Categories
Past talks

Les dernières années de Karl Marx

Marcello Musto propose ici une conférence sur l’œuvre tardive de Marx, en mettant en lumière des écrits inédits ou précédemment négligés, dont beaucoup ne sont pas disponibles en langue française. On découvre notamment sa critique du colonialisme européen et ses développements nouveaux sur les sociétés non occidentales : il envisage en particulier la possibilité d’une révolution dans les pays non capitalistes.

Categories
Reviews

Anindita S Thayf, Kompas

Sosok Karl Marx kerap dikaitkan dengan kata komunis dan ateis. Dunia mengenalnya karena memperjuangkan kepentingan kelas proletar. Sosok Marx memang kerap diselimuti prasangka buruk. Pemikiran kritis Marx kerap dianggap berbahaya dan terlarang.

Siapa sesungguhnya Karl Marx? Buku Marx: Biografi Intelektual dan Politik karya Marcello Musto ini bisa membantu kita mengenali sosoknya lebih mendalam, setidaknya memperkaya studi pemikiran kritis.

Ekonomi politik

Sebagaimana anjuran ayahnya, Marx memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar hukum sebelum bergeser ke filsafat dan sastra. Peralihan ini memperlihatkan ketertarikan intelektual Marx yang berubah. ”Sedikit demi sedikit, filsafat mengambil alih studi hukum,” tulis Musto (hlm 35).

Marx adalah tipe mahasiswa kutu buku yang sangat rajin mencatat apa pun yang ditemukannya dari setiap bacaan. Pada suatu hari bertemulah dia dengan ajaran Friedrich Hegel, yang membuatnya memutuskan untuk menjadi bagian dari kelompok ”Hegelian Kiri”.

Kala itu, di Jerman, sosok Hegel merupakan magnet bagi mahasiswa yang serius mempelajari filsafat. Namun, bagi Marx, filsafat hanyalah salah satu persinggahan.

Ketika tinggal di Paris, Marx mulai tertarik mempelajari ekonomi politik. Ketertarikan ini berawal dari masalah hukum yang pernah dipelajarinya.

Ketika mempelajari hukum, Marx menemukan persoalan dalam hukum dan politik yang tak bisa dipecahkan secara terpisah. Ada keterkaitan hukum dengan politik, begitu pula masalah-masalah di dua bidang ini. Marx mendapati ekonomi dan politik pun ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Saat mendalami masalah-masalah ekonomi dan politik, ia menemukan kelemahan dari kajian ekonom borjuis terkait perkembangan corak produksi kapitalisme. Tampak perkembangan corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang alamiah dan tak selalu seragam di setiap waktu dan tempat.

Maka, penindasan terhadap kelas proletar dan alienasi yang terjadi kepada mereka tidak terjadi alamiah, melainkan produk masyarakat kapitalis. Dari sinilah Marx mendapatkan landasan bahwa corak produksi masyarakat bukan sesuatu yang tak bisa diubah.

Selain ekonomi dan politik, sejarah juga dipelajari Marx. Dari bidang ini, dia sampai pada kesimpulan, sebagaimana tertulis dalam Manifesto Komunis, bahwa ”sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”.

Dari situasi semacam itulah corak produksi masyarakat berubah dan berkembang: berawal dari komune primitif, lalu perbudakan, feodalisme, hingga lahirlah kapitalisme.

Lewat buku karya Musto ini, pembaca diajak melihat kegigihan Marx memperdalam kajian ekonomi politik. Teori, argumen, dan ujaran ekonom besar dunia, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan Pierre-Joseph Proudhon, dipelajari Marx dengan tekun. Sebelum menulis Das Kapital, sebagai fondasi kajiannya, Marx melahirkan buku, antara lain, Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1884, Ideologi Jerman, dan Grundrisse.

Sebagai karya babon, buku teori ekonomi politik Das Kapital memaparkan dan menelaah perkembangan masyarakat kapitalis kapan saja dan di mana saja. Lewat berbagai contoh, yang sebagian besar diambil dari perkembangan ekonomi kapitalis Inggris yang dianggap paling maju kala itu, Marx menguraikan hukum-hukum pokok ekonomi politik kapitalisme, mulai dari komoditas, pertukaran, sirkulasi komoditas, produksi nilai absolut, hari kerja, nilai lebih, upah, hingga akumulasi kapital.

Hukum-hukum itu bisa digunakan guna melihat penindasan yang dilakukan kapitalisme terhadap rakyat jelata dan proletar. Di titik ini, terlihat proletariat dirampok dan diasingkan oleh borjuasi.

Intelektual dan aktivis

Kisah Marx tak melulu perkara Das Kapital, tetapi juga keterlibatannya dalam gerakan politik. Julien Benda menyatakan, posisi intelektual semestinya tak hanya terpisah dari kehidupan ekonomi politik, tetapi lebih daripada itu: posisinya sebaiknya berada di luar semua itu. Dengan kata lain, intelektual adalah orang yang berumah di atas angin.

Namun, Marx berada di luar kategori intelektual sebagaimana yang diinginkan Benda. Dia lebih seperti apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai bagian dari ”intelektual organik”.

Kepada pembacanya, Musto menggambarkan Marx tidak berumah di atas angin. Dia tak terpisah dari tempatnya berpijak. Dialah soko guru perjuangan kelas pekerja Eropa.

Bersama tokoh-tokoh sosialis yang lain, Marx terlibat dalam pembentukan Asosiasi Kelas Pekerja Internasional. Ia bukan anggota pasif yang enggan turun ke lapangan. Dia aktif terlibat dalam berbagai pertemuan, penyusunan naskah politik, perdebatan, dan aksi politik.

Sikap Marx sebagai intelektual yang tak hanya berteori merupakan upayanya untuk membumikan pemikirannya. Sebagai materialis, Marx tak berjarak dengan realitas. Dia merasakan langsung setiap upaya kebangkitan, kehancuran, dan pertentangan, sebagai dinamika gerakan politik demi mewujudkan sebuah cita-cita.

Selain sebagai intelektual dan aktivis, Marx juga penulis yang pantang menyerah. Musto menggambarkan Marx berjuang keras untuk terus menulis di tengah kondisi hidupnya yang sangat miskin dan kesehatannya yang buruk.

Kemelaratan hidup Marx diperparah dengan penyakit yang bergantian menderanya, seperti cacar, sakit gigi, hingga peradangan hati yang membuatnya ”tersiksa seperti Ayub, walaupun tidak taat”, yang menyebabkannya dilarang menulis oleh dokter (hlm 172).

Buku-buku Marx hingga detik ini menjadi bahan studi di berbagai perguruan tinggi di dunia. Ketika seorang wartawan Amerika bertanya tentang arti dari eksistensi manusia, ”Apakah itu ada?”, Marx tegas menjawab, ”Berjuang!”

Sesungguhnya, itulah Marx yang sejati. Manusia yang terus berjuang sebagai intelektual, aktivis politik, dan penulis.

Categories
Reviews

Philippe Petit, Marianne

Dans « Les dernières années de Karl Marx » (PUF), un livre foisonnant, le sociologue Marcello Musto, retrace les deux dernières années de la vie du philosophe allemand Karl Marx, décédé le 14 mars 1883. On y découvre notamment un homme à la force de travail hors du commun.

Ses amis et ses proches appelaient Karl Marx (1818-1883) « le Maure », à cause de sa gueule de métèque, tandis que ses petits-enfants l’appelaient « Old Nick », en référence au surnom donné au diable en Angleterre, mais pour la terre entière, son patronyme suffit à l’identifier. Marx, c’est un peu comme Copernic ou Galilée, il n’est pas besoin de lui assigner un prénom, n’était parfois le grand Karl, pour l’identifier.

Ne voir en lui qu’un simple doctrinaire, un progressiste naïf, heurterait sa critique constante « des faiseurs de panacée ». C’est ce dont on s’avise en lisant le livre de Marcello Musto, professeur de sociologie à Toronto, Les dernières années de Karl Marx, traduit en une vingtaine de langues, au succès mérité. On y découvre un Marx dépoussiéré, plein d’humour, qui un jour de 1882 aurait lâché qu’il n’était pas « marxiste ». Un Marx apatride, un citoyen du monde, dévorant l’actualité, s’enquérant des soubresauts financiers et sociaux. Un homme malade, mais vivant jusqu’au bout.

 

LA MORT D’UN PERFECTIONNISTE

Cette biographie couvre les années 1881-1883, lesquelles permettent de comprendre les tâtonnements de son travail. Marcello Musto, conteur né, évoque parallèlement ses problèmes de santé, ses joies et peines familiales, la dépression de sa fille Éléonore, la maladie et la disparition de sa femme, ses déplacements en Europe, son voyage à Alger en 1882. S’appuyant sur les notes, brouillons, correspondance, articles, qu’il a laissés, il nous convie dans son cabinet de travail. Il nous met sous les yeux une évidence que l’on devinait, mais ne réalisait pas à ce point : Marx était un savant. Un travailleur de la preuve. Un grand obstiné.

Ce n’est pas le capital qu’il accumulait – sans l’aide de son ami Engels, il aurait crevé de faim – mais le savoir. Hors les mathématiques qu’il pratiquait pour le plaisir de l’esprit. Il lisait tout. Dans plusieurs langues européennes. Il lisait même le russe appris sur le tard. Il se nourrissait de chimie, physique, anthropologie, ethnologie, économie, histoire, littérature. Il avait le projet d’une étude sur Balzac. C’était un perfectionniste. Il était obsédé par le contexte. Marx, écrit Musto, « ne cessait d’observer les signes de conflit social qui apparaissaient sous toutes les latitudes, tout autour du monde ». C’était un lutteur.

Ce livre n’est pas celui d’un thuriféraire. Mais d’un archiviste. Il ne commente pas Marx. Il le suit à la trace. Marx était si attentif aux mouvements de l’Histoire qu’il lui fallait se renseigner sur tous les pays. Tenir compte de leur histoire spécifique. Pour lui, il ne fallait pas « confondre des rébellions ou des luttes de résistance sporadique avec l’établissement d’un nouvel ordre socio-économique ». Pas plus qu’il ne fallait confondre la Révolution avec la prise du pouvoir d’État. Le primat qu’il accordait aux conditions sociales et économiques, était son seul viatique.

En Algérie, un an avant sa mort, où son médecin lui avait conseillé de se rendre pour soigner sa tuberculose, il n’a pas le temps de découvrir la réalité algérienne. Revenant en France, il fait une halte à Monaco, s’attarde au casino, qu’il juge être « un enfantillage comparé à la Bourse ». Puis, l’été 1882, il s’en va respirer à Enghien, avant de séjourner en Suisse, et de rejoindre sa fille Jenny, à Argenteuil. Il repart en Angleterre où il continue de travailler. Confiné dans sa chambre, il y meurt paisiblement. « Vivre avec, devant soi, tant de travaux inachevés », leCapital notamment, il ne l’aurait pas supporté selon Engels. Le Maure a quitté la scène en douceur. Au bon moment.

Categories
Reviews

Juan Dal Maso, La Izquierda Diario

A pocos días de un nuevo aniversario de la muerte de Marx, dejaremos algunos comentarios a propósito del libro ¡Trabajadores del mundo, uníos! Antología política de la Primera Internacional (Bellaterra, Barcelona, 2022), compilado y prologado por Marcello Musto.

El libro agrupa 80 documentos de la AIT, divididos en 13 partes: “El discurso inaugural”, “El programa político”, “El trabajo”, “Sindicatos y huelgas”, “El movimiento y el crédito cooperativo”, “Sobre la herencia”, “La propiedad colectiva y el Estado”, “Educación”, “La Comuna de París”, “El internacionalismo y la oposición a la guerra”, “La cuestión irlandesa”, “Sobre los Estados Unidos” y “Organización política”. Estos textos corresponden a autores varios, entre los cuales, por supuesto, se destacan Marx y Engels.

Publicado originalmente en inglés, italiano y portugués de manera simultánea en 2014, a propósito de los 150 años de la fundación de la AIT, este libro constituye una muy buena puerta de entrada a la historia, los debates y los grandes objetivos que se trazó la Asociación Internacional de Trabajadores o Primera Internacional. También desmiente por un lado que esta constituya un episodio estrictamente marxista, mientras por el otro establece la centralidad que tuvo el rol de Marx, sin desconocer otros actores.

Aquí nos referiremos especialmente a varios de los temas abordados por Musto en su estudio preliminar, apelando también, cuando sea necesario, a algunos de los documentos. Las páginas citadas en números romanos corresponden al estudio preliminar y aquellas en números arábigos al texto principal.

Una organización “híbrida”

Una de las cuestiones más llamativas que surgen del estudio preliminar de Musto y de la lectura de los diversos documentos que componen este volumen, es el carácter híbrido o combinado de la nueva organización, compuesta por mutualistas franceses, sindicalistas británicos, comunistas alemanes y de varios países europeos, mazzinianos, etc. La AIT era una organización social, sindical y política y en rigor de verdad nunca fue más allá de ese carácter híbrido, que -en función de la realidad del movimiento obrero de su tiempo- podríamos considerar una de sus principales virtudes. Mantener unido todo ese amplio espectro fue uno de los grandes méritos de Marx, basado a su vez en el reconocimiento de que los primeros pasos en la organización internacional de la clase trabajadora no podían saltearse el trabajo de clarificación de las distintas orientaciones que existían en su interior, así como resultaba necesario incorporar todas las formas de lucha del movimiento obrero bajo la órbita de la organización. Aquí podemos señalar la heterogeneidad característica de una etapa fundacional del movimiento obrero al mismo tiempo que tomar nota de una cuestión central, que sufriría una importante modificación por los cambios en las relaciones de fuerzas procesados por las formas estatales durante el siglo XX: la inexistencia de una división tajante entre luchas económicas y luchas políticas.

Musto lo resume bien del siguiente modo:

 

“… con todas las dificultades relacionadas con la diversidad de nacionalidades, idiomas y culturas políticas, la Internacional pudo lograr unidad y coordinación a través de una amplia gama de organizaciones y luchas espontáneas. Su mayor mérito fue demostrar la necesidad absoluta de la solidaridad de clase y la cooperación internacional, yendo decisivamente más allá del carácter parcial de los objetivos y estrategias iniciales.” (p. XLI).

 

abe señalar que Marx siempre fue consciente de este carácter híbrido de la organización, pero que nunca ocultó su posición sobre la importancia de que la AIT luchase en el plano político. De allí que en su discurso inaugural dejase planteado que el “gran deber de las clases obreras” era “conquistar el poder político” (p. 9). Veremos que sobre esta cuestión no había ni habría unanimidad en la AIT, al interior de la cual había distintas posiciones sobre el tipo de actividad que debía llevar adelante la clase trabajadora. La oposición primera y más elemental fue entre quienes defendían el mutualismo y se oponían a la lucha de clases y quienes consideraban que la lucha de clases era la principal actividad a la que debía abocarse la organización. A esto nos referiremos e continuación.

Ocaso del mutualismo, lucha de clases y socialismo

La lucha política más resonante en la Primera Internacional es el enfrentamiento entre marxismo y anarquismo, Marx y Bakunin. Sin embargo, esta discusión corresponde a un momento en el que ya la AIT se había pronunciado por la lucha de clases y la socialización de los medios de producción.

El Congreso de Ginebra (1866) afirmó la importancia de la lucha sindical en la práctica del movimiento obrero, como parte de la lucha de clases, y el apoyo activo de la AIT a las huelgas se concebía como parte de una práctica internacionalista.

El rol de la AIT, desarrollando el apoyo activo a las luchas del proletariado, a escala de cada país e internacionalmente, marcaba el auge de los métodos de la lucha de clases, contra las posiciones mutualistas, que no podían dar respuesta a la propia experiencia de la clase trabajadora. Esta polémica tiene una curiosa actualidad, porque –si bien en un contexto totalmente distinto y en el marco de la estatización de sindicatos y movimientos sociales– las posturas conciliacionistas del mutualismo resurgen por otras vías mediante las tendencias reformistas de nuestro tiempo.

Las huelgas que crecen desde fines de 1866 en varios países marcan un auge de la AIT. Musto recuerda las huelgas de los obreros del bronce de París entre febrero y marzo de 1867, las de los metalúrgicos en Marchienne también en febrero de ese año, la huelga de la construcción en Ginebra en 1868, entre otras. Para 1870, la organización tenía entre tres y cuatro decenas de miles en Francia, posiblemente un poco más de esa cifra en Bélgica, seis mil en Suiza. Pero Musto destaca dos limitaciones que tuvo: poco peso en el proletariado industrial (por ejemplo en Gran Bretaña tenía peso preponderante en la construcción) y poca llegada a los sectores menos organizados y más precarios (p. XXXIII).

El período de clarificación y discusión que culminó en el Congreso de Bruselas (1868), estuvo marcado por la previa lucha común entre Marx y los sindicalistas británicos contra las posiciones mutualistas (inspiradas por Proudhon), que rechazaban los métodos de la lucha de clases, porque radicalizaban la división de la sociedad (p. XLV). Musto destaca en su estudio preliminar que fue la propia experiencia de lucha de clase obrera la que dejó en minoría estas posiciones.

A su vez, la definición del Congreso de Bruselas en pos de la lucha por el socialismo fue un paso fundamental en la historia de la AIT, por la consolidación de la derrota del mutualismo tanto como de la alianza entre Marx y el sindicalismo británico (que luego tomaría posiciones más conservadoras) al interior de la organización y por la asunción de una perspectiva revolucionaria global desde el punto de vista público.

Por siempre, la Comuna

La experiencia de la Comuna de París, primer gobierno obrero de la historia, pasaría a la posteridad como un magnífico ejemplo de la forma concreta que podía adquirir la dictadura del proletariado, así como de lo que posteriormente se llamaría “desarrollo desigual y combinado”, “tiempos equívocos”, “discordancia de los tiempos” y otras expresiones similares, que buscan dar cuenta de cómo los procesos históricos están cruzados por contradicciones entre situaciones objetivas y posiciones subjetivas, relaciones de fuerzas nacionales e internacionales, demostraciones de valor y falta de experiencia, etc. Como señala Musto en su estudio preliminar, a diferencia de blanquistas y anarquistas, Marx tenía sus reservas sobre las perspectivas de esta gran insurrección, que sin embargo defendió incondicionalmente y de la cual buscó sacar conclusiones para pensar la práctica revolucionaria del movimiento obrero.

El impacto de esta experiencia sobre la AIT fue sustancial. Como señala Musto, impuso otro tipo de impronta a las reflexiones sobre el tipo de actividad que tenía que llevar adelante la clase trabajadora:

“La experiencia enseñó que la revolución era posible, que el objetivo podía y debía ser construir una sociedad totalmente diferente del orden capitalista, pero también que, para lograr esto, los trabajadores deberían crear formas durables y bien organizadas de asociación política.” (pp. LXI/LXII.)

A propósito del problema de la organización política giraría entonces la discusión del Congreso de 1871, que llevó a la división entre “centralistas” y “autonomistas” y a la crisis de la AIT.

Los dilemas del “partido-clase”

Marx intentó avanzar, en el Congreso de Londres (1871), en la definición de la AIT como partido político. Se basaba en las conclusiones de la Comuna, pero no era un giro intempestivo, recordemos que ya en su discurso inaugural había planteado el tema de la lucha de la clase obrera por el poder político. Sin embargo, ante la presencia de los anarquistas, la discusión se hizo más complicada de lo que Marx había esperado.

La posición de Marx generó la revuelta de los “autonomistas” que se oponían a una dirección centralizada y no compartían las concepciones políticas de aquel sobre el tipo de acción política que tenía que llevar adelante la clase obrera, especialmente los anarquistas que decía que la única política aceptable consistía en la revolución para abolir el Estado. Musto señala que el intento de Marx fue prematuro, porque el movimiento no estaba en condiciones de asumir de manera conjunta la posición partidista. La cuestión que queda para pensar es si había un problema de oportunidad táctica o de condiciones históricas concretas para la viabilidad del planteo, análisis que parece plausible o si hay un problema más amplio, relacionado con la imposibilidad intrínseca del “partido-clase”. Marx y Engels habían señalado en el Manifiesto Comunista, que los comunistas no constituían un partido distinto a las demás tendencias de la clase obrera, simplemente eran quienes pensaban en los intereses y objetivos de conjunto. Entonces, en un movimiento de la clase que tendía a su unidad y homogeneización, la organización de la clase y la del partido coincidían. Sin embargo, las diferencias al interior del movimiento obrero en torno a las cuestiones más de fondo (mutualismo vs. lucha de clases y comunismo, anarquismo vs. marxismo, para resumir las dos polémicas más importantes) mostraban que la organización de la clase no coincidía necesariamente con la organización en partido y que las distintas perspectivas político-programáticas expresaban distintos proyectos de partido. La posibilidad del “partido-clase” residía en que no había intereses materiales contrapuestos entre las distintas tendencias (como luego ocurriría con el desarrollo de la burocracia obrera reformista en el siglo XX, integrada al Estado mediante ciertas prebendas materiales), pero política, ideológica y programáticamente, el proyecto no resultaba del todo consistente, porque las distintas líneas llevaban a distintas políticas. Esta paradoja tomó cuerpo en el fallido intento de Marx por constituir una disciplina de partido en la AIT y la posterior ruptura con los anarquistas.

Marxismo y anarquismo

En 1872, año de la disolución de la AIT unitaria, el enfrentamiento entre “centralismo” y “autonomismo” se constituyó en su mayor parte como un enfrentamiento entre marxismo y anarquismo. Aquí Musto destaca que hay cierta exageración de la importancia de las diferencias entre Marx y Bakunin, no porque estas no fueran muy significativas, sino porque no es históricamente adecuado remitir a ellas las razones de la crisis de la Internacional:

“El crecimiento y la transformación de las organizaciones del movimiento obrero, el fortalecimiento del Estado-nación como un resultado de la unificación italiana y la alemana, la expansión de la Internacional en países como España e Italia (donde las condiciones económicas y sociales eran muy diferentes de las que regían en Gran Bretaña y Francia), el giro hacia una mayor moderación en el movimiento sindical inglés, la represión posterior a la Comuna de París; todos estos factores hicieron que la configuración original de la Internacional se volviera inapropiada para los nuevos tiempos.” (pp. LXXVII/LXXVIII.)

Esta explicación es más satisfactoria, al menos más abarcativa, que la de las luchas sectarias entre Marx y Bakunin. Por otra parte, cabe señalar que, si bien el anarquismo coincidía en los objetivos de fondo que señalaba la concepción comunista de Marx, su práctica política era muy inconsistente en relación con sus objetivos declarados (como el de la revolución inmediata y la igualmente inmediata abolición del Estado). Poco tiempo después de los debates de 1872, Engels tuvo ocasión de pasar revista a la actuación de los anarquistas españoles en los levantamientos populares de 1873, en los que en los hechos renunciaron a la mayor parte de sus concepciones, como se puede leer en “Los bakuninistas en acción”. A esto se puede agregar que, más allá de cierta desconfianza necesaria en los poderes demasiado concentrados (que Musto reconoce como pertinente para pensar el problema de la transición al socialismo), el anarquismo es teóricamente ecléctico, mezclando colectivismo y liberalismo y por ende aquello en lo que está bien orientado ya formaba parte del propio marxismo, pero formulado en términos materialistas.

La vigencia del internacionalismo

Musto concluye su estudio preliminar con una reflexión sobre la distancia entre los niveles de combatividad, solidaridad, organización y radicalidad del movimiento obrero que puso en pie la AIT y el actual. Al mismo tiempo señala la necesidad pensar en una nueva internacional (p. XCV):

“Hoy, la barbarie del “orden mundial”, los desastres ecológicos producidos por el modo actual de producción, la creciente brecha entre la minoría de explotadores acaudalados y la inmensa mayoría empobrecida, la opresión de las mujeres y los tempestuosos vientos de la guerra, el racismo y el chauvinismo, imponen sobre el movimiento obrero contemporáneo la urgente necesidad de reorganizarse sobre la base de dos características fundamentales de la Internacional: la multiplicidad de su estructura y el radicalismo de los objetivos. Las metas de la organización fundada en Londres hace ciento cincuenta años son más vitales que nunca. Sin embargo, para hacer frente a los desafíos del presente, la nueva internacional no puede eludir dos exigencias: debe ser plural y debe ser anticapitalista.”

De esta manera, Musto destaca el rol histórico de la Primera Internacional no solamente como el primer intento de construir una organización obrera y socialista a escala mundial, pero superado por la historia (análisis que se corresponde con los de buena parte del marxismo del siglo XX) sino que plantea la posibilidad de retomar la idea de una composición de múltiples tendencias anticapitalistas como posible opción para la construcción de una organización internacional en la actualidad.

La reflexión resulta pertinente, especialmente en un contexto en el que la guerra de Ucrania ha hecho estragos en buena parte de la izquierda, alineada con la OTAN, mientras otro sector practica una posición igualmente “campista” pero del lado ruso. El internacionalismo no parecería ser muy popular en la actualidad, por el ascenso de corrientes soberanistas de derecha, aunque la dimensión internacional de los procesos parece bastante clara: la ofensiva “neoliberal” fue internacional, el “trumpismo” es internacional, la pandemia fue internacional, las revueltas primero y las actuales luchas obreras contra la inflación y la carestía de la vida son internacionales. Coincido con Musto en que el imaginario del movimiento obrero de fines de siglo XIX era mucho más anticapitalista que en la actualidad, pero creo que sería importante no perder de vista que, desde los años ‘90, la clase trabajadora viene buscando, a nivel internacional, los modos de articular acciones de resistencia si no contra el sistema como tal, sí contra los efectos más negativos de las políticas dominantes, como puede verse actualmente en Francia, a los que debemos agregar las luchas y revueltas populares y el movimiento de mujeres. Podríamos pensar que, si bien el comunismo como fin u objetivo a conquistar no forma parte del horizonte ideológico de las masas, no ocurre lo mismo con el comunismo como movimiento real, es decir como lucha de clases de la que la realización íntegra de sus necesidades requiere la superación del capitalismo, la transición y el comunismo. Para acercar ambas figuras, la del comunismo-fin y la del comunismo-movimiento [1], necesitamos del internacionalismo y, en ese contexto, hay tareas pendientes que se corresponden con las mismas que buscó desarrollar la Primera Internacional, tanto por su solidaridad internacional efectiva en la lucha de clases, como por su programa socialista.

Pero, al mismo tiempo, resulta importante destacar que la AIT fue el inicio de una serie de experiencias internacionalistas del movimiento obrero, de las que cabe realizar también sus inventarios específicos. Trazar el balance de la socialdemocracia y el estalinismo, requiere apelar no solo a las tradiciones anteriores sino también a la crítica marxista del siglo XX. Allí, el bagaje de los cuatro primeros Congresos de la Internacional Comunista, como las reflexiones de Lenin, Trotsky, Gramsci, Rosa Luxemburgo o Mariátegui, tiene mucho para aportar, así como las luchas de la tradición trotskista y cuartainternacionalista. Asimismo, y en línea con lo que señalábamos antes sobre las contradicciones del “partido-clase”, si en la segunda mitad del siglo XIX podía ser una opción más o menos realista, en pleno siglo XXI y después de más de un siglo de burocratización de las organizaciones obreras, se vuelve inevitable la diferenciación entre partidos revolucionarios y reformistas, que no resulta contenida en una definición de anticapitalismo genérico.

En un orden más específico de problemas estratégicos, hay dos problemas fundamentales de la actualidad que remiten mucho más a cuestiones de la III Internacional que a las de la Primera: el problema del Frente Único que implica a las organizaciones de masas y los problemas de la hegemonía, que implica la articulación de demandas democráticas y socialistas. Cierto es que –en problemáticas como la de la cuestión irlandesa o el problema de la unidad de las distintas tendencias obreras– se pueden encontrar ciertas trazas de estos temas en la experiencia de la AIT. Pero el cambio de marco estratégico, dado particularmente por la distinta relación entre el movimiento obrero y el Estado antes y después de la Primera Guerra Mundial, la Revolución rusa y los años ’20 del siglo pasado, más allá de las modificaciones que sufrió durante la segunda posguerra y sobre todo desde los últimos 40 años, vuelve más difícil abrevar exclusivamente en la Primera Internacional como base de reconstrucción del internacionalismo proletario.

La corriente de la que forma parte el autor de estas líneas, partidaria de la refundación de la IV Internacional, ha señalado en momentos diversos la necesidad de poner en pie un movimiento por una Internacional de la revolución socialista. Hoy parece una tarea más necesaria que nunca y al mismo tiempo bastante difícil, por la discontinuidad entre marxismo y movimiento obrero y por la debacle “campista” de buena parte de la izquierda. De allí que, al mismo tiempo que promovemos toda clase de experiencias y formas de lucha, cabe rescatar la historia previa la clase trabajadora para ver en qué medida habla de nuestros desafíos actuales, como fuente de inspiración y como caja de herramientas, para lo cual el trabajo de investigación de Marcello Musto, más allá de nuestros acuerdos y diferencias, es una contribución destacable.

 

Categories
Past talks

A Forgotten Chapter in Marx’s Intellectual Biography: His Last Years

In this talk, Marcello Musto will claim a renewed relevance for the late work of Marx, highlighting unpublished or previously neglected writings, many of which remain unavailable in English. Readers are invited to reconsider Marx’s critique of European colonialism, his ideas on non-Western societies, and his theories on the possibility of revolution in noncapitalist countries. From Marx’s late manuscripts, notebooks, and letters emerge an author markedly different from the one represented by many of his contemporary critics and followers alike.