai beredar pada paruh kedua 1940-an. Mengingat Perang Dunia II menerbitkan perasaan cemas akibat kebrutalan Nazi sehingga aliran-aliran filsafat seperti eksistensialisme meraup popularitas, maka tema tentang kondisi individu dalam masyarakat pun naik ke permukaan. Ini menciptakan kondisi sempurna bagi naiknya minat terhadap ide-ide filosofis Marx, seperti keterasingan dan hakikat manusia. Sama seperti kebanyakan karya yang lahir dari dunia akademik, biografi-biografi Marx yang terbit dalam periode ini mencerminkan semangat zamannya (Zeitgeist) dan memberi penekanan pada tulisan-tulisan Marx sewaktu muda. Banyak buku dari 1960-an dan 1970-an yang mengklaim isinya sebagai pengantar pemikiran Marx secara keseluruhan, namun sejatinya cuma fokus pada periode 1843-1848, zaman ketika Marx baru berusia tiga puluh tahun pada waktu penerbitan Manifesto of the Communist Party (1848).

Dalam konteks ini, bukan hanya dekade terakhir kehidupan Marx yang dikesampingkan, namun Capital sendiri juga digeser ke posisi sekunder. Sosiolog liberal Raymond Aron secara tepat menggambarkan sikap ini dalam buku D’une Sainte Famille à l’autre. Essais sur les marxismes imaginaires (1969). Di buku itu ia mengolok-olok betapa kaum Marxis di Paris sepintas saja membaca Capital, karya utama Marx dan hasil dari kerjanya selama bertahun-tahun. Mereka lebih terpikat pada Economic and Philosophic Manuscripts of 1844.

Kita bisa bilang bahwa mitos “Marx Muda” adalah kesalahpahaman utama dalam sejarah studi Marx. Mitos ini dipopulerkan salah satunya oleh Louis Althusser dan mereka yang menyatakan bahwa Marx muda tidak patut dianggap bagian dari Marxisme. Marx tidak menerbitkan karya apapun yang bakal ia anggap sebagai karya “utama” dalam paruh pertama tahun 1840-an. Misalnya, seseorang harus membaca pidato-pidato Marx dan resolusi-resolusinya untuk International Working Men’s Association, jika hendak memahami pemikiran politiknya, bukannya malah membaca artikel-artikel jurnal dari 1844 yang muncul di German-French Yearbook. Bahkan ketika kita menganalisis naskah-naskahnya yang belum tuntas seperti Grundrisse (1857-58) ataupun Theories of Surplus-Value (1862-63), akan tampak bahwa naskah-naskah ini lebih signifikan bagi Marx sendiri ketimbang kritik atas neo-Hegelianisme di Jerman yang “ditinggalkan untuk kritik yang seperti gigitan tikus” pada 1846. Tren untuk memberikan penekanan berlebih pada tulisan-tulisan Marx waktu muda tidak banyak berubah sejak keruntuhan Tembok Berlin. Biografi-biografi yang lebih baru juga tetap mengabaikan periode [Marx tua] ini – meski telah muncul penerbitan naskah-naskah baru Marx dalam Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA²), edisi historis-kritis dari karya lengkap Marx dan Friedrich Engels (1820-1895) yang dilanjutkan pada 1998, dan beberapa studi berboot tentang fase terakhir produksi intelektual Marx.

Alasan lain dari pengabaian ini adalah kerumitan luar biasa pada studi-studi yang dikerjakan oleh Marx di akhir hayatnya. Lebih gampang menulis tentang mahasiswa bau kencur dari kelompok Hegelian Kiri ketimbang mencoba memahami kerumitan naskah-naskah dengan ragam minat intelektual dari awal 1880-an yang ditulis dalam berbagai bahasa; inilah yang mungkin menghambat kemajuan pemahaman tentang capaian-capaian penting Marx. Terlalu banyak penulis biografi dan ahli Marx yang gagal untuk melihat lebih dalam pada apa yang sebenarnya ia kerjakan pada masa itu karena mereka secara keliru menganggap Marx tidak lagi melanjutkan kerja intelektualnya dan menggambarkan sepuluh tahun terakhir kehidupan Marx sebagai “penderitaan yang memuncak secara perlahan,”


Dalam film baru Miss Marx, ada adegan yang muncul segera setelah penguburan Marx yang menunjukkan bagaimana Engels dan Eleanor, putri bungsu Marx, membuka-buka naskah-naskah di meja kerja Marx. Engels memeriksa satu makalah dan mengomentari minat Marx tua terhadap persamaan diferensial. The Last Years of Karl Marx kelihatannya memberikan kesan bahwa pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, cakupan minat Marx lebih luas daripada sebelumnya. Apakah ada garis panduan yang menghubungkan bermacam-macam topik yang digelutinya seperti antropologi, ekologi, matematika, sejarah, gender, dan lain-lain?

Sebelum meninggal, Marx berpesan pada Eleanor untuk mengingatkan Engels agar ia “melakukan sesuatu” terhadap naskah-naskahnya yang belum tuntas. Sebagaimana yang kita tahu, selama dua belas tahun akhir kehidupan Engels sejak Marx meninggal, ia mengambilalih tugas maha berat memeriksa dan mengirim jilid II dan III Capital ke percetakan. Dua karya ini dikerjakan Marx sejak pertengahan 1860-an hingga 1881, namun gagal diselesaikan. Teks-teks lain yang ditulis oleh Engels sendiri, setelah Marx meninggal pada 1883, secara tidak langsung memenuhi permintaan Marx dan terkait erat dengan riset-riset yang ia kerjakan selama tahun-tahun terakhir kehidupannya. Misalnya, Origins of the Family, Private Property, and the State (1884) disebut-sebut oleh penulisnya sebagai “eksekusi wasiat” dan terinspirasi oleh riset Marx tentang antropologi, sebagaimana tampak dalam bagian-bagian yang ia salin pada 1881 dari Ancient Society (1877) karya Henry Morgan (1818-1881) dan komentar-komentar yang ia tambahkan pada rangkuman buku tersebut.

Tidak ada garis panduan tunggal yang dapat menjelaskan tahun-tahun terakhir penelitian Marx. Beberapa studinya semata-mata muncul dari penemuan-penemuan ilmiah terbaru (ia tak mau ketinggalan) , atau dari peristiwa-peristiwa politik yang dianggapnya penting. Sebelumnya Marx telah memahami bahwa tingkat emansipasi suatu masyarakat bergantung pada tingkat emansipasi perempuan. Namun, ia baru punya kesempatan untuk menganalisis penindasan gender dengan lebih mendalam berkat kemunculan studi-studi antropologi pada 1880-an. Dibandingkan dua dekade sebelumnya, Marx kurang mencurahkan perhatian untuk isu-isu ekologis. Namun, di sisi lain ia sekali lagi menenggelamkan diri dalam tema-tema sejarah. Di antara musim gugur 1879 dan musim panas 1880, ia mengisi buku catatan berjudul Notes on Indian History (664-1858). Sementara itu, antara musim gugur 1881 dan musim dingin 1882, ia menggarap secara intensif Chronological Extracts, pembabakan sejarah beranotasi per tahun sepanjang 550 halaman yang dikerjakan dengan tulisan tangan yang lebih kecil daripada biasanya. Catatan ini mencakup rangkuman peristiwa-peristiwa dunia dari abad pertama sebelum masehi hingga Perang Tiga Puluh Tahun pada 1648. Di situ ia merangkum sebab-sebab dan ciri-ciri utamanya. Mungkin saja Marx hendak menguji apakah konsepsi-konsepsinya punya dasar yang kuat dalam konteks perkembangan-perkembangan penting di bidang politik, militer, ekonomi, dan teknologi pada masa-masa sebelumnya. Yang jelas, kita harus ingat bahwa ketika Marx mengerjakan semua ini, ia sangat menyadari kondisi kesehatannya yang lemah menjadi penghalang untuk menuntaskan jilid kedua Capital. Ia berharap mampu menyelesaikan koreksi untuk edisi ketiga dalam bahasa Jerman dari jilid pertama. Namun tetap saja ia tidak berdaya mengerjakan itu.

Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa topik-topik penelitian selama tahun-tahun terakhir kehidupan Marx lebih luas dari sebelumnya. Mungkin keluasan cakupan riset Marx lebih tampak jelas dalam periode ini karena tidak dilakukan secara paralel dengan penulisan buku atau naskah-naskah persiapan yang signifikan. Akan tetapi, beberapa ribu halaman catatan yang disusun oleh Marx dalam delapan bahasa, sejak ia masih mahasiswa, mulai dari tentang filsafat, seni, sejarah, agama, politik, hukum, sastra, ekonomi-politik, hubungan internasional, teknologi, matematika, fisiologi, geologi, mineralogi, agronomi, antropologi, kimia, dan fisika, menjadi saksi rasa haus Marx akan pengetahuan dalam beragam disiplin ilmu. Yang mengejutkan, Marx tidak mampu meninggalkan kebiasaan ini, bahkan di saat kondisi fisiknya merosot. Rasa ingin tahu Marx yang besar dan semangat otokritiknya mengalahkan pertimbangan bahwa ia harus mengelola karya-karyanya dengan lebih “bijak” dan fokus.

Namun, obrolan seputar “apa yang seharusnya Marx lakukan” biasanya lahir dari orang-orang ‘sakit’ yang berharap Marx menjadi individu yang tak mengerjakan apapun kecuali menulis Capital – bahkan tidak membela diri di tengah kontroversi-kontroversi politik yang melibatkannya. Marx tetaplah seorang manusia, meski pernah menyebut dirinya “mesin yang dikutuk untuk melahap buku lalu membuangnya ke tumpukan tahi sejarah”. Minat Marx pada matematika dan kalkulus diferensial, misalnya, bermula sebagai stimulus intelektual saat menjajaki metode analisis sosial. Kelak minat ini malah menjadi klangenan, pelarian di masa-masa sulit, “kesibukan untuk menjaga ketenangan pikiran,” sebagaimana ia ceritakan pada Engels.


Studi-studi sebelumnya tentang tulisan-tulisan Marx tua cenderung berfokus pada riset Marx tentang masyarakat non-Eropa. Dengan mengakui bahwa ada be rbagaijalur perkembangan masyarakat di luar “model Barat”, sebagaimana yang diyakini Marx juga, tepatkah jika kita mengatakan bahwa Marx menggeser posisinya menjadi Marx yang “non-Eurosentris” seperti yang diklaim oleh beberapa penafsir? Ataukah lebih akurat jika apa yang dilakukan Marx adalah penegasan bahwa karyanya tidak pernah dimaksudkan untuk diterapkan begitu saja tanpa pertama-tama memperhatikan realitas konkret masyarakat-masyarakat yang secara historis berbeda?

Kunci pertama dan terutama untuk memahami minat geografis yang luas dalam riset Marx pada dekade terakhir kehidupannya terletak pada rencananya untuk menyiapkan penjelasan yang lebih solid tentang dinamika corak produksi kapitalis dalam skala global. Inggris adalah objek pengamatan utama dalam Capital, Volume I; setelah penerbitan volume tersebut, Marx hendak memperluas riset-riset sosio-ekonomi dalam dua jilid Capital yang akan ditulisnya. Alasan inilah yang membuat Marx memutuskan untuk belajar bahasa Rusia pada 1870 dan terus membutuhkan literatur dan statistik tentang Rusia dan Amerika Serikat. Ia percaya bahwa analisis tentang perubahan ekonomi di negara-negara tersebut akan sangat berguna untuk memahami kemungkinan bentuk-bentuk perkembangan kapitalisme dalam periode dan konteks yang berbeda-beda. Unsur krusial ini diabaikan dalam literatur sekunder mengenai topik – yang sekarang ini trendi – “Marx dan Eurosentrisme.”

Pertanyaan kunci lainnya dalam riset Marx mengenai masyarakat-masyarakat non-Eropa adalah apakah kapitalisme adalah prasyarat mutlak bagi kelahiran masyarakat komunis dan pada titik mana masyarakat komunis ini harus berkembang secara internasional. Konsepsi multilinear yang dipegang Marx pada tahun-tahun terakhir hidupnya, membuatnya lebih memperhatikan kekhasan sejarah dan ketimpangan perkembangan ekonomi dan politik di berbagai negara dan konteks sosial. Marx menjadi sangat skeptis mengenai transfer kategori-kategori penafsiran di antara konteks yang sangat berbeda secara historis dan geografis. Sebagaimana yang ditulis Marx, ia juga menyadari bahwa “peristiwa-peristiwa yang sangat mirip, yang terjadi di konteks historis yang berbeda, mengarah pada hasil yang sangat berbeda.” Pendekatan ini jelas menambah kesulitan yang harus ia hadapi saat menyelesaikan Capital serta menambah persepsi dalam diri Marx bahwa karya utamanya itu takkan sempat ia tuntaskan. Tapi jelas hal ini membuka harapan-harapan revolusioner yang baru.

Tak seperti apa yang diyakini secara naif oleh beberapa penulis, Marx tidak secara tiba-tiba menyadari bahwa ia selama ini berpandangan Eurosentris, lalu mengerahkan perhatiannya pada tema-tema studi baru karena merasa perlu mengoreksi pandangan-pandangan politiknya. Ia telah lama menjadi “warga dunia,” sebagaimana Marx menyebut dirinya sendiri, dan terus mencoba untuk menganalisis perubahan ekonomi dan sosial dalam implikasi globalnya. Sebagaimana para pemikir lain yang sekaliber dengannya, Marx menyadari superioritas Eropa modern dibanding benua-benua lainnya dalam hal produksi industrial dan organisasi sosial. Namun, ia tidak pernah menganggap fakta ini sebagai faktor permanen ataupun bersifat niscaya. Dan tentu saja ia selalu menjadi musuh bebuyutan kolonialisme. Pertimbangan-pertimbangan itu semestinya jelas bagi siapapun yang membaca Marx.

Categories
Journalism

Tambang-Tambang Potosí: Lokasi Harta Karun Dunia yang Terlupakan

KEKAYAAN Potosí di Bolivia mulai dikenal di Eropa pada 1545, ketika sekelompok conquistadores (pasukan penakluk) dari Spanyol bermukim di sana untuk mengeksploitasi harta karun terpendam. Kota itu kemudian berkembang pesat sehingga dalam kurun waktu 80 tahun sejak didirikan, populasinya mencapai 160 ribu jiwa, mengalahkan jumlah penduduk Paris, Roma, London, atau Sevilla.

Nama Potosí akhirnya tersohor di seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 50 ribu ton perak telah disedot dari sana – cukup untuk membangun jembatan yang bisa menghubungkan kota itu dengan Spanyol. Tambang perak terbesar di dunia itu memproduksi logam dalam jumlah raksasa, yang diangkut dengan rombongan llama menuju pesisir Chile, sebelum dipindahkan ke kapal-kapal Iberia. Bagi kaum ningrat Potosí, segalanya terbuat dari perak dan nama daerah tersebut menjadi ungkapan bagi kemewahan: “it’s worth a Potosí“, tulis Miguël de Cervantes dalam Don Quixote. Artinya: senilai dengan sekian perak.

Namun, para penduduk asli Potosí diperbudak. Ketika kondisi-kondisi tak manusiawi mulai membunuh puluhan ribu penduduk asli, para penjajah mengimpor budak-budak baru dari Afrika, yang jumlahnya lebih dari 30 ribu orang. Jumlah total mereka yang mati di tambang-tambang tersebut tak dapat dihitung secara persis. Yang jelas, ‘peradaban Eropa’ telah mengundang genosida dan penjarahan.

Setelah dua abad eksploitasi, perak Potosí mulai habis. Mereka yang dapat meninggalkan Potosí dan area sekitarnya menghilang. Pada 1987, kota tersebut dideklarasikan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Namun – seperti yang ditulis Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America – yang tertinggal di sana hanyalah bayang-bayang kekayaan dari masa lalu.

Gunung Pemakan Manusia
Di jalan-jalan Potosí Anda akan menyadari keberadaan gunung raksasa yang tingginya nyaris mencapai 4800 meter. Namanya Cerro Rico, sang gunung pemakan manusia. Di Gunung yang besar, kemerah-merahan, dan penuh bintik-bintik itu, tampak dari jauh orang-orang yang bergegas untuk mencabik-cabiknya, beserta truk-truk yang naik dan turun untuk mengangkut batu-batuan berharga dari sana.

Wilayah atas kota ini adalah tempat para pekerja terkonsentrasi. Sekitar 6.000 pekerja tambang – jumlahnya bergantung pada harga logam di pasar global – bermukim di dekat puncak gunung dan menyandarkan hidupnya pada perak, juga seng, tembaga, dan timah, yang masih tersedia di sana. Mereka bekerja layaknya tukang, dengan peralatan-peralatan kasar dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Pekerjaan mereka mungkin yang paling parah di dunia. Bukan hanya melelahkan, tetapi juga mematikan. Mereka bisa mati sewaktu-waktu karena keadaan yang tidak aman. Walhasil, pekerja-pekerja ini berserah pada Tio, sosok ilahiah tempat mereka mengharapkan perlindungan dan kemujuran. Namun, pada akhirnya mereka tetap akan mati pelan-pelan, karena di rahang gunung tersebut, setiap hela napas mendekatkan mereka pada silicosis.

Perempuan tidak diizinkan untuk memasuki bagian dalam gunung. Hanya palliras yang diperbolehkan untuk naik ke sana, yaitu janda-janda para pekerja tambang yang memiliki hak untuk mengumpulkan batu-batuan yang kadang-kadang jatuh dari gerobak-gerobak yang beroperasi antara pintu masuk tambang dengan deretan truk. Mereka bertemu di pasar dan bersama dengan para pekerja lain berbelanja barang kebutuhan pokok, yakni daun koka yang penting untuk kerja sehari penuh di ketinggian, rokok linting yang mengandung kayu putih untuk menolong pernapasan, serta alkohol murni (96°) yang mereka minum pada jam istirahat agar dapat bertahan dalam kondisi-kondisi ekstrem.

Gerbang Menuju Neraka
Dengan didampingi oleh pemandu dan sekelompok pekerja tambang, saya mengunjungi beberapa lubang yang selama berabad-abad menganga di Cerro Rico. Meski di luar lubang cuacanya panas, suhu udara segera turun di bawah nol derajat setelah masuk beberapa ratus meter. Beberapa stalaktit membuat jalurnya sulit dilalui. Sementara itu, di beberapa titik ada genangan air setinggi pergelangan kaki yang merembes ke dalam sepatu bot. Jalur-jalur yang mudah dilewati silih berganti dengan jalur-jalur yang membuat kami nyaris harus berjalan dengan lutut karena terowongan yang tingginya sedikit di atas 1 meter itu semakin mengecil dan menyempit. Jika Anda berhenti di sini, rasa panik akan menguasai. Di luar sinar lampu helm yang temaram, semuanya betul-betul gelap dan sunyi. Sesekali kesunyian dipecahkan oleh gerobak yang mengangkut 1 ton atau lebih mineral tambang; roda-rodanya nyaris tidak dapat diperbaiki lagi sehingga butuh empat orang untuk mendorongnya. Jika hal ini terjadi, Anda harus lebih hati-hati dan merapat ke dinding agar mereka bisa lewat.

Kami terus maju. Beberapa menit kemudian, suhu udara tiba-tiba naik mencapai sekitar 40 derajat Celsius – perubahan mendadak yang menyiksa. Permukaan yang kami injak tidak lagi basah dan mengering. Kurangnya oksigen membuat napas kami sesak. Debu berhamburan: memasuki tenggorokan, paru-paru, dan mata. Anda harus terus berjalan sekian belas meter lagi, di mana suara di sekitar teramat bising. Di sinilah para pengebor bekerja. Pekerjaan mereka adalah yang terberat: harus mengebor dinding dan merobeknya dengan dinamit buatan sendiri. Mereka bekerja dengan nyaris telanjang, dalam kondisi paling menyedihkan. Beberapa menggunakan lift untuk turun sejauh 240 meter ke dalam lorong-lorong sempit mencari seng dan timah, sambil berharap untuk meraup bahan-bahan tersebut sebanyak mungkin, demi memperoleh upah mingguan.

Ini perjalanan panjang. Udara dingin merasuk ke dalam tulang. Ketika cahaya akhirnya tampak di kejauhan, ia tampak seperti kembalinya kehidupan. Rasanya begitu lama kami berjalan, padahal baru tiga jam. Sementara itu para mineros (pekerja tambang) lain berdatangan untuk menggantikan rombongan sebelumnya. Ketika melihat wajah-wajah mereka yang ramah namun dibuat keras oleh keadaan, Anda tidak dapat membayangkan bagaimana mungkin mereka menghabiskan setiap hari selama 30 tahun di neraka ini.

Ekonomi Semi-Kolonial
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah pekerja tambang Bolivia telah merosot drastis; angkanya kini 70 ribu, hanya 1,5 persen dari populasi dengan usia produktif. Namun, mereka memproduksi 25 persen ekspor negara ini dan 300 ribu orang lainnya mendapat pekerjaan dari sektor-sektor terkait, seperti transportasi, permesinan, dan perdagangan. Mengingat bahwa mereka juga merupakan salah satu lapisan proletar yang paling agresif di Amerika Latin, jelaslah bahwa posisi mereka masih sentral dalam kehidupan sosial-ekonomi negara termiskin di kawasan tersebut.

Meski Bolivia adalah produsen perak dan timah terbesar ketujuh di dunia, ekonominya masih ditandai oleh minimnya sarana-sarana penghidupan. Sekitar 90 persen pekerja tambangnya bekerja dalam korporasi tanpa perlindungan kerja dan jaminan sosial, namun hanya mengambil bagian dalam 20 persen dari seluruh kerja penambangan. Pasalnya, sektor ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional: korporasi San Cristóbal asal Jepang bukan hanya mengontrol 85 persen pasar timah, tapi juga (bersama perusahaan Sinchi Wayra dari Swiss) 85 persen seng dan (lagi-lagi bersama Sinchi Warya dan perusahaan Panamerican Silver dari Amerika Serikat) 75 persen penambangan perak.

Keberadaan mereka tidak membawa perbaikan – lihat fakta bahwa sebagian besar tambang yang digunakan hari ini adalah tambang-tambang yang sama dengan yang digunakan di zaman kolonial. Tidak ada perubahan juga di level infrastruktur, karena mineral-mineral tambang masih diangkut dengan sistem kereta api dari tahun 1892. Kemajuan dalam otonomi nasional juga terbilang minim: Bolivia hanya mengolah sebagian kecil perak dan timahnya, sementara untuk seng malah sama sekali tidak. Ia harus membatasi diri pada ekspor bahan-bahan mentah dan mengirimkannya ke negara-negara di mana perusahaan-perusahaan multinasional yang mengontrol pasar bermarkas. Hanya sebagian kecil dari jutaan dolar pemasukan dari sektor ini yang disisakan untuk Bolivia. Korporasi-korporasi asing hanya membayar 8 persen pajak – angka yang jauh lebih rendah daripada 56 persen yang sebelumnya dibayarkan oleh BUMN Comibol, namun juga masih lebih rendah daripada 13,5 persen yang disetorkan oleh ‘baron-baron timah’ yang tersohor di tahun 1930-an.

Melihat kenyataan ini, dan mempertimbangkan kerusakan lingkungan serta perampasan sumber-sumber daya tak terbarukan, ada harapan Bolivia bergerak tanpa ragu mengejar nasionalisasi, demi mengakhiri ekonomi semi-kolonial dan memasuki fase modernisasi yang ramah lingkungan—dengan sikap hormat pada masyarakat adat yang hidup di wilayahnya.

Categories
Journalism

Jalan Terjal Komune Paris (Bagian II)

Perjuangan kolektif dan feminis
Kumone Paris lebih dari sekadar aksi-aksi yang disetujui oleh dewan legislatifnya.

Ia bahkan menata kembali ruang perkotaan, seperti nampak dalam keputusan untuk menghancurkan Pilar Vendôme, yang dianggap monumen barbarisme dan simbol perang. Komune Paris juga menerapkan kebijakan sekularisasi pada beberapa tempat ibadah dengan menyerahkannya kepada masyarakat.

Komune terus berjalan berkat tingkat partisipasi massa yang luar biasa dan semangat gotong-royong yang kuat. Dalam atmosfer penolakan terhadap otoritas, klub-klub revolusioner yang menjamur di hampir seluruh arrondisement memainkan peranan penting. Setidaknya ada 28 klub yang menyuguhkan salah satu contoh terbaik mobilisasi spontan. Dibuka setiap petang, klub-klub ini menawarkan ruang bagi para penduduk untuk bersua usai jam kerja dan leluasa mendiskusikan situasi sosial dan politik, memeriksa capaian wakil-wakil mereka, dan mengusulkan cara-cara alternatif untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Klub-klub ini adalah perkumpulan dengan struktur horizontal yang menopang pembentukan kedaulatan rakyat sekaligus menjadi corongnya. Klub-klub ini juga penciptaan ruang-ruang persaudaraan sejati di mana semua orang menjadi tuan bagi nasibnya sendiri.

Arah cita-cita emansipasi ini tidak memberikan tempat bagi diskriminasi berdasarkan status kebangsaan. Status kewargaan berlaku bagi siapapun yang berjuang bagi perkembangan Komune. Orang asing menikmati hak-hak sosial yang sama dengan orang Prancis. Prinsip kesetaraan ini terbukti dalam peranan penting 3.000 orang asing yang aktif dalam Komune. Leo Frankel, anggota Asosiasi Pekerja Internasional dari Hongaria, tak hanya terpilih untuk menduduki kursi di Dewan Komune, namun juga menjabat sebagai “menteri” perburuhan—salah satu posisi kunci. Demikian pula Jaroslaw Dombrowski dan Walery Wroblewski dari Polandia yang menempati posisi perwira tinggi di pucuk pimpinan Garda Nasional.

Meski belum mendapatkan hak untuk memilih ataupun untuk duduk di Dewan Komune, kaum perempuan punya peran penting dalam kritik-kritik terhadap tatanan sosial yang ada. Dalam banyak kasus, kaum perempuan mematahkan norma-norma masyarakat borjuis dan membentuk identitas baru yang berlawanan dengan nilai-nilai keluarga patriarkal; mereka keluar dari kekangan domestik untuk kemudian terlibat di ruang-ruang publik. Serikat Perempuan untuk Pertahanan Paris dan Perawatan Korban Luka–yang kelahirannya berhutang banyak pada anggota Internasional I bernama Elisabeth Dmitrieff–berperan penting menandai arena-arena strategis perjuangan sosial. Kaum perempuan berhasil menutup rumah-rumah bordil berlisensi, menggolkan penyetaraan guru laki-laki dan perempuan, melambungkan slogan “gaji setara untuk kerja setara”, menuntut hak-hak yang setara dalam pernikahan dan pengakuan atas serikat-serikat independen, serta mempromosikan dewan-dewan khusus perempuan dalam serikat-serikat pekerja.

Ketika situasi keamanan memburuk pada pertengahan Mei (pasukan kontra-revolusi [Versaillais] mulai berjejer di pintu-pintu masuk kota) perempuan mengangkat senjata dan mendirikan batalion. Banyak dari mereka yang gugur di barikade. Propaganda borjuis menjelek-jelekkan mereka, menjuluki para perempuan ini les pétroleuses (tukang bakar rumah), dan melayangkan tuduhan bahwa mereka bersiap membakar seisi kota dalam aksi-aksi perang jalanan.

Sentralisasi atau desentralisasi?
Demokrasi sejati yang hendak ditegakkan oleh kaum Komune adalah proyek ambisius nan sulit. Kedaulatan rakyat membutuhkan partisipasi warga sebesar-besarnya. Sejak Maret, komisi sentral, komite lokal, klub revolusioner, dan batalion menjamur di Paris, beriringan dengan dua lembaga inti yang tak kalah kompleks, yaitu Dewan Komune dan Komite Sentral Garda Nasional. Pihak yang terakhir disebut ini memegang kontrol militer dan seringkali bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan Dewan Komune. Meski keterlibatan langsung warga adalah jaminan vital bagi perwujudan demokrasi, pelbagai otoritas yang terlibat menyulitkan proses pengambilan keputusan sampai-sampai pelaksanaan dekrit-dekrit yang telah dibuat pun menjadi berliku.

Masalah hubungan antara otoritas pusat dan badan-badan lokal juga memicu sejumlah kekacauan, yang kadang melumpuhkan kapasitas politik Komune. Keseimbangan antara kedua lembaga ini rusak pada masa darurat perang. Saat itu, di tengah ketidakefektifan pemerintahan dan ketidakdisiplinan Garda Nasional, Jules Miot mengusulkan pembentukan Komite Keselamatan Publik beranggotakan lima orang. Komite ini segaris dengan model kedikatoran Maximilien Robespierre pada 1793. Usulan Miot disetujui pada 1 Mei, dengan dukungan suara mayoritas 45 lawan 23. Langkah yang terbukti keblinger ini mengawali akhir dari eksperimen politik segar yang dihadirkan Komune.

Komune pun pecah menjadi dua blok yang berlawanan. Blok pertama, yang terdiri atas kaum neo-Jacobin dan Blanquis, condong pada konsentrasi kekuasaan. Mereka akhirnya menempatkan politik di atas perjuangan sosial. Blok kedua, yang antara lain diisi oleh mayoritas anggota International Working Men’s Association, memprioritaskan perjuangan sosial lebih di atas perjuangan politik. Bagi blok kedua, pemisahan kekuasaan adalah wajib hukumnya dan kemerdekaan politik tak boleh diganggu gugat. Dipimpin oleh Eugène Varlin, sosok yang tak kenal lelah, blok ini menolak mentah-mentah pendekatan otoriter dan tidak ikut ambil bagian dalam pemilihan anggota Komite Keselamatan Publik. Menurut mereka, sentralisasi kekuasaan di tangan segelintir orang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pendirian Komune. Pasalnya, para wakil terpilih–yang asalnya dari rakyat–tidak berdaulat dan tidak memiliki hak untuk menyerahkan mandat kepada badan tertentu. Pada 21 Mei, ketika kelompok minoritas ini ikut ambil bagian lagi dalam sebuah sesi di Dewan Komune, upaya baru untuk merajut persatuan kembali muncul. Sayang, semuanya sudah terlambat.

Komune sebagai sinonim revolusi
Komune Paris akhirnya digilas habis oleh pasukan Versailles. Selama semaine sanglante, Minggu Berdarah antara 21 dan 28 Mei, sebanyak 17.000 hingga 25.000 warga Paris dibantai. Pertempuran terakhir pecah di dinding-dinding kuburan Père Lachaise. Penyair Arthur Rimbaud muda menggambarkan ibukota Prancis sebagai “kota yang berkabung, sekarat”.

Inilah pembantaian paling berdarah dalam sejarah Prancis. Hanya 6.000 orang yang berhasil kabur ke Inggris, Belgia dan Swiss. Jumlah tawanan mencapai 43.552 orang. Seratus orang di antaranya dijatuhi hukuman mati tak lama setelah diadili, sementara 13.500 lainnya dikirim ke penjara atau kamp kerja paksa, atau diasingkan ke wilayah terpencil seperti Kaledonia Baru. Beberapa dari mereka yang dibuang ke pengasingan bersolidaritas dengan tokoh-tokoh Aljazair usai revolusi anti-kolonial Mokrani. Revolusi ini pecah bersamaan dengan Komune dan sama-sama digilas pasukan Prancis.

Ketakutan akan Komune Paris semakin membuat negara menggencarkan represi terhadap gerakan sosialis di seluruh Eropa. Pers liberal dan konservatif, yang menutup mata atas kekerasan rezim Thiers, melayangkan tuduhan bahwa kaum Komune telah melakukan kejahatan luar biasa. Mereka sangat lega menyaksikan pulihnya “tatanan alamiah”, legalitas borjuis. Mereka juga sangat puas menyaksikan kemenangan “peradaban” terhadap anarki. Mereka yang berani melawan kelas penguasa beserta hak-hak istimewanya dihukum dan dijadikan contoh buruk. Para perempuan kembali diperlakukan sebagai makhluk rendahan. Kaum pekerja, dengan tangan-tangan yang kotor, kapalan, namun pernah berani memegang pemerintahan, diarak untuk kembali ke kedudukan semula. Bagi koran-koran ini, itulah kedudukan kaum pekerja yang semestinya.

Namun pergolakan di Paris terlanjur memasok energi besar bagi perjuangan kaum pekerja dan mendorong mereka melaju ke arah yang lebih radikal. Keesokan hari usai kekalahan, Eugène Pottier menuliskan sebuah lagu yang ditakdirkan menjadi ‘lagu kebangsaan’ gerakan kelas pekerja: “Kumpullah melawan / Dan [esok] Internasionale / Pastilah di dunia!”

Komune Paris menunjukkan bahwa perjuangan pekerja haruslah bercita-cita membangun masyarakat yang betuk-betul berbeda dengan kapitalisme. Bahkan jika masa-masa indah (Le Temps des cerises)* tak datang dua kali bagi para protagonisnya, Komune Paris menjadi wujud dari gagasan perubahan sosio-politik beserta penerapan praktisnya. Ia menjadi sinonim konsep revolusi itu sendiri, dengan pengalaman ontologis dari kelas pekerja. Dalam Perang Sipil di Prancis (1871), Karl Marx mengatakan bahwa “garda depan kaum proletar modern” ini telah berhasil “melekatkan kaum pekerja sedunia pada Prancis”. Komune Paris mengubah kesadaran kaum pekerja dan persepsi kolektif mereka. 150 tahun telah berlalu, namun bendera merah Komune terus berkibar dan mengingatkan kita bahwa dunia alternatif selalu mungkin tercipta. Vive la Commune!

*Mengutip judul tulisan seorang pelaku Komune bernama Jean-Baptiste Clément